Share

Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku
Author: Enik Wahyuni

BAB 1. Mulai berani

                  SAMPAI KAPANPUN, AKU TETAP MILIK IBUKU.

Bab : 1

Oleh: Enik Wahyuni

"Mas tolonglah, aku sudah tak punya uang lagi, susunya Sania habis," ucap istriku sore ini.

"Lalu kemana saja larinya uangku, Sal, makanya jangan boros-boros jadi istri," ucapku kesal.

"Uang yang kamu kasihkan kemaren buat beli gas, Mas, kemaren gasnya habis, ditambah juga minyak habis," ucapnya dengan derai air mata.

Sebenarnya aku juga bingung jika Salma sudah mengeluhkan uang. Mau bagaimana lagi, kemaren Ibu di kampung meminta kiriman lagi, katanya untuk mengikuti arisan. Mana kuasa aku menolak permintaan Ibu. Ibu pasti akan menangis jika aku bilang tak ada uang.

"Coba ngutang dulu aja, Sal, di warungnya Bu Siti, nanti kalau gajian, Mas akan ganti," ucapku akhirnya. 

Perempuanku itu akhirnya pergi ke warung Bu Siti, tentu saja untuk ngutang keperluan Sania. Aku tahu dihatinya pasti terluka, karena menyembunyikan airmatanya dibelakang Sania. Namun mau bagaimana lagi, aku pun juga sudah tak memiliki uang.

Sebenarnya gajiku di kantor juga lumayan. Dengan gaji 8 juta per bulan sangatlah cukup jika hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilku. Namun Ibu di kampung serta adikku yang kini ditinggalkan suaminya, menjadi tanggunganku juga.

Belum lagi jika keponakanku minta mainan ini dan itu, tadinya ibu cukup ku jatah 2 juta per bulan, sedangkan adikku Fera ku jatah 1 juta perbulan. Namun lama kelamaan Ibu selalu meminta kiriman jika mendekati pertengahan bulan. Malaikatku itu banyak mengikuti arisan katanya, sehingga mau tidak mau aku juga harus mengirimnya.

"Kemaren Ibu dan Fera habis beli baju, Rama, malu kalau kita pergi arisan bajunya itu-itu terus. Fera juga anaknya tak beliin satu stel, kasianlah masa nggak dibeliin," ucap Ibu ketika aku menelponnya kemarin.

Sedangkan dasternya Salma yang sudah koyak dan bolong sana sini, entah berapa jahitan yang digunakan untuk menambal dasternya, tapi Salma tidak pernah mengeluh. Kata ibu aku juga harus tegas, agar istriku tidaklah manja.

"Punya istri itu jangan terlalu dimanjakan, nanti tuman, kalau sampai ngelunjak dan susah diatur, kamu sendiri yang susah nantinya," ucap Ibu waktu itu.

Ya, Malaikatku itu akan marah jika uang gajiku dipegang oleh istriku. Istri itu harus bisa mandiri, bukan ingin menguasai gaji suami sendiri, katanya waktu itu.

Sebenarnya kalau mau dihitung, Istriku itu cuma memegang seberapa dari gajiku. Aku menjatahnya satu juta per bulan, dengan segala keperluan dapurnya. Tapi kata Ibu, aku harus tegas. Terbukti akulah hasil didikan Ibu, sayang sama keluarga dan kerja di tempat yang nyaman. Semua ini adalah berkat kerja keras dan susah payah Ibu.

Jelaslah aku tak bisa menolak apapun permintaan Ibu, beliau yang sudah membesarkanku. Apapun akan kulakukan asal Ibu bahagia, ya, walaupun keluarga kecilku harus sedikit kesusahan. Tak apalah yang penting Ibu bahagia. Bukankah aku bisa kerja di tempat bagus seperti ini karena hasil dari didikan Ibu, dan aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.  

Ku tengok Salma yang sedang menidurkan Sania di sebelahnya, nampak sekali wajah lelahnya, tergambar jelas ada raut sedihnya juga wajah sayu anakku, Sania, yang akhir-akhir ini sering ku abaikan. 

Biarlah, untuk mengurangi kebosanan aku beranjak nongkrong bersama teman-teman untuk menghilangkan suntuk dirumah. Pergi ke warung kopi tempat Mbak Lela, yang biasa nongkrong bersama temanku disana.

"Kusut amat, tuh muka," ucap Arman ketika sampai di warung kopi Mbak Lela.

"Iya, biasa," ucapku cuek.

"Pulang kerja tuh, harusnya senang, ini malah kusut mukanya, bukannya gajian baru kemaren ya," ucap Arman.

"Iya, tapi ya, begitulah," ucapku akhirnya.

