Sampai di kamar Helios masuk ke kamar mandi dan mengguyur dirinya lama di bawah air. Dia berjuang keras meredakan hasrat membara yang tiba-tiba menyerang dan seperti mencabik-cabik dirinya.Helios merasa sangat bodoh. Dia telah menyakiti Violetta. Dia sama jahatnya seperti Raditya. Kalau Violetta tidak berucap kata takut, Helios pasti tidak akan sadar dia telah melangkah terlalu jauh menyentuh gadis itu."Bodoh! Kamu bodoh, Helios! Apa yang sudah kamu lakukan pada Vio?!" Keras dan marah Helios mengumpat. Dia tidak percaya, malam yang manis dan indah, dia rusak dengan tingkah konyol seperti itu."Aneh, benar-benar aneh. Kenapa aku tiba-tiba tidak dapat menahan diri? Kenapa aku ini?" Helios geram dengan dirinya sendiri.Kembali terbayang wajah cantik Violetta dengan bibir seksi dan tubuhnya yang molek. "Stop, Helios. Stop! Violetta gadis yang baik, adik sepupu kamu. Jangan berbuat gila padanya. Kamu harus menjaganya!" Helios mengingatkan lagi pada dirinya bagaimana hubungan dia dengan
"Aku di gazebo, Hel." Violetta menjawab telepon Helios.Helios menghela napas dalam. Violetta menunggu untuk mereka bicara. Lebih baik Helios segera menemui gadis itu dan meluruskan apa yang terjadi malam sebelumnya. Semua makin sulit dan berat. Pundak dan punggung Helios seperti tengah memikul keranjang besar penuh dengan batu-batu di dalamnya."Oke, aku ke sana." Helios menutup panggilan dan berjalan meninggalkan rumah, menemui Violetta.Gadis itu duduk memandang lurus ke arah taman. Di seberang taman, seorang pelayan sedang memasang alat penyiram tanaman.Helios berjalan lebih lambat saat semakin dekat dengan Violetta. Lalu dia duduk di samping gadis itu, berjarak hampir setengah meter. Violetta menoleh ke arah Helios, sementara Helios tetap memandang lurus ke depan. Melihat sikap kaku dan canggung Helios, Violetta menunggu, kembali mengarahkan matanya ke taman. "Aku sangat malu. Tadi malam aku seperti laki-laki gila. Aku, aku benar-benar minta maaf, Vio." Helios mengatakan itu ta
Helios tersenyum. Masih jelas tampan, tapi senyumnya redup, bukan senyum gembira. "Sejak aku tinggal di sini, semua duniaku terbalik. Kejutan demi kejutan aku hadapi tiap hari. Aku bersemangat, berusaha semaksimal mungkin melakukan yang dipercayakan padaku. Kukira aku akan terbiasa. Ternyata ...""Apa menurutmu lebih baik kamu kembali ke dunia lama kamu? Menjadi dirimu sendiri?" Donita memandang Helios."Miss Doni tahu tentang aku?" Helios merasakan degupan kuat di dadanya. Jika Donita tahu siapa dia sebenarnya ..."Jangan kuatir. Aku tahu bagaimana menutup mulut." Donita tersenyum tipis."Bang Victor-""Jangan salahkan dia. Victor sangat bisa diandalkan untuk memegang rahasia. Aku yang lancang dan culas. Jadi, Victor terjebak dan terpaksa mengatakan tentang dirimu yang sebenarnya." Dengan cepat Donita menjelaskan."Hmmm ..." Helios menarik napas berat. "Jadi, Tuan Muda, aku senang jika kamu mau cerita. Biar pundakmu terasa lebih ringan. Suntuk akan sedikit menyingkir." Donita memb
Minggu pagi. Helios bangun saat matahari mulai menebar sinarnya. Dia membuka tirai kamarnya laku keluar ke balkon. Helios paling suka menikmati udara pagi yang segar dan merasakan sinar matahari pagi menyentuh kulitnya.Mata Helios otomatis melihat ke arah rumah seberang, ke kamar Violetta. Tirai masih tertutup rapat. Sangat mungkin gadis cantik itu belum terjaga. Sangat mungkin juga, gadis itu masih sedih dan kesal pada Helios."Miss you, Vio. Pengin lihat senyum lebar dan manja kamu," kata Helios pelan.Lalu Helios menengadah, melihat ke langit yang terang dengan awan terpencar di sana-sini, tipis tapi menambah indah langit pagi."Kau belum menjawab aku, Tuhan. Apa aku yang tidak bisa mendengar suara-Mu?" Helios bertanya lirih.Puas menikmati suasana pagi, Helios kembali ke dalam kamar. Lebih baik dia mandi menyegarkan badan. Tepat saat itu, tampak ponselnya menyala dan bergetar. Dengan cepat Helios mendekati nakas dan melihat yang menelpon."Donita?" Helios heran, sepagi itu Donit
