Violetta memegang erat pinggir jendela mobil. Dia masih tidak percaya dengan yang Helios katakan. Mereka harus segera berangkat atau mereka akan terlambat."Vio, pasti ada yang gawat. Aku ga mungkin pergi. Jika terjadi sesuatu dengan Tuan Besar, aku akan menyesal seumur hidup!" Helios memberikan alasan."Hel, tapi kita sudah mengatur semua, kita-""Aku ga mungkin ga ke sana, Vio. Kondisi Tuan Besar pasti gawat!" sahut Helios dengan tatapan panik.Terpaksa, Violetta melepas tangannya dan mundur beberapa langkah. Matanya terlihat kesal, tapi juga bingung."Fine. Pergilah!" Violetta berdiri dengan kedua tangan meremas ujung kaos yang dia pakai. Dada Violetta dengan cepat terasa berat. Dia menatap Helios tak berkedip. Kenapa jadi begini?"Aku pasti kembali. Kita pasti sama-sama. Aku ga akan ingkar." Helios memandang Violetta dengan perasaan campur aduk. Semua sudah dia atur dengan rapi, tapi kenapa seperti ini? Helios hampir yakin Tuhan memang menginginkan dia dan Violetta bersama. Lalu
"Jadi seperti itu yang terjadi, Helios. Aku, aku sendiri tidak pernah tahu ... aku bahkan tidak ingat Ririn." Herman mengakhiri cerita bagaimana dia bisa bertemu dengan ibu Helios."Arinda Krisnanti." Dalam hati Helios berucap. Helios tidak pernah tahu jika ibunya pernah dipanggil dengan nama Ririn. Selama ibunya masih ada, semua orang memanggil dia Arin. Mendengar semua yang Herman tuturkan, Helios masih merasa semua seperti mimpi. Mimpi yang kesekian di hidupnya yang dia tahu tidak akan terbangun lagi."Semakin aku ingat hari-hari itu, empat hari dengan Ririn, aku bisa ingat Ririn gadis yang baik. Sangat sopan dan jujur. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia menyembunyikan kamu dariku?" Helios tidak tahu bisa bicara apa. Kisah rekayasa yang Herman buat ternyata tidak benar-benar dusta. Sedikit berbeda, tapi tetap benar Helios lahir dari hubungan gelap. Meskipun tanpa disengaja, tak pernah diharapkan. "Aku bingung pagi itu, tidak ingat apa yang terjadi dengan jelas malam sebelumnya. Tiba-t
"Tidak! Itu tidak mungkin!!" Siska berteriak sambil berjalan mendekat.Mata wanita itu menyala dengan wajah merah. Tatapannya menghujam dalam pada Helios."Ini pasti rekayasa kalian lagi! Setelah ketahuan niat busuk kalian menipu semua orang, sekarang sandiwara baru kalian buat!!" Tangan Sisika terangkat, teracung di depan wajah Helios. Sedikit lagi, bisa saja tangan wanita itu mencakar wajah tampan Helios."Tidak semudah itu membuat rekayasa hasil tes DNA, Tante!" bantah Helios."Aku bukan tante kamu! Kamu anak kampung ga tahu diri! Harusnya kamu pergi begitu ketahuan kebohongan kamu! Dasar tidak tahu malu!!" Makin meledak amarah Siska.Tangannya benar-benar terangkat hendak menampar Helios."Mama!" Violetta sigap menarik Helps agar mundur. "Cukup! Mama jangan kalap kayak gini!""Aku ga terima! Aku ga akan pernah terima!!" teriak Siska lebih kuat. Urat-urat di lehernya bahkan terlihat jelas."Buat apa Mama marah?! Kalau memang kenyata-""Nggak!!" Siska memotong cepat ucapan Violetta
"Mama! Mama bilang apa?" Violetta menatap dengan mata lebar pada Siska.Dia tak percaya yang barusan dia dengar. Siska mengatakan Helios sudah membuat Violetta hamil? "Mama hanya mau Herman tahu mengajari anaknya. Berani berbuat berani bertanggung jawab! Kamu harus menikah dengan Helios, secepatnya!" Siska masih meneruskan cerita yang dia buat."Ga, Ma. Itu ga benar. Aku ga ha-""Kamu mau mengelak?! Mama berusaha membela kamu di depan pria tua sakit-sakitan itu! Harusnya kamu dukung Mama. Kamu harus menikah dengan Helios!" Suara keras Siska membuat orang-orang yang lewat menoleh bahkan ada yang berhenti."Nyonya, Nyonya pulang sekarang atau aku panggil sekuriti," kata Victor mengancam Siska."Diam kamu! Aku sudah sabar sama kamu, tapi masih juga kamu sok jadi pahlawan buat Herman!" Siska balik marah pada Victor."Mama, cukup. Lihat semua orang melihat kita," kata Violetta dengan suara dia rendahkan tetapi dengan nada tegas."Biar semua tahu! Biar saja! Aku sudah sabar selama ini dip
