"Aku puas! Puas sekali melihat Herman tak berdaya. Sedikit lagi, sedikit lagi dia pasti mati! Aku harus menerornya. Kalau dia makin tertekan, sudah pasti jantungnya tidak akan mampu bertahan lagi. Tidak lama lagi, semua kesombongan pria tua itu akan habis." Siska bicara sendiri sambil memandang wajahnya di cermin.Melihat Herman terkapar hampir tak bisa bergerak di atas ranjang, sungguh pemandangan menyenangkan untuk Siska. Kali ini dia harus berhasil menyingkirkan Herman. Siapa yang menduga, rekayasa kisah si Tuan Muda, buatan Herman sendiri yang menghancurkan dia."Kamu kira kamu akan hidup selamanya? Hah, manusia sombong pasti ada ujungnya. Dan ujungnya kehancuran paling menyakitkan. Selamat menikmati kematian yang segera datang, Herman." Senyum kemenangan dan juga diiringi kebencian pada Herman terpampang jelas di wajah cantik Siska."Mama!" Siska berbalik, tampak Violetta di depan pintu kamarnya. Terlihat gadis itu lesu dengan mata masih sembab. "Ada apa?" tanya Siska sembari me
Violetta memegang dadanya dan mengembuskan napas berat. Kenyataan yang dia hadapi sama sekali menyakitkan. Dia harus mendengar kisah dirinya dari orang lain. Mamanya selama ini berusaha menutupi karena ingin mengubur aib yang dia buat."Tuan Pieter sangat baik. Dia sangat sayang Nyonya dan Non Vio." Harun meneruskan.Violetta mengangguk. Tidak mungkin dia lupa. Meskipun samar, kenangan akan padanya masih tersimpan. Yang dia ingat papanya suka tersenyum dan ramah. Pelukannya kuat dan menenangkan. "Kenapa papa pergi kalau dia menerima aku dan mama, tidak peduli bagaimana latar belakang aku ada?" tanya Violetta.Harun memejamkan mata. Dia seolah-olah mengumpulkan ingatan. Mungkin lebih tepatnya, dia menyiapkan kalimat yang tepat untuk dia ungkapkan."Nyonya kembali pada dunianya. Tuan Pieter sedih dan kecewa." Jawaban itu diucapkan tenang sekali.Violetta seketika mengerti. Ibunya pasti punya pria lain. Pieter tentu saja merasa dikhianati. Dia menerima aib Siska, bahkan mengakui Violetta
Helios kembali ke mansion. Masuk ke rumah besar, semua terasa berbeda. Biasanya rasa nyaman berada di rumah yang memenuhi hati Helios. Tetapi dengan semua yang terjadi, rasa asing, seperti saat awal dia datang yang datang mendarat di hatinya.Dengan lesu, Helios naik ke kamarnya. Di tangga dia bertemu dengan pelayan yang sedang membersihkan rumah. Pelayan itu menanyakan kabar Herman. Ada raut kesedihan juga di wajah si pelayan."Semoga Tuan Besar kembali sehat dan cepat pulang," kata pelayan itu setelah mendengar kabar dari Helios."Ya, Bu. Semoga saja." Helios menjawab sambil melanjutkan langkah menuju kamarnya.Masuk ruang besar itu, Helios makin resah. Ada rasa kehilangan yang besar tiba-tiba menyusup. Kamar itu, tempat pertama yang dia lihat saat berada di rumah besar itu, sebagai korban penculikan. Kamar itu juga saksi segala rasa dan pergumulan hati Helios menjalani hari-hari sebagai Tuan Muda.Helios mengangkat kaki dan berjalan menuju balkon. Dia kangen ternyata berada di sana
Helios meraih kedua tangan Violetta. Dia mau memastikan kalau dia membawa Violetta, dia akan berjuang agar mereka bahagia bersama."Pasti ga mudah. Yang kita hadapi semua belum pasti. Tapi aku yakin ada jalan. Jika kita tetap saling sayang, semua bisa kita lewati," kata Helios.Ini saat penenutuan yang tidak mudah. Tetapi Helios bertekad akan tetap di samping Violetta. "Oke. Kita pergi. Kita akan ke mana saja bersama. Tapi janji, Hel, apapun yang terjadi kamu ga akan menjauh." Violetta mempererat pegangan tangan mereka."Aku janji. Kita akan tetap bersama, apapun yang terjadi."Ucapan Helios membuat hati Violetta campur aduk. Benar, dia memang ingin pergi. Tidak terkira, dia akan pergi dengan pria yang dia sebut 'hero' di hidupnya. Jalan sudah terbuka, Violetta tidak akan sendirian di luar mansion."Kapan kita berangkat?" Violetta bertanya dengan jantung masih berdetak cepat."Tuan Besar masih dalam pantauan dokter. Masih belum lolos masa kritis. Jika dia mendengar aku pergi, aku kua
