SAMPAI KAPANPUN, AKU TETAP MILIK IBUKU.
Bab : 1
Oleh: Enik Wahyuni
"Mas tolonglah, aku sudah tak punya uang lagi, susunya Sania habis," ucap istriku sore ini.
"Lalu kemana saja larinya uangku, Sal, makanya jangan boros-boros jadi istri," ucapku kesal.
"Uang yang kamu kasihkan kemaren buat beli gas, Mas, kemaren gasnya habis, ditambah juga minyak habis," ucapnya dengan derai air mata.
Sebenarnya aku juga bingung jika Salma sudah mengeluhkan uang. Mau bagaimana lagi, kemaren Ibu di kampung meminta kiriman lagi, katanya untuk mengikuti arisan. Mana kuasa aku menolak permintaan Ibu. Ibu pasti akan menangis jika aku bilang tak ada uang.
"Coba ngutang dulu aja, Sal, di warungnya Bu Siti, nanti kalau gajian, Mas akan ganti," ucapku akhirnya.
Perempuanku itu akhirnya pergi ke warung Bu Siti, tentu saja untuk ngutang keperluan Sania. Aku tahu dihatinya pasti terluka, karena menyembunyikan airmatanya dibelakang Sania. Namun mau bagaimana lagi, aku pun juga sudah tak memiliki uang.
Sebenarnya gajiku di kantor juga lumayan. Dengan gaji 8 juta per bulan sangatlah cukup jika hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilku. Namun Ibu di kampung serta adikku yang kini ditinggalkan suaminya, menjadi tanggunganku juga.
Belum lagi jika keponakanku minta mainan ini dan itu, tadinya ibu cukup ku jatah 2 juta per bulan, sedangkan adikku Fera ku jatah 1 juta perbulan. Namun lama kelamaan Ibu selalu meminta kiriman jika mendekati pertengahan bulan. Malaikatku itu banyak mengikuti arisan katanya, sehingga mau tidak mau aku juga harus mengirimnya.
"Kemaren Ibu dan Fera habis beli baju, Rama, malu kalau kita pergi arisan bajunya itu-itu terus. Fera juga anaknya tak beliin satu stel, kasianlah masa nggak dibeliin," ucap Ibu ketika aku menelponnya kemarin.
Sedangkan dasternya Salma yang sudah koyak dan bolong sana sini, entah berapa jahitan yang digunakan untuk menambal dasternya, tapi Salma tidak pernah mengeluh. Kata ibu aku juga harus tegas, agar istriku tidaklah manja.
"Punya istri itu jangan terlalu dimanjakan, nanti tuman, kalau sampai ngelunjak dan susah diatur, kamu sendiri yang susah nantinya," ucap Ibu waktu itu.
Ya, Malaikatku itu akan marah jika uang gajiku dipegang oleh istriku. Istri itu harus bisa mandiri, bukan ingin menguasai gaji suami sendiri, katanya waktu itu.
Sebenarnya kalau mau dihitung, Istriku itu cuma memegang seberapa dari gajiku. Aku menjatahnya satu juta per bulan, dengan segala keperluan dapurnya. Tapi kata Ibu, aku harus tegas. Terbukti akulah hasil didikan Ibu, sayang sama keluarga dan kerja di tempat yang nyaman. Semua ini adalah berkat kerja keras dan susah payah Ibu.
Jelaslah aku tak bisa menolak apapun permintaan Ibu, beliau yang sudah membesarkanku. Apapun akan kulakukan asal Ibu bahagia, ya, walaupun keluarga kecilku harus sedikit kesusahan. Tak apalah yang penting Ibu bahagia. Bukankah aku bisa kerja di tempat bagus seperti ini karena hasil dari didikan Ibu, dan aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ku tengok Salma yang sedang menidurkan Sania di sebelahnya, nampak sekali wajah lelahnya, tergambar jelas ada raut sedihnya juga wajah sayu anakku, Sania, yang akhir-akhir ini sering ku abaikan.
Biarlah, untuk mengurangi kebosanan aku beranjak nongkrong bersama teman-teman untuk menghilangkan suntuk dirumah. Pergi ke warung kopi tempat Mbak Lela, yang biasa nongkrong bersama temanku disana.
"Kusut amat, tuh muka," ucap Arman ketika sampai di warung kopi Mbak Lela.
"Iya, biasa," ucapku cuek.
"Pulang kerja tuh, harusnya senang, ini malah kusut mukanya, bukannya gajian baru kemaren ya," ucap Arman.
"Iya, tapi ya, begitulah," ucapku akhirnya.
"Salma kan nggak kerja, ya, kayak bini gue dong, bini gue kerja bro, jadi ya aku gak capek-capek banget,"
Aku langsung menoleh, coba seandainya Salma juga kerja seperti Istrinya Arman. Mungkin aku tak sepusing ini. Jika seandainya Salma kerja, gajinya Salma yang buat memenuhi kebutuhan rumah sedangkan gajiku untuk memenuhi kebutuhan keluargaku yang dikampung.