Herman kembali masuk ruang gawat darurat. Halim dan Victor sangat cemas. Apalagi Helios. Situasi begitu menegangkan. Helios bertekad tidak akan beranjak dari rumah sakit sampai Herman akan membaik. Mau tidak mau, Halim yang stay di kantor, mengurus semua mewakili baik Tuan Besar maupun Tuan Muda.Herman sangat lemah, dia tidak sadarkan diri. Tekaan bertubi-tubi yang terjadi hampir bersamaan membuat jantungnya langsung memburuk.Violetta juga terus di sisi Helios. Sekalipun dia merasa kacau karena rencananya berantakan, dia berniat akan ada di samping Helios, menguatkan pria yang dia cintai."Tuan Muda, aku harus pulang. Nanti malam aku kembali," kata Victor.Menjelang sore dia perlu mengurus sesuatu dengan Donita. Helios mengangguk tak membuka suaranya.Victor menoleh pada Violetta. Gadis itu terlihat lesu dan lelah."Nona, kalau lelah, pulang dulu tidak apa-apa. Saya bisa minta pelayan datang menemani Tuan Muda di sini." Victor menyarankan."Aku ga apa-apa, jangan kuatir." Violetta m
Violetta masuk ke kamarnya. Dia tidak akan menunda lagi untuk meninggalkan mansion. Semua yang terjadi semakin membuat hatinya kacau dan sakit. Lebih baik dia pergi sejauh mungkin. Tidak masalah tanpa Helios.Helios memang harus ada di sisi papanya. Dia penerus Dinasti Hartawan, harus meneruskan apa yang Herman bangun. Jadi, Violetta akan pergi sendiri. Dia pasti bisa menemukan tempat yang tepat untuk dirinya memulai hidup yang baru.Kopernya yang memang sudah dia siapkan masih tetap di tempatnya di sebelah lemari besar. Dengan cepat Violetta menariknya. Dia tak butuh yang lain lagi. Dompet sudah di dalam tas selempang yang tersampir di bahunya. Dia memang siap berangkat.Sambil menarik koper keluar kamar, Violetta menelpon taksi meminta agar menjemput secepatnya. Violetta akan ke bandara, tetapi dia belum tahu akan ke mana."Nona! Nona mau ke mana?" Dadang yang ada di ruang tengah melihat Violetta turun sambil menarik koper."Pak, bantu aku bawa koperku," kata Violetta tidak memperha
Helios memandangi Herman yang terbaring tak berdaya di atas ranjangnya dari jendela ruang ICU. Pria itu tak bergerak, tak bereaksi apapun. Hatinya begitu pilu. Kenapa kenyataan terus saja mempermainkan hidupnya? Itu yang berulang kali dia tanyakan.Doa hampir tak berhenti dia serukan, memohon belas kasihan dari tahta Surga. Tetapi entah apa yang salah hingga tak juga terjawab. Sisi lain, dia kuatir dengan Violetta. Gadis itu sedang galau dan marah. Sedangkan Helios tak bisa menolong apa-apa.Beberapa kali dia mengirim pesan pada Violetta tak ada balasan. Makin gelisah hati Helios. Apalagi Violetta lari pulang karena dia marah setelah tindakan kejam ibunya dengan melakukan posting dusta di dunia maya."Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Rasanya semua semakin tidak karuan. Misi berantakan. Aku dan Violetta masih tak bisa bersama. Malah masalah baru muncul. Nama papa dan keluarga Hartawan rusak karena Tante Siska. Aku harus bagaimana?" Helios menghela napas dalam sambil masih memandang Herm
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s