Helios mematung. Kalimat yang dia dengar membuatnya tak tahu harus berkata apa dan berbuat apa. Semua tampaknya akan segera berakhir. Kisah pemuda miskin putus asa yang menjadi Tuan Muda akan berlalu, kemudian dia akan disingkirkan.Tatapan penuh amarah dengan mata menyala Herman membuat Helios takut. Takut dengan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Dia bukan siapa-siapa. Jika Herman menganggap Helios gagal, dengan mudah, seperti menyentil semut dengan jari telunjuk, habislah sudah."Ini tidak masuk akal! Ini gila!" Herman mengepalkan tangannya, teracung ke depan mukanya."Papa, maafkan aku ..." ucap Helios dengan rasa berat menekan di dadanya. Bernapas saja seakan mulai sesak."Kamu cinta Violetta?" Herman masih belum lega. Dia ingin pengakuan Helios sepenuhnya.Helios menelan ludahnya. Tidak mungkin dia tidak mengaku. Tapi pengakuannya hanya akan menambah semua berantakan."Kamu diam, aku sudah tahu jawabannya." Herman memandang Helios, sementara tangannya pindah mendekap dad
Herman tidak menyahut. Dia memandang Helios, menarik napas dalam dan panjang. Mungkin kata-kata dr. Luki benar. Dia harus mendengar suara hati Helios. "Pa ... Papa ..." Helios memulai dengan sengaja memanggil Herman. Hati Helios bergemuruh. Apa yang dia katakan, dia tahu bisa akan jadi bencana bagi Herman. Tetapi, tidak ada gunanya dia terus menghindar. Mungkin juga, ini perjuangan yang harus Helios lakukan seperti yang Violetta ucapkan."Orang yang pertama aku panggil papa dengan sadar ..." Helios menghela napas.Herman yang semula melihat ke langit-langit kamar, menoleh pada Helios. Dia menunggu apa yang Helios mau ungkapkan sebenarnya."... adalah Tuan Besar." Helios melanjutkan. "Aku tak pernah tahu siapa ayahku. Membayangkan punya ayah, aku bahkan tidak mau lagi. Karena tidak akan ada seorang ayah untukku."Herman tidak berkedip. Dia masih menunggu."Saat aku dipaksa jadi Tuan Muda, aku bingung. Semua tidak masuk akal. Tapi, menjalaninya, semakin mengenal Tuan Besar, aku bersyu
Pagi tiba.Saat Helios terbangun, Herman justru tengah terlelap. Helios tidak mau membangunkan Herman. Dia mencari Vemy dan Rindi di dapur, berpesan pada mereka untuk menjaga Herman. Helios harus tetap bekerja.Dengan hati carut marut Helios meninggalkan mansion menuju kantor. Dia bahkan tidak ingat Violetta mestinya pergi dengannya. Tiba di kantor pun, Helios seperti sedikit linglung, tidak tahu mana dulu yang harus dia lalukan."Bang, sudah di kantor?" Helios menghubungi Victor. Dia butuh seseorang menolong dia. Tidak mungkin Helios bekerja dengan pikiran kalut. Sekitar lima belas menit berikutnya, Victor masuk ke ruangan Helios."Kamu kenapa?" Victor seketika tahu ada yang tidak beres dengan Helios begitu dia masuk ke ruangan."Aku bingung. Kacau, Bang." Helios ingin menangis, ingin berteriak, ingin pergi sejauh-jauhnya dari semua hal yang menggulung dan menindihnya."Kemarin pulang gereja kamu terlihat lebih tenang, lebih cerah. Ada apa?" Victor duduk di kursi depan meja kerja Hel
Semua mata memandang pria berkulit sawo matang itu. Tentu saja mereka kaget, dia bicara pada Herman seakan mengenal Tuan Besar saja."Ririn?" Herman menatap pria yang tak dia kenal itu dengan kaget.Kedua alis Herman menyatu. Siapa pria itu? Apa mereka pernah bertemu?"Pak Winardi, kamu ngapain?" Wanita yang ada di sebelah Tara menyahut lirih, setengah menyentak pada pria itu "Nya, itu Tuan itu. Aku harus bicara sama dia." Pria dpanggil Winardi itu memandang majikannya dengan meyakinkan."Pak Win keluar saja. Tunggu aku di teras," kata si nyonya. Tegas, sebuah perintah yang tidak boleh ditolak."Tapi, Nyonya, ini penting. Sebentar saja." Winardi memohon dengan dua tangannya menyatu di depan dada."Laila, ada apa, sih?" Tara akhirnya ikut bicara karena tidak nyaman juga melihat tingkah Winardi. "Ga tahu, aneh banget." Laila, teman Tara, menoleh melihat Tara yang juga merasa tidak enak pada Herman karena itu. "Pak Win." Laila mendekat dua langkah pada soprinya. Dia bicara lagi setenga