Violetta memegang erat pinggir jendela mobil. Dia masih tidak percaya dengan yang Helios katakan. Mereka harus segera berangkat atau mereka akan terlambat."Vio, pasti ada yang gawat. Aku ga mungkin pergi. Jika terjadi sesuatu dengan Tuan Besar, aku akan menyesal seumur hidup!" Helios memberikan alasan."Hel, tapi kita sudah mengatur semua, kita-""Aku ga mungkin ga ke sana, Vio. Kondisi Tuan Besar pasti gawat!" sahut Helios dengan tatapan panik.Terpaksa, Violetta melepas tangannya dan mundur beberapa langkah. Matanya terlihat kesal, tapi juga bingung."Fine. Pergilah!" Violetta berdiri dengan kedua tangan meremas ujung kaos yang dia pakai. Dada Violetta dengan cepat terasa berat. Dia menatap Helios tak berkedip. Kenapa jadi begini?"Aku pasti kembali. Kita pasti sama-sama. Aku ga akan ingkar." Helios memandang Violetta dengan perasaan campur aduk. Semua sudah dia atur dengan rapi, tapi kenapa seperti ini? Helios hampir yakin Tuhan memang menginginkan dia dan Violetta bersama. Lalu
"Jadi seperti itu yang terjadi, Helios. Aku, aku sendiri tidak pernah tahu ... aku bahkan tidak ingat Ririn." Herman mengakhiri cerita bagaimana dia bisa bertemu dengan ibu Helios."Arinda Krisnanti." Dalam hati Helios berucap. Helios tidak pernah tahu jika ibunya pernah dipanggil dengan nama Ririn. Selama ibunya masih ada, semua orang memanggil dia Arin. Mendengar semua yang Herman tuturkan, Helios masih merasa semua seperti mimpi. Mimpi yang kesekian di hidupnya yang dia tahu tidak akan terbangun lagi."Semakin aku ingat hari-hari itu, empat hari dengan Ririn, aku bisa ingat Ririn gadis yang baik. Sangat sopan dan jujur. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia menyembunyikan kamu dariku?" Helios tidak tahu bisa bicara apa. Kisah rekayasa yang Herman buat ternyata tidak benar-benar dusta. Sedikit berbeda, tapi tetap benar Helios lahir dari hubungan gelap. Meskipun tanpa disengaja, tak pernah diharapkan. "Aku bingung pagi itu, tidak ingat apa yang terjadi dengan jelas malam sebelumnya. Tiba-t
"Tidak! Itu tidak mungkin!!" Siska berteriak sambil berjalan mendekat.Mata wanita itu menyala dengan wajah merah. Tatapannya menghujam dalam pada Helios."Ini pasti rekayasa kalian lagi! Setelah ketahuan niat busuk kalian menipu semua orang, sekarang sandiwara baru kalian buat!!" Tangan Sisika terangkat, teracung di depan wajah Helios. Sedikit lagi, bisa saja tangan wanita itu mencakar wajah tampan Helios."Tidak semudah itu membuat rekayasa hasil tes DNA, Tante!" bantah Helios."Aku bukan tante kamu! Kamu anak kampung ga tahu diri! Harusnya kamu pergi begitu ketahuan kebohongan kamu! Dasar tidak tahu malu!!" Makin meledak amarah Siska.Tangannya benar-benar terangkat hendak menampar Helios."Mama!" Violetta sigap menarik Helps agar mundur. "Cukup! Mama jangan kalap kayak gini!""Aku ga terima! Aku ga akan pernah terima!!" teriak Siska lebih kuat. Urat-urat di lehernya bahkan terlihat jelas."Buat apa Mama marah?! Kalau memang kenyata-""Nggak!!" Siska memotong cepat ucapan Violetta
"Mama! Mama bilang apa?" Violetta menatap dengan mata lebar pada Siska.Dia tak percaya yang barusan dia dengar. Siska mengatakan Helios sudah membuat Violetta hamil? "Mama hanya mau Herman tahu mengajari anaknya. Berani berbuat berani bertanggung jawab! Kamu harus menikah dengan Helios, secepatnya!" Siska masih meneruskan cerita yang dia buat."Ga, Ma. Itu ga benar. Aku ga ha-""Kamu mau mengelak?! Mama berusaha membela kamu di depan pria tua sakit-sakitan itu! Harusnya kamu dukung Mama. Kamu harus menikah dengan Helios!" Suara keras Siska membuat orang-orang yang lewat menoleh bahkan ada yang berhenti."Nyonya, Nyonya pulang sekarang atau aku panggil sekuriti," kata Victor mengancam Siska."Diam kamu! Aku sudah sabar sama kamu, tapi masih juga kamu sok jadi pahlawan buat Herman!" Siska balik marah pada Victor."Mama, cukup. Lihat semua orang melihat kita," kata Violetta dengan suara dia rendahkan tetapi dengan nada tegas."Biar semua tahu! Biar saja! Aku sudah sabar selama ini dip