Seketika ide brilian itu langsung muncul, aku harus berkomunikasi dulu, agar Salma mau mempertimbangkan. Dulu dia sempat kerja memang, sebelum menikah denganku kerjanya juga lumayan waktu itu posisinya. Tapi karena menikah denganku akhirnya dia memilih resign.
Aku juga yang menyuruh resign waktu itu, posisi kerjanya lebih bagus daripada posisiku. Gengsi dong dengan teman-teman yang lain, akhirnya dia mengikutiku untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.
Aku beranjak pulang setelah jam menunjukkan tengah malam, dengan mengendarai motor butut aku pun sampai di depan rumah juga.
Tok … tok … tok ….
"Sal, bukain pintunya," ucapku sambil teriak. Lama banget buka pintu gitu aja.
Akhirnya pintu pun terbuka, dengan wajah kantuk dengan menguap dia membukakan pintu.
"Maaf, Mas, aku kira Mas gak pulang," ucapnya dengan masih terus menguap.
"Lah, kalau nggak pulang, terus aku tidur dimana?" ujarku sambil merebahkan diri.
--------------------
"Sal, sarapanku mana?" ucapku pada Salma karena tak mendapatkan makanan apapun yang ada di meja.
Tapi rupanya Salma masih baik hati, dia menyuguhkan teh yang masih hangat terhidang di meja. Iyalah, suaminya kan mau kerja, masa nggak ada apa-apa. Pelan ku sruput teh yang masih mengepul mengeluarkan aroma khas. Kemudian ke teguk pelan untuk mengeluarkan penat di pagi ini.
"Huweeeekkk ….
Aku memuntahkan teh yang disediakan oleh Salma, hingga berhamburan airnya ke lantai.
"Kamu mau meracuniku, Sal, aku ini mau berangkat kerja, bukan dilayani malah dibikin emosi," ujarku kepada Salma.
"Maaf, Mas Rama, gulanya habis, makanya bikin teh doang," ujar Salma sambil berlalu ke kamar.
"Terus sekarang sarapanku mana?" ucapku mengikutinya ke kamar.
"Beras habis, Mas, beliin dulu berasnya, nanti aku masakin, atau …." ucap Salma menggantung.
"Atau apa," tanyaku.
"Atau Mas Rama minta makan sama Ibu saja, bukannya uangnya sudah dikirim semua di kampung?" ujar Salma membuatku membelalakkan mata.
"Jangan kurang ajar kamu, Sal, itu memang jatah Ibuku, ya," ucapku semakin emosi.
Sial memang, pagi-pagi mau berangkat kerja malah kena prank sama Si Salma. Segala menyebut nama Ibu lagi, emang dia pikir dia siapa.
"Yaudahlah, Mas, aku ngantuk mau tidur dulu. Semalem Sania rewel jadi aku kurang tidur," ucapnya sambil ikut rebahan di sebelah Sania.
Aku yang menyaksikan Salma ikut rebahan dengan Sania, seketika emosiku memuncak. Ku tarik Salma lantas mendorongnya.
"Aaaauuu … sakit, Mas," ucapnya.
"Kamu bener-bener keterlaluan, Sal, suamimu ini mau berangkat kerja, kamu malah enak-enakan tidur," ucapku dengan menunjuk mukanya.
"Kamu kalau minta dilayani, minta saja sama Ibumu, Mas, bukannya uangmu selalu habis buat keluargamu, lihat Sania, bahkan beli susu buat Sania saja harus ngutang ke warung, dimana pikiranmu, Mas, dimana?" ujar Salma emosi.
Kenapa Salma sekarang jadi seberani ini, selama ini dia tak masalah dengan sikapku dengan keluargaku. Ah, lebih baik aku segera berangkat kerja jika sudah seperti ini. Mungkin Salma butuh istirahat, hingga pikirannya oleng begini. Aku harus segera berangkat kerja, tak apalah kalau tak sarapan.
********
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 2Oleh: Enik WahyuniSungguh sial diriku hari ini, datang ke kantor kesiangan, ditambah lagi perut keroncongan karena tak sarapan. Akhirnya kerjaan banyak terbengkalai. Ah, ini semua gara-gara Salma."Bro, kusut amat, tumben," tanya Aldo, teman kantorku.Aku hanya mencebikkan mulutku, sungguh, rasa lapar mendera membuatku tidak fokus untuk bekerja hari ini. Hingga jam istirahat berlangsung, aku masih berkutat dengan kerjaan yang tak ada habisnya."Udah, istirahat dulu, yuk, kita makan dulu, nanti aku yang traktir," tawar Aldo.&nb
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 3Oleh: Enik wahyuniDan sungguh, aku tercengang melihat apa yang ada di depan mataku. Nampak boneka kaca punya Sania pecah berhamburan di lantai. Bagaimana Vino bisa mengambilnya? Sedangkan Salma selalu rapi menyimpan barang yang gampang pecah, apalagi ini, boneka kaca yang dulu Salma beli sewaktu kita jalan-jalan di kota."Fera, ini kok bisa Vino mainin boneka ini? Ini kan tempatnya di dalem lemari, kok bisa sampe pecah?" tanyaku kepada Fera."Iya tadi Vino minta diambilin boneka itu, yaudah aku ambilin aja, eh malah pecah," ucapnya tanpa merasa bersalah.
