Sang Tuan Muda Sejati

Sang Tuan Muda Sejati

last updateTerakhir Diperbarui : 2024-02-18
Oleh:  Ayunina SharlynTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
0 Peringkat. 0 Ulasan-ulasan
135Bab
4.7KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Ardi hampir melompat dari jembatan untuk mengakhiri hidupnya, tiba-tiba seseorang menarik dan membekap mukanya hingga pingsan. Ketika Ardi membuka mata, dia berada di sebuah ruangan besar dan mewah, berhadapan dengan seorang pria setengah baya berpakaian serba hitam. Pria itu mendekat dan berbisik, "Mulai hari ini kamu adalah Tuan Muda Helios Bintang Hartawan.” Ardi sangat bingung karena dia tidak jadi mati bunuh diri tetapi sebaliknya dinobatkan menjadi Tuan Muda keluarga sultan demi membalas dendam seorang milyader kepada kedua adiknya. Ardi dikondisikan tidak bisa menolak dan mau tidak mau mengikuti skenario yang diberikan padanya. Misi mulai dijalankan, tetapi Violetta, gadis cantik yang seharusnya turut disingkirkan, membuat Ardi jatuh cinta. Misi terancam gagal, kehidupan Ardi yang dalam kemewahan pun terancam dicabut! Mampukah Ardi menuntaskan misi yang diembannya? Tantangan dan perlawanan seperti apa yang dia akan hadapi? Ikuti kisah serunya dalam 'Sang Tuan Muda Sejati'.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1. Diculik!

“Bodoh! Ini sudah keterlaluan!”

Ardiananda Krisnadi terdiam. Pria muda hampir dua puluh empat tahun dengan tubuh tinggi itu mengepalkan tangannya dan menunduk dalam-dalam. Lagi-lagi dia difitnah teman kerjanya di depan bos.

Namun, alih-alih mendengar penjelasan Ardi, si bos justru meledak-ledak, percaya penuh pada karyawannya yang melapor karena karyawan tersebut adalah pegawai kepercayaan si bos.

“Sudah berapa kali kamu berulah, hah!? Sebelumnya aku masih baik sama kamu. Tapi sekarang tidak!” Bosnya melanjutkan. “Aku tidak bisa mentolerir lagi kelakuan ini, Ardi! Kamu aku pecat!”

Pemuda itu terbelalak. “B-Bos, dengarkan penjelasan–”

Si bos mengibaskan tangannya dan langsung berbalik pergi.

Bahu Ardi menurun, semangatnya pupus. Ia kemudian mengganti seragam kerjanya dengan pakaian hari-hari yang dia bawa. Dia membereskan loker dan meninggalkan seragamnya di sana.

Dengan ransel di pundak, Ardi keluar dari tempatnya bekerja.

Di tepi jalan, Ardi menoleh dan melihat lagi bangunan yang telah lebih satu tahun menjadi tempatnya mencari nafkah.

Jujur saja, Ardi suka bekerja di situ. Sebagian besar rekannya ramah dan menyenangkan.

Sayangnya, gara-gara satu orang yang tidak suka dengannya, Ardi harus didepak keluar tanpa diberi kesempatan membela diri.

Ardi akhirnya memutuskan untuk pulang ke kontrakannya untuk menenangkan diri dan beristirahat.

Namun, baru saja dia sampai di depan bangunan yang menjadi huniannya selama ini, seseorang memanggilnya.

“Heh, Ardi! Bayar kos!” Seorang wanita gemuk berdiri dengan berkacak pinggang kira-kira empat meter di depan Ardi.

Ardi menghela napas.

“Maaf, Bu, saya belum ada uang,” ucapnya hati-hati. “Saya akan segera bayar–”

“Kapan!? Sudah tiga bulan nunggak, ini masuk bulan ketiga!” sela wanita itu dengan mata melotot. “Kamu nggak malu apa? Bisa tidur nyenyak di rumah orang tapi nggak mau bayar!?”

“Bukan begitu, Bu.” Ardi mencoba menenangkan ibu kosnya, meskipun kepalanya pusing memikirkan bagaimana ia membayar tunggakan, padahal ia baru saja dipecat. “Tolong beri saya waktu lagi. Sebelumnya saya selalu bayar tepat waktu, tetapi belakangan saya–”

“Alah! Alasan!” bentak Bu Narti, si ibu kos. “Kamu pikir aku nggak tahu gaya anak muda macam kamu itu? Sudah biasa aku dikerjain. Kali ini nggak bakal mempan. Kamu bayar atau kamu keluar!”

Tangan Bu Narti teracung menuju pintu keluar rumah kos miliknya.

Ardi terbelalak mendengarnya. Dia diusir?

Tidak cukup dipecat dari tempat kerjanya satu jam yang lalu, ia kini diusir?

“Bayar sekarang atau angkat kaki!” Bu Narti kembali berkata. Wanita itu berkacak pinggangg. “Lagian aku sudah ada calon penghuni baru buat kamarmu itu. Udah rugi aku nampung kamu gratis di sini berbulan-bulan!

“Bu, tolong–”

“Terakhir aku ngomong, ya? Kamu bayar atau keluar!” Makin keras suara Bu Narti.

Beberapa penghuni kos sampai membuka pintu kamar dan menonton kejadian itu.

Ardi sangat malu. Rasanya dia seperti pencuri yang ketahuan. Tidak ada pilihan. Ardi masuk ke kamar dan membereskan barang-barangnya yang tidak seberapa itu.

Tas besar dan satu kardus, ditambah ransel kumal yang terus tersampir di pundaknya. Ardi tidak berani melihat siapa pun dan tidak ada niat berpamitan pada siapa pun.

Dengan tatapan tajam ibu kos yang terus mengekori, Ardi melangkah keluar dari rumah kos itu.

“Gila. Hari ini sial sekali aku. Dipecat bos, lalu diusir Bu Narti. Astagaaa … aku harus ke mana?” Ardi duduk di sebuah halte kecil, di pinggir jalan. Sebenarnya tidak bisa disebut halte. Hanya bangunan untuk berteduh dan orang-orang biasanya menunggu angkutan umum lewat.

“Ah, Melisa.” Ardi dengan cepat mengeluarkan ponsel jadul miliknya, berniat menghubungi wanita cantik yang hampir enam bulan terakhir ini dia sebut sebagai kekasih.

Namun, sayang sekali ponselnya tersebut kehabisan baterai–seakan belum cukup kesialan Ardi hari ini.

Pada akhirnya, Ardi memutuskan untuk langsung ke rumah Melisa

Bagus, untungnya Melisa sedang di rumah. Meski sempat terkejut, senyum kemudian terpasang di wajahnya. Namun, entah kenapa wajahnya terlihat canggung.

“Hai!” sapa Melisa. “Kenapa tiba-tiba datang, Ar? Mau kasih kejutan ya?”

Akan tetapi, melihat bawaan Ardi penuh di tangan kanan dan kiri, senyum Melisa menyusut. Dia mengerutkan kening dan menatap tajam pada Ardi.

“Mel, bantu aku. Aku diusir dari kos.” Dengan wajah memelas Ardi memandang wanita muda yang cantik di depannya. Wajahnya oval, dengan rambut ikal sepunggungnya.

“Disuir? Kenapa? Kamu nyuri!?” Langsung nada suara Melisa meninggi.

Ardi meletakkan tas besar dan kardus yang dia pegang. Lalu dia menjelaskan yang terjadi padanya hari itu. Mengapa sampai dia bisa diusir sama ibu kos.

“Jadi kamu menyalahkan aku? Kamu nggak bisa bayar kos karena beliin aku pakaian dan skincare? Jangan naif!” Melisa tidak bisa terima yang Ardi katakan. “Kamu pacarku, Ar. Udah tugas kamu memenuhi yang aku butuh. Itu bukti cinta kamu! Masalah bayar kos, itu urusanmu!”

