"Jadi seperti itu yang terjadi, Helios. Aku, aku sendiri tidak pernah tahu ... aku bahkan tidak ingat Ririn." Herman mengakhiri cerita bagaimana dia bisa bertemu dengan ibu Helios."Arinda Krisnanti." Dalam hati Helios berucap. Helios tidak pernah tahu jika ibunya pernah dipanggil dengan nama Ririn. Selama ibunya masih ada, semua orang memanggil dia Arin. Mendengar semua yang Herman tuturkan, Helios masih merasa semua seperti mimpi. Mimpi yang kesekian di hidupnya yang dia tahu tidak akan terbangun lagi."Semakin aku ingat hari-hari itu, empat hari dengan Ririn, aku bisa ingat Ririn gadis yang baik. Sangat sopan dan jujur. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia menyembunyikan kamu dariku?" Helios tidak tahu bisa bicara apa. Kisah rekayasa yang Herman buat ternyata tidak benar-benar dusta. Sedikit berbeda, tapi tetap benar Helios lahir dari hubungan gelap. Meskipun tanpa disengaja, tak pernah diharapkan. "Aku bingung pagi itu, tidak ingat apa yang terjadi dengan jelas malam sebelumnya. Tiba-t
"Tidak! Itu tidak mungkin!!" Siska berteriak sambil berjalan mendekat.Mata wanita itu menyala dengan wajah merah. Tatapannya menghujam dalam pada Helios."Ini pasti rekayasa kalian lagi! Setelah ketahuan niat busuk kalian menipu semua orang, sekarang sandiwara baru kalian buat!!" Tangan Sisika terangkat, teracung di depan wajah Helios. Sedikit lagi, bisa saja tangan wanita itu mencakar wajah tampan Helios."Tidak semudah itu membuat rekayasa hasil tes DNA, Tante!" bantah Helios."Aku bukan tante kamu! Kamu anak kampung ga tahu diri! Harusnya kamu pergi begitu ketahuan kebohongan kamu! Dasar tidak tahu malu!!" Makin meledak amarah Siska.Tangannya benar-benar terangkat hendak menampar Helios."Mama!" Violetta sigap menarik Helps agar mundur. "Cukup! Mama jangan kalap kayak gini!""Aku ga terima! Aku ga akan pernah terima!!" teriak Siska lebih kuat. Urat-urat di lehernya bahkan terlihat jelas."Buat apa Mama marah?! Kalau memang kenyata-""Nggak!!" Siska memotong cepat ucapan Violetta
"Mama! Mama bilang apa?" Violetta menatap dengan mata lebar pada Siska.Dia tak percaya yang barusan dia dengar. Siska mengatakan Helios sudah membuat Violetta hamil? "Mama hanya mau Herman tahu mengajari anaknya. Berani berbuat berani bertanggung jawab! Kamu harus menikah dengan Helios, secepatnya!" Siska masih meneruskan cerita yang dia buat."Ga, Ma. Itu ga benar. Aku ga ha-""Kamu mau mengelak?! Mama berusaha membela kamu di depan pria tua sakit-sakitan itu! Harusnya kamu dukung Mama. Kamu harus menikah dengan Helios!" Suara keras Siska membuat orang-orang yang lewat menoleh bahkan ada yang berhenti."Nyonya, Nyonya pulang sekarang atau aku panggil sekuriti," kata Victor mengancam Siska."Diam kamu! Aku sudah sabar sama kamu, tapi masih juga kamu sok jadi pahlawan buat Herman!" Siska balik marah pada Victor."Mama, cukup. Lihat semua orang melihat kita," kata Violetta dengan suara dia rendahkan tetapi dengan nada tegas."Biar semua tahu! Biar saja! Aku sudah sabar selama ini dip
Herman kembali masuk ruang gawat darurat. Halim dan Victor sangat cemas. Apalagi Helios. Situasi begitu menegangkan. Helios bertekad tidak akan beranjak dari rumah sakit sampai Herman akan membaik. Mau tidak mau, Halim yang stay di kantor, mengurus semua mewakili baik Tuan Besar maupun Tuan Muda.Herman sangat lemah, dia tidak sadarkan diri. Tekaan bertubi-tubi yang terjadi hampir bersamaan membuat jantungnya langsung memburuk.Violetta juga terus di sisi Helios. Sekalipun dia merasa kacau karena rencananya berantakan, dia berniat akan ada di samping Helios, menguatkan pria yang dia cintai."Tuan Muda, aku harus pulang. Nanti malam aku kembali," kata Victor.Menjelang sore dia perlu mengurus sesuatu dengan Donita. Helios mengangguk tak membuka suaranya.Victor menoleh pada Violetta. Gadis itu terlihat lesu dan lelah."Nona, kalau lelah, pulang dulu tidak apa-apa. Saya bisa minta pelayan datang menemani Tuan Muda di sini." Victor menyarankan."Aku ga apa-apa, jangan kuatir." Violetta m
Violetta masuk ke kamarnya. Dia tidak akan menunda lagi untuk meninggalkan mansion. Semua yang terjadi semakin membuat hatinya kacau dan sakit. Lebih baik dia pergi sejauh mungkin. Tidak masalah tanpa Helios.Helios memang harus ada di sisi papanya. Dia penerus Dinasti Hartawan, harus meneruskan apa yang Herman bangun. Jadi, Violetta akan pergi sendiri. Dia pasti bisa menemukan tempat yang tepat untuk dirinya memulai hidup yang baru.Kopernya yang memang sudah dia siapkan masih tetap di tempatnya di sebelah lemari besar. Dengan cepat Violetta menariknya. Dia tak butuh yang lain lagi. Dompet sudah di dalam tas selempang yang tersampir di bahunya. Dia memang siap berangkat.Sambil menarik koper keluar kamar, Violetta menelpon taksi meminta agar menjemput secepatnya. Violetta akan ke bandara, tetapi dia belum tahu akan ke mana."Nona! Nona mau ke mana?" Dadang yang ada di ruang tengah melihat Violetta turun sambil menarik koper."Pak, bantu aku bawa koperku," kata Violetta tidak memperha
Helios memandangi Herman yang terbaring tak berdaya di atas ranjangnya dari jendela ruang ICU. Pria itu tak bergerak, tak bereaksi apapun. Hatinya begitu pilu. Kenapa kenyataan terus saja mempermainkan hidupnya? Itu yang berulang kali dia tanyakan.Doa hampir tak berhenti dia serukan, memohon belas kasihan dari tahta Surga. Tetapi entah apa yang salah hingga tak juga terjawab. Sisi lain, dia kuatir dengan Violetta. Gadis itu sedang galau dan marah. Sedangkan Helios tak bisa menolong apa-apa.Beberapa kali dia mengirim pesan pada Violetta tak ada balasan. Makin gelisah hati Helios. Apalagi Violetta lari pulang karena dia marah setelah tindakan kejam ibunya dengan melakukan posting dusta di dunia maya."Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Rasanya semua semakin tidak karuan. Misi berantakan. Aku dan Violetta masih tak bisa bersama. Malah masalah baru muncul. Nama papa dan keluarga Hartawan rusak karena Tante Siska. Aku harus bagaimana?" Helios menghela napas dalam sambil masih memandang Herm
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s