Pagi tiba.Saat Helios terbangun, Herman justru tengah terlelap. Helios tidak mau membangunkan Herman. Dia mencari Vemy dan Rindi di dapur, berpesan pada mereka untuk menjaga Herman. Helios harus tetap bekerja.Dengan hati carut marut Helios meninggalkan mansion menuju kantor. Dia bahkan tidak ingat Violetta mestinya pergi dengannya. Tiba di kantor pun, Helios seperti sedikit linglung, tidak tahu mana dulu yang harus dia lalukan."Bang, sudah di kantor?" Helios menghubungi Victor. Dia butuh seseorang menolong dia. Tidak mungkin Helios bekerja dengan pikiran kalut. Sekitar lima belas menit berikutnya, Victor masuk ke ruangan Helios."Kamu kenapa?" Victor seketika tahu ada yang tidak beres dengan Helios begitu dia masuk ke ruangan."Aku bingung. Kacau, Bang." Helios ingin menangis, ingin berteriak, ingin pergi sejauh-jauhnya dari semua hal yang menggulung dan menindihnya."Kemarin pulang gereja kamu terlihat lebih tenang, lebih cerah. Ada apa?" Victor duduk di kursi depan meja kerja Hel
Semua mata memandang pria berkulit sawo matang itu. Tentu saja mereka kaget, dia bicara pada Herman seakan mengenal Tuan Besar saja."Ririn?" Herman menatap pria yang tak dia kenal itu dengan kaget.Kedua alis Herman menyatu. Siapa pria itu? Apa mereka pernah bertemu?"Pak Winardi, kamu ngapain?" Wanita yang ada di sebelah Tara menyahut lirih, setengah menyentak pada pria itu "Nya, itu Tuan itu. Aku harus bicara sama dia." Pria dpanggil Winardi itu memandang majikannya dengan meyakinkan."Pak Win keluar saja. Tunggu aku di teras," kata si nyonya. Tegas, sebuah perintah yang tidak boleh ditolak."Tapi, Nyonya, ini penting. Sebentar saja." Winardi memohon dengan dua tangannya menyatu di depan dada."Laila, ada apa, sih?" Tara akhirnya ikut bicara karena tidak nyaman juga melihat tingkah Winardi. "Ga tahu, aneh banget." Laila, teman Tara, menoleh melihat Tara yang juga merasa tidak enak pada Herman karena itu. "Pak Win." Laila mendekat dua langkah pada soprinya. Dia bicara lagi setenga
Helios memeriksa lagi semua berkas, catatan, data atau apapun yang selama ini dia kerjakan. Setelah itu, dia akan menemui Violetta dan mengatakan semuanya. Jika Violetta sayang padanya, dengan tulus, pasti Violetta akan mau menerima Helios apa adanya.Begitu urusan dengan Violetta selesai, Helios akan menemui Herman dan Halim. Dia akan menyerahkan semuanya lagi, memastikan perjanjian misi itu berakhir, lalu dia akan pergi. Helios akan pulang, kembali ke Semarang. Dia akan kembali menjadi Ardiandana Krisnadi."Hhaahhh ..." Helios mendesah. Rasa berat kembali menekan dadanya. Hampir satu tahun dia tinggal di mansion. Kehidupan yang tak pernah dia pikir akan dia jalani, dia tempuh sebagai orang asing. Seseorang yang hanya ada dalam imajinasi Herman, dengan tidak ada pilihan, Helios, bukan, Ardi harus ada di posisi itu."Semua sudah selesai. Dan aku gagal." Helios tersenyum pahit. Gelisah bercampur sedih menerpa hatinya. "Setidaknya aku tahu rasanya jadi anak sultan. Tahu rasanya punya se
"Tuan! Tuan Besar!!" Vemy berteriak kaget saat masuk ke kamar Herman. Dia melihat Herman tergeletak dengan tubuh tegang dan gemetar. Wajahnya merah dan tampak dia tersengal-sengal berusaha bernapas. "Ya Tuhan! Tuan, kenapa begini!?" Vemy cepat-cepat mendekat ke ranjang. Dengan panik, Vemy membantu Herman memakaiu alat bantuan pernapasan. Tangannya gemetar karena terkejut luar biasa. Dia juga dengan cepat menghubungi Helios. Tetapi sayang, Helios tidak menerima panggilan Vemy. "Aduh, Tuan Muda sibuk kayaknya ... Ya Tuhan ... tolong ... Ah, Tuan Halim." Vemy beralih menghubungi Halim. Beberapa kali, akhirnya panggilan Vemy terjawab. Dengan tergopoh dan cemas, Vemy memberi kabar. Tentu saja Halim sangat terkejut mendapat kabar kalau Herman drop begitu cepat. Belum sampai dua jam sebelumnya Halim meninggalkan mansion, dan tiba-tiba mendapat kabar ini? Halim meminta Vemy menemani Herman, sedangkan Halim segera menghubungi dr. Luki. Dokter langsung menitahkan agar Herman dibawa ke rum