Wanita itu melanjutkan, “Kalau memang kamu miskin, nggak usah ngajak aku pacaran. Udah kayak gini kamu nyalahin aku! Enak aja!” Makin tinggi nada suara Melisa. “Ternyata kamu cuma menang tampang doang, tapi bokek!”

“Mel, please, tolong aku. Bisa aku setidaknya tinggal di rumah kamu sementara sampai aku–”

“Gila! Kamu pikir rumahku tempat penampungan tunawisma apa!?” ucap Melisa ketus. Ardi terkejut menerima respons dari wanita yang ia cintai tersebut.

“Sayang, siapa ini?” Tiba-tiba dari belakang Melisa, muncul seorang pria yang langsung merangkul gadis itu dengan mesra. “Pengemis ya?”

Melisa bergelayut manja pada pria tersebut. “Bukan siapa-siapa, Sayang.” Nada bicaranya berubah manis. “Ayo masuk.”

Wanita itu mendorong pria asing tersebut masuk. Dengan tatapan penuh rasa jijik, Melisa berkata pada Ardi, “Kita putus!” tanpa suara.

Setelahnya, ia berbalik dengan cepat masuk ke dalam rumah dan membanting pintu.

Ardi merasa lemas.

“Kamu selingkuh di belakangku, Mel?” ucapnya lemah.

Habis sudah. Hancur dan luluh lantak. Lengkap sekali kesialan yang dia alami. Dengan lesu dan tubuh lunglai, Ardi membawa lagi barang-barangnya ke jalanan. Ardi tidak tahu akan ke mana. Dia tidak yakin akan ada yang mau menampungnya. Ardi terus saja berjalan tanpa tahu arah.

Tiba-tiba hujan deras turun. Bagus sekali! Ardi basah dalam waktu sekian menit. Ardi memilih berteduh di bawah pohon besar di pinggir jalan. Ardi ingin menangis tapi tidak bisa. Ingin berteriak, tapi tidak ada daya. Semua berantakan di hidupnya. Apa lagi yang dapat Ardi lakukan? Tidak ada pekerjaan, tidak ada tempat tinggal, dan diputus wanita yang paling dia cintai. Semua semakin kacau!

Ardi mengangkat wajah dan melihat sekeliling. Kira-kira lima belas meter di sisi kirinya, ada jembatan cukup panjang. Sungai besar melintas di bawah jembatan itu. Ardi bangun dan melangkah ke arah jembatan. Ya, untuk apa Ardi hidup lagi? Lebih baik dia lenyap saja dari muka bumi.

Pemuda berkulit terang itu berdiri di pinggir jembatan. Dia memandang ke sungai di bawah jembatan yang arusnya begitu deras, sementara hujan masih mengguyur meskipun sudah tidak lagi deras.

"Lompat saja! Kamu tunggu apa? Tidak ada gunanya lagi kamu hidup! Semua berantakan, sia-sia. Ayo, lompat!" Suara itu dengan keras terdengar, tetapi hanya di dalam hati Ardi.

Hati Ardi berdebar-debar. Kekalutan sedang menyelimuti dirinya. Putus asa tengah mendera jiwanya.

Hidupnya kacau balau. Dia tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Karena semua usaha yang dia telah lakukan, hanya membentur dinding, tidak ada gunanya.

Ardi sudah memantapkan hati untuk melompat saat tiba-tiba dia merasa ada yang menarik tubuhnya dengan kuat sekali.

"Argh!" Ardi berteriak dengan keras karena terkejut luar biasa.

Sosok yang menarik tubuhnya membekap Ardi dengan kain dan membuat Ardi gelagapan. Tubuhnya berangsur melemas dan Ardi terjatuh di jalanan yang basah.

Di ambang kesadarannya, Ardi bisa mendengar suara seseorang berbicara pada yang lain.

“Kami sudah menemukan pewaris Anda, Tuan.”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status