Minggu pagi. Helios bangun saat matahari mulai menebar sinarnya. Dia membuka tirai kamarnya laku keluar ke balkon. Helios paling suka menikmati udara pagi yang segar dan merasakan sinar matahari pagi menyentuh kulitnya.Mata Helios otomatis melihat ke arah rumah seberang, ke kamar Violetta. Tirai masih tertutup rapat. Sangat mungkin gadis cantik itu belum terjaga. Sangat mungkin juga, gadis itu masih sedih dan kesal pada Helios."Miss you, Vio. Pengin lihat senyum lebar dan manja kamu," kata Helios pelan.Lalu Helios menengadah, melihat ke langit yang terang dengan awan terpencar di sana-sini, tipis tapi menambah indah langit pagi."Kau belum menjawab aku, Tuhan. Apa aku yang tidak bisa mendengar suara-Mu?" Helios bertanya lirih.Puas menikmati suasana pagi, Helios kembali ke dalam kamar. Lebih baik dia mandi menyegarkan badan. Tepat saat itu, tampak ponselnya menyala dan bergetar. Dengan cepat Helios mendekati nakas dan melihat yang menelpon."Donita?" Helios heran, sepagi itu Donit
Helios mematung. Kalimat yang dia dengar membuatnya tak tahu harus berkata apa dan berbuat apa. Semua tampaknya akan segera berakhir. Kisah pemuda miskin putus asa yang menjadi Tuan Muda akan berlalu, kemudian dia akan disingkirkan.Tatapan penuh amarah dengan mata menyala Herman membuat Helios takut. Takut dengan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Dia bukan siapa-siapa. Jika Herman menganggap Helios gagal, dengan mudah, seperti menyentil semut dengan jari telunjuk, habislah sudah."Ini tidak masuk akal! Ini gila!" Herman mengepalkan tangannya, teracung ke depan mukanya."Papa, maafkan aku ..." ucap Helios dengan rasa berat menekan di dadanya. Bernapas saja seakan mulai sesak."Kamu cinta Violetta?" Herman masih belum lega. Dia ingin pengakuan Helios sepenuhnya.Helios menelan ludahnya. Tidak mungkin dia tidak mengaku. Tapi pengakuannya hanya akan menambah semua berantakan."Kamu diam, aku sudah tahu jawabannya." Herman memandang Helios, sementara tangannya pindah mendekap dad
Herman tidak menyahut. Dia memandang Helios, menarik napas dalam dan panjang. Mungkin kata-kata dr. Luki benar. Dia harus mendengar suara hati Helios. "Pa ... Papa ..." Helios memulai dengan sengaja memanggil Herman. Hati Helios bergemuruh. Apa yang dia katakan, dia tahu bisa akan jadi bencana bagi Herman. Tetapi, tidak ada gunanya dia terus menghindar. Mungkin juga, ini perjuangan yang harus Helios lakukan seperti yang Violetta ucapkan."Orang yang pertama aku panggil papa dengan sadar ..." Helios menghela napas.Herman yang semula melihat ke langit-langit kamar, menoleh pada Helios. Dia menunggu apa yang Helios mau ungkapkan sebenarnya."... adalah Tuan Besar." Helios melanjutkan. "Aku tak pernah tahu siapa ayahku. Membayangkan punya ayah, aku bahkan tidak mau lagi. Karena tidak akan ada seorang ayah untukku."Herman tidak berkedip. Dia masih menunggu."Saat aku dipaksa jadi Tuan Muda, aku bingung. Semua tidak masuk akal. Tapi, menjalaninya, semakin mengenal Tuan Besar, aku bersyu
Pagi tiba.Saat Helios terbangun, Herman justru tengah terlelap. Helios tidak mau membangunkan Herman. Dia mencari Vemy dan Rindi di dapur, berpesan pada mereka untuk menjaga Herman. Helios harus tetap bekerja.Dengan hati carut marut Helios meninggalkan mansion menuju kantor. Dia bahkan tidak ingat Violetta mestinya pergi dengannya. Tiba di kantor pun, Helios seperti sedikit linglung, tidak tahu mana dulu yang harus dia lalukan."Bang, sudah di kantor?" Helios menghubungi Victor. Dia butuh seseorang menolong dia. Tidak mungkin Helios bekerja dengan pikiran kalut. Sekitar lima belas menit berikutnya, Victor masuk ke ruangan Helios."Kamu kenapa?" Victor seketika tahu ada yang tidak beres dengan Helios begitu dia masuk ke ruangan."Aku bingung. Kacau, Bang." Helios ingin menangis, ingin berteriak, ingin pergi sejauh-jauhnya dari semua hal yang menggulung dan menindihnya."Kemarin pulang gereja kamu terlihat lebih tenang, lebih cerah. Ada apa?" Victor duduk di kursi depan meja kerja Hel
Semua mata memandang pria berkulit sawo matang itu. Tentu saja mereka kaget, dia bicara pada Herman seakan mengenal Tuan Besar saja."Ririn?" Herman menatap pria yang tak dia kenal itu dengan kaget.Kedua alis Herman menyatu. Siapa pria itu? Apa mereka pernah bertemu?"Pak Winardi, kamu ngapain?" Wanita yang ada di sebelah Tara menyahut lirih, setengah menyentak pada pria itu "Nya, itu Tuan itu. Aku harus bicara sama dia." Pria dpanggil Winardi itu memandang majikannya dengan meyakinkan."Pak Win keluar saja. Tunggu aku di teras," kata si nyonya. Tegas, sebuah perintah yang tidak boleh ditolak."Tapi, Nyonya, ini penting. Sebentar saja." Winardi memohon dengan dua tangannya menyatu di depan dada."Laila, ada apa, sih?" Tara akhirnya ikut bicara karena tidak nyaman juga melihat tingkah Winardi. "Ga tahu, aneh banget." Laila, teman Tara, menoleh melihat Tara yang juga merasa tidak enak pada Herman karena itu. "Pak Win." Laila mendekat dua langkah pada soprinya. Dia bicara lagi setenga
Helios memeriksa lagi semua berkas, catatan, data atau apapun yang selama ini dia kerjakan. Setelah itu, dia akan menemui Violetta dan mengatakan semuanya. Jika Violetta sayang padanya, dengan tulus, pasti Violetta akan mau menerima Helios apa adanya.Begitu urusan dengan Violetta selesai, Helios akan menemui Herman dan Halim. Dia akan menyerahkan semuanya lagi, memastikan perjanjian misi itu berakhir, lalu dia akan pergi. Helios akan pulang, kembali ke Semarang. Dia akan kembali menjadi Ardiandana Krisnadi."Hhaahhh ..." Helios mendesah. Rasa berat kembali menekan dadanya. Hampir satu tahun dia tinggal di mansion. Kehidupan yang tak pernah dia pikir akan dia jalani, dia tempuh sebagai orang asing. Seseorang yang hanya ada dalam imajinasi Herman, dengan tidak ada pilihan, Helios, bukan, Ardi harus ada di posisi itu."Semua sudah selesai. Dan aku gagal." Helios tersenyum pahit. Gelisah bercampur sedih menerpa hatinya. "Setidaknya aku tahu rasanya jadi anak sultan. Tahu rasanya punya se
"Tuan! Tuan Besar!!" Vemy berteriak kaget saat masuk ke kamar Herman. Dia melihat Herman tergeletak dengan tubuh tegang dan gemetar. Wajahnya merah dan tampak dia tersengal-sengal berusaha bernapas. "Ya Tuhan! Tuan, kenapa begini!?" Vemy cepat-cepat mendekat ke ranjang. Dengan panik, Vemy membantu Herman memakaiu alat bantuan pernapasan. Tangannya gemetar karena terkejut luar biasa. Dia juga dengan cepat menghubungi Helios. Tetapi sayang, Helios tidak menerima panggilan Vemy. "Aduh, Tuan Muda sibuk kayaknya ... Ya Tuhan ... tolong ... Ah, Tuan Halim." Vemy beralih menghubungi Halim. Beberapa kali, akhirnya panggilan Vemy terjawab. Dengan tergopoh dan cemas, Vemy memberi kabar. Tentu saja Halim sangat terkejut mendapat kabar kalau Herman drop begitu cepat. Belum sampai dua jam sebelumnya Halim meninggalkan mansion, dan tiba-tiba mendapat kabar ini? Halim meminta Vemy menemani Herman, sedangkan Halim segera menghubungi dr. Luki. Dokter langsung menitahkan agar Herman dibawa ke rum
Hati Violetta berdesir. Dia telah menulis pesan pada pria tampan blasteran Perancis Indonesia yang dia kenal sebagai papanya, tetapi yang selalu tidak mau mempedulikannya. Violetta berhati-hati menuangkan isi hatinya, agar dapat membujuk pria itu menerimanya. Bagaimanapun, Violetta adalah putrinya. Yang terjadi antara dia dengan Siska, seburuk apapun, tidak semestinya mengalihkan pria itu dari tanggung jawab bahwa dia punya Violetta di dalam hidupnya. Bahkan, sekalipun dia telah punya keluarga baru dan bahagia bersama mereka."Hhuuffhhh ..." Violetta mengembuskan napas panjang, lalu membaca ulang pesan yang siap dia kirimkan.*Dear Daddy,It's been so long I don't contact you, I don't say hello and hope to know how are you doing. I am so sorry for that.Kali ini aku memberanikan diri menghubungi papa. Ada banyak kejadian yang aku alami dan aku benar-benar butuh papa. Jika aku katakan, please, look at me. I really need you the most right now.Di rumah, semua semakin berat. Aku benar-