Hati Violetta berdesir. Dia telah menulis pesan pada pria tampan blasteran Perancis Indonesia yang dia kenal sebagai papanya, tetapi yang selalu tidak mau mempedulikannya. Violetta berhati-hati menuangkan isi hatinya, agar dapat membujuk pria itu menerimanya. Bagaimanapun, Violetta adalah putrinya. Yang terjadi antara dia dengan Siska, seburuk apapun, tidak semestinya mengalihkan pria itu dari tanggung jawab bahwa dia punya Violetta di dalam hidupnya. Bahkan, sekalipun dia telah punya keluarga baru dan bahagia bersama mereka."Hhuuffhhh ..." Violetta mengembuskan napas panjang, lalu membaca ulang pesan yang siap dia kirimkan.*Dear Daddy,It's been so long I don't contact you, I don't say hello and hope to know how are you doing. I am so sorry for that.Kali ini aku memberanikan diri menghubungi papa. Ada banyak kejadian yang aku alami dan aku benar-benar butuh papa. Jika aku katakan, please, look at me. I really need you the most right now.Di rumah, semua semakin berat. Aku benar-
Siska berjalan tergesa-gesa menuju ke kamar di mana Herman dirawat. Cuma satu yang Siska mau katakan pada pria itu, Herman adalah pria munafik. Kebencian Herman padq Siska dan Raditya yang membuat konglomerat itu membuat rekayasa sangat apik terkait Helios sebagai Tuan Muda Hartawan. Dari awal Siska tidak percaya jika Helios adalah anak Herman, hingga doa mulai yakin, lalu mencari cara agar Helios dan Violetta bisa jadian. Ternyata, Herman melakukan kebohongan besar. Benar-benar kejam pria itu pada Siska.Kamar Herman tinggal beberapa meter lagi. Siska makin mempercepat langkah kakinya. Siska sudah tidak sabar ingin meluapkan kemarahannya pada Herman.Pintu kamar Herman tertutup. Dengan cepat Siska mendorong hingga pintu terbuka. Bagus sekali. Herman di dalam sendirian, berbaring lemah di atas ranjang pasien."Ah, senang sekali aku bisa melihatmu di sini, Herman!" Dengan senyum sinis Siska melangkah masuk, mendekat ke sisi ranjang.Tentu saja Herman sangat kaget melihat tiba-tiba Sisk
"Aku puas! Puas sekali melihat Herman tak berdaya. Sedikit lagi, sedikit lagi dia pasti mati! Aku harus menerornya. Kalau dia makin tertekan, sudah pasti jantungnya tidak akan mampu bertahan lagi. Tidak lama lagi, semua kesombongan pria tua itu akan habis." Siska bicara sendiri sambil memandang wajahnya di cermin.Melihat Herman terkapar hampir tak bisa bergerak di atas ranjang, sungguh pemandangan menyenangkan untuk Siska. Kali ini dia harus berhasil menyingkirkan Herman. Siapa yang menduga, rekayasa kisah si Tuan Muda, buatan Herman sendiri yang menghancurkan dia."Kamu kira kamu akan hidup selamanya? Hah, manusia sombong pasti ada ujungnya. Dan ujungnya kehancuran paling menyakitkan. Selamat menikmati kematian yang segera datang, Herman." Senyum kemenangan dan juga diiringi kebencian pada Herman terpampang jelas di wajah cantik Siska."Mama!" Siska berbalik, tampak Violetta di depan pintu kamarnya. Terlihat gadis itu lesu dengan mata masih sembab. "Ada apa?" tanya Siska sembari me
Violetta memegang dadanya dan mengembuskan napas berat. Kenyataan yang dia hadapi sama sekali menyakitkan. Dia harus mendengar kisah dirinya dari orang lain. Mamanya selama ini berusaha menutupi karena ingin mengubur aib yang dia buat."Tuan Pieter sangat baik. Dia sangat sayang Nyonya dan Non Vio." Harun meneruskan.Violetta mengangguk. Tidak mungkin dia lupa. Meskipun samar, kenangan akan padanya masih tersimpan. Yang dia ingat papanya suka tersenyum dan ramah. Pelukannya kuat dan menenangkan. "Kenapa papa pergi kalau dia menerima aku dan mama, tidak peduli bagaimana latar belakang aku ada?" tanya Violetta.Harun memejamkan mata. Dia seolah-olah mengumpulkan ingatan. Mungkin lebih tepatnya, dia menyiapkan kalimat yang tepat untuk dia ungkapkan."Nyonya kembali pada dunianya. Tuan Pieter sedih dan kecewa." Jawaban itu diucapkan tenang sekali.Violetta seketika mengerti. Ibunya pasti punya pria lain. Pieter tentu saja merasa dikhianati. Dia menerima aib Siska, bahkan mengakui Violetta