"Salma kan nggak kerja, ya, kayak bini gue dong, bini gue kerja bro, jadi ya aku gak capek-capek banget,"

Aku langsung menoleh, coba seandainya Salma juga kerja seperti Istrinya Arman. Mungkin aku tak sepusing ini. Jika seandainya Salma kerja, gajinya Salma yang buat memenuhi kebutuhan rumah sedangkan gajiku untuk memenuhi kebutuhan keluargaku yang dikampung.

Seketika ide brilian itu langsung muncul, aku harus berkomunikasi dulu, agar Salma mau mempertimbangkan. Dulu dia sempat kerja memang, sebelum menikah denganku kerjanya juga lumayan waktu itu posisinya. Tapi karena menikah denganku akhirnya dia memilih resign. 

Aku juga yang menyuruh resign waktu itu, posisi kerjanya lebih bagus daripada posisiku. Gengsi dong dengan teman-teman yang lain, akhirnya dia mengikutiku untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.

Aku beranjak pulang setelah jam menunjukkan tengah malam, dengan mengendarai motor butut aku pun sampai di depan rumah juga.

Tok … tok … tok ….

"Sal, bukain pintunya," ucapku sambil teriak. Lama banget buka pintu gitu aja.

Akhirnya pintu pun terbuka, dengan wajah kantuk dengan menguap dia membukakan pintu.

"Maaf, Mas, aku kira Mas gak pulang," ucapnya dengan masih terus menguap. 

"Lah, kalau nggak pulang, terus aku tidur dimana?" ujarku sambil merebahkan diri.

--------------------

"Sal, sarapanku mana?" ucapku pada Salma karena tak mendapatkan makanan apapun yang ada di meja.

Tapi rupanya Salma masih baik hati, dia menyuguhkan teh yang masih hangat terhidang di meja. Iyalah, suaminya kan mau kerja, masa nggak ada apa-apa. Pelan ku sruput teh yang masih mengepul mengeluarkan aroma khas. Kemudian ke teguk pelan untuk mengeluarkan penat di pagi ini.

"Huweeeekkk ….

Aku memuntahkan teh yang disediakan oleh Salma, hingga berhamburan airnya ke lantai.

"Kamu mau meracuniku, Sal, aku ini mau berangkat kerja, bukan dilayani malah dibikin emosi," ujarku kepada Salma. 

"Maaf, Mas Rama, gulanya habis, makanya bikin teh doang," ujar Salma sambil berlalu ke kamar.

"Terus sekarang sarapanku mana?" ucapku mengikutinya ke kamar.

"Beras habis, Mas, beliin dulu berasnya, nanti aku masakin, atau …."  ucap Salma menggantung.

"Atau apa," tanyaku.

"Atau Mas Rama minta makan sama Ibu saja, bukannya uangnya sudah dikirim semua di kampung?" ujar Salma membuatku membelalakkan mata.

"Jangan kurang ajar kamu, Sal, itu memang jatah Ibuku, ya," ucapku semakin emosi.

Sial memang, pagi-pagi mau berangkat kerja malah kena prank sama Si Salma. Segala menyebut nama Ibu lagi, emang dia pikir dia siapa. 

"Yaudahlah, Mas, aku ngantuk mau tidur dulu. Semalem Sania rewel jadi aku kurang tidur," ucapnya sambil ikut rebahan di sebelah Sania.

Aku yang menyaksikan Salma ikut rebahan dengan Sania, seketika emosiku memuncak. Ku tarik Salma lantas mendorongnya.

"Aaaauuu … sakit, Mas," ucapnya.

"Kamu bener-bener keterlaluan, Sal, suamimu ini mau berangkat kerja, kamu malah enak-enakan tidur," ucapku dengan menunjuk mukanya.

"Kamu kalau minta dilayani, minta saja sama Ibumu, Mas, bukannya uangmu selalu habis buat keluargamu, lihat Sania, bahkan beli susu buat Sania saja harus ngutang ke warung, dimana pikiranmu, Mas, dimana?" ujar Salma emosi.

Kenapa Salma sekarang jadi seberani ini, selama ini dia tak masalah dengan sikapku dengan keluargaku. Ah, lebih baik aku segera berangkat kerja jika sudah seperti ini. Mungkin Salma butuh istirahat, hingga pikirannya oleng begini. Aku harus segera berangkat kerja, tak apalah kalau tak sarapan.

********

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Anik Murniatun
lagi2 suami anak emak , laki kalau bodoh ya gini anak istri terlantar demi nuruti omongan emak , semoga ntar adiknya yg cewek juga bernasib sama kaya si Salma biar kapok tuk emak syaiton
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ini nh tope co menyebalkan. Apa2 emaknya nikah aj sana sama emaknya. Adiknya jg bkn anak sklh bs urus ndiri bs cr kerj. Sendirinya justru yg manjain emak sama adiknya ndiri. Anak istri malah ditelantarin. W keplak tuh co
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status