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 4Oleh : Enik WahyuniMentari sudah menunjukan sinarnya, tampak silau dari arah jendela. Mataku mengerjap beberapa kali untuk menetralkan keadaan, lagi-lagi aku kesiangan dan melewatkan sholat subuh. Kulihat Sania masih tertidur pulas, namun aku tak mendapati Salma di kamar ini. Ah, Salmaku itu pasti sedang berada di dapur.Saat kaki ini melangkah ke ruang tengah, nampak sekali masih sepi. Ku tengok kamar Ibu dan Fera, mereka masih mendengkur dengan halusnya. Entah tidur jam berapa mereka semalam, sehingga sekarang aku masih mendapati mereka tertidur pulas.Mataku memandang sekeliling, mencari Sal
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 5Oleh : Enik Wahyuni"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"Kulihat Salma hanya mencebikan mulutnya, melihat ekspresinya seperti itu jadi makin kesal saja rasanya. Bukannya minta maaf sama Ibu, malah mencelos. Hati nurani kamu dimana Salma, sama orang tua kok gak ada sopan-sopannya."Ada apa sih, Bu," tanya Fera yang ternyata baru bangun. Astaga, jam segini adikku baru bangun, semakin pusing saja rasanya melihat keadaan ini."Mama, Vino laper, Mah," ucap Vino sambil bergelayut di tangan Fera.
Bab : 6Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.Dengan berjalan gontai aku menuju kantin dekat kantor. Makan pun rasanya jadi pahit. Kok pahit sih? Ah, kenapa aku jadi selebai ini? Harusnya aku senang melihat Ibu dan juga Fera bersenang-senang di luaran sana.Ah, aneh lama-lama aku ini, mikir apa sih. "Emang kamu kerja kan buat membahagiakan Ibumu kan, Rama, terus apa yang kamu bingungkan, uang kan masih bisa dicari, semangat lah!" Aku membatin menyemangati diriku sendiri.Tiba-tiba aku teringat Salma, harusnya Salma bantuin aku
Bab : 7POV SALMA"Auuu … sakit, Bu," ucap Fera yang baru pulang. Tiba-tiba jatuh terpeleset saat masuk ke dalam rumah.Setelah melihat statusnya di media sosial yang habis makan mewah di restoran, kini pulang membawa banyak barang belanjaan. Aku yang bingung mengatur uang belanja yang tak seberapa, mereka malah bersenang-senang di luar dengan memakai uang Mas Rama."Yaudah, bangun! Duh, kamu kok bisa jatuh gini sih," ujar Ibu sambil berusaha membangunkan Fera yang terjatuh. Kemudian merapikan barang-barangnya.Aku menahan tawa ketika melihat Fera jatuh karena terpeleset. Lagian, biasa slanang-slonong sih, jadi gak lihat kalau lantai masi
Bab : 8POV SALMA"Fera, bangun Nak, ayo, Ibu obatin dulu, sini Nak," Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat."Hmmm … Ibu, sakit Bu, awas kamu Mbak, ini semua gara-gara kamu, aku aduin nanti sama Mas Rama! Sambil menangis Salma berucap."Biarin aja, Sal, habis ini telpon Mas mu aja, Mas mu harus tau kelakuan istrinya itu." Ibu berujar sembari membersihkan luka di kening Fera.Sudah pastilah aku yang disalahkan, padahal tadi adalah kecelakaan yang dibuat oleh sang Ibu tercin
Bab : 9POV SALMA"Ngelayap terus! jam segini baru pulang. Lihat tuh, Bu, mantu itu memang udah gak menghargai Mas Rama lagi. Suami lagi kerja, eh, ini istrinya pergi pergian terus," repet Fera yang sudah mulai menjadi kompor.Padahal jidatnya lagi diperban. Emang gak kapok apa? Baru sampai rumah udah disambut, perhatian sekali mereka denganku. Jadi terharu rasanya, terharu pengen nimpuk mulutnya Fera."Salma ini memang sudah tak cocok lagi jadi istrinya Mas mu, Fer. Lihatlah, Mas mu itu kerja dari pagi sampai sore malah istrinya kayak gini. Sukanya pergi-pergi terus ngabisin uangnya Mas mu doang. Sepertinya nanti Ibu harus ngomong sama Mas mu kalau uang bulanan Ibu saja yang pegang. Dipegang sama Salma
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin