Bab : 8
POV SALMA
"Fera, bangun Nak, ayo, Ibu obatin dulu, sini Nak," Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.
Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat.
"Hmmm … Ibu, sakit Bu, awas kamu Mbak, ini semua gara-gara kamu, aku aduin nanti sama Mas Rama! Sambil menangis Salma berucap.
"Biarin aja, Sal, habis ini telpon Mas mu aja, Mas mu harus tau kelakuan istrinya itu." Ibu berujar sembari membersihkan luka di kening Fera.
Sudah pastilah aku yang disalahkan, padahal tadi adalah kecelakaan yang dibuat oleh sang Ibu tercinta. Namun aku lega, darahnya sudah berhenti sehingga tak banyak merepotkanku nantinya.
"Rama, tolong Fera, Rama, hmmmm …," sang mertua mulai mengadu sama anak tercintanya sembari menangis tersedu.
"Ini semua gara-gara Mbak Salma, Mas, Mbak Salma yang bikin aku seperti ini. Tolongin aku, Mas, Mbak Salma harus dibalas, hmmmm …." Fera pun tak kalah pintar memainkan dramanya.
"Terserahlah kalian mau berbuat apa, lanjutkan dan mainkanlah dramamu sesedih mungkin!" gumamku yang masih bisa didengar oleh mereka.
Aku pusing melihat mereka selebay itu. Lebih baik segera menyelesaikan pekerjaanku. Agar tak lagi bertambah pusing nantinya.
***
Tepat pukul 15.00 WIB aku sudah bersiap dan Sania juga sudah rapi. Ku keluarkan motor matic kesayangan untuk meluncur ke rumah Rani. Ibu dan Fera masih mengurung diri dikamarnya. Sepertinya mereka masih tidur. Biarlah, aku tak peduli dengan apa yang mereka lakukan.
"Ma, kita mau ke rumah tante Lani, ya?" tanya anak tercintaku.
"Iya, Sayang. Nanti Sania disana gak boleh nakal ya," ucapku sambil menoel hidungnya.
Sepertinya Sania senang sekali diajak jalan, semenjak Mas Rama sibuk dengan urusannya sendiri kita jarang sekali jalan-jalan bareng. Terserahlah, Mas, aku sudah tak peduli lagi dengan urusanmu. Saat ini prioritasku hanya Sania.
"Hai, cantik, duh … lama gak kesini tante jadi kangen nih," Rani langsung menggendong Sania ketika kita baru sampai di rumahnya.
"Sepertinya sibuk sekali sampai melupakan diriku, ayo masuk," ujar Rani setelah aku memarkir motor, kemudian mengajakku masuk ke dalam rumah.
Rani memperhatikan penampilanku secara detail. Mungkin dia heran dengan perubahanku. Entahlah, semenjak menikah dengan Mas Rama memang aku sudah tak begitu memperhatikan penampilan. Boro-boro memikirkan itu, ah, bodohnya aku selama ini.
Sungguh, miris.
"Sania mau es krim gak?" tawar Rani.
"Mau banget, tante."
"Mbok, tolong bawa Sania ke dapur, suruh dia memilih disana apa yang dia suka, aku mau ngobrol dengan Salma dulu ya," titah Salma kepada asistennya. Sepertinya dia memahami apa maksud kedatanganku.
"Iya, Bu, ayo sayang!" ajak asisten Rani sembari menuntun Sania ke belakang.
"Sepertinya ada sesuatu yang aku tak tahu," ujar Rani menyelidik.
Aku hanya menghembuskan nafasku pelan, sungguh sesak rasanya.
"Aku ingin kerja lagi, Ran, bagaimana kalau aku kerja denganmu saja," ujarku akhirnya.
Mata Rani membulat, mungkin heran dengan permintaanku yang secara tiba-tiba.
"Tunggu, ntar dulu, mantan manajer marketing, seorang ibu rumah tangga bahagia nan harmonis, datang meminta pekerjaan denganku. Bisa diceritakan apa yang terjadi denganmu?"
Begitulah Rani, dia memang begitu peka. Dulu dia adalah teman kantor yang paling care denganku. Memang aku biasa curhat dengannya, hingga akhirnya menikah dan kita punya kesibukan masing-masing sehingga jarang sekali berkomunikasi.
Aku menceritakan masalah rumah tanggaku dengan Rani. Begitu juga masalah dengan Ibu mertua dan juga Ipar. Rani hanya melongo heran ketika mendengar ceritaku. Wajar saja, karena dulu semua orang bilang bahwa kita adalah pasangan harmonis, mana menyangka kalau akhirnya rumah tanggaku pun sedang dalam masalah.
"Aku heran sama kamu, Sal, kok bisa bertahan sampe sejauh ini, jika Rama memperlakukan kamu seperti itu? " ujar Rani sambil geleng-geleng kepala.
"Aku masih memikirkan Sania, Ran, walaupun begitu mas Rama sangat menyayangi Sania. Entahlah, tapi sepertinya sekarang aku juga sudah lelah dengan pernikahan yang sudah tak sehat ini," ucapku lirih.
Sungguh, hanya itu yang kupikirkan. Semenjak kedatangan mertua dirumah, serta ipar yang juga terus mengganggu hidupku, pelan-pelan rasa ini sudah terkikis. Tergerus oleh sikap mereka dan juga mas Rama sendiri.
"Lalu kamu mau mengorbankan dirimu sendiri, sampai kapan? Kamu masih muda, Sal, dulu karirmu cemerlang. Aku yakin kamu pasti bisa tanpa Rama. Aku hanya tak mau kamu mati pelan-pelan ditangan mereka,"
Aku menyenggol Rani, dia hanya terkekeh geli. Ya kali mati pelan-pelan, aku juga masih bisa membela diriku sendiri.
"Aku punya cara sendiri untuk menghadapi mereka, Ran. Kamu tenang saja, setelah misiku tercapai aku akan mengusir semuanya dari rumahku. Termasuk berpisah dengan mas Rama."
Rani menepuk pundakku pelan, "Kamu pasti bisa, Sal, aku yakin selain pintar kamu juga kuat."
Aku tersenyum ke arahnya, setelah menceritakan semuanya dengan Rani rasanya hatiku begitu lega. Seakan semua hilang tanpa beban. Dari dulu memang dia adalah sahabat terbaikku.
"Besok datanglah kesini, Sal. Aku ingin kamu membantu bisnisku mulai besok, kebetulan stok barang digudang sedang banyak-banyaknya, sedangkan pengeluaran barang saat ini sedang menurun. Aku percaya, marketing handal sepertimu pasti bisa mengatasinya," ucap Rani yakin.
"Makasih ya, Ran, mau memberi kesempatan untukku," ucapku penuh haru.
"Aku juga makasih, Sal, dengan adanya kamu pasti usahaku semakin maju," ucap Rani sembari menggenggam tanganku.
"Aku akan berusaha semampuku, Ran."
Rani mempunyai usaha di bidang fashion. Beraneka macam baju hingga sepatu adalah produknya. Semoga nanti aku bisa bekerja dengan baik.
"Sania nanti harus ikut denganmu, jangan sampai ditinggal dirumah. Aku gak mau jika sampai disakiti sama iparmu. Lagian aku jadi ada hiburannya jika ada Sania,"
"Yeee … emang apaan buat hiburan."
Aku dan Rani lantas tertawa bareng karena ucapanku.
Rani dan suaminya memang tergolong sukses, dilihat dari usahanya yang semakin maju. Namun sampai sekarang mereka masih belum dikaruniai keturunan. Sudah berbagai macam cara dilakukan, bahkan sudah beberapa rumah sakit dia sambangi.
Kondisi rahimnya baik-baik saja, juga suaminya pun tak ada masalah. Namun untuk urusan anak memang mutlak kuasa Allah. Bersyukur sekali rasanya diriku yang sudah memiliki Sania, walaupun rumah tanggaku sedang tak baik-baik saja.
Rani dan pasangannya hidup harmonis, hanya saja belum dikaruniai keturunan. Masalah rumah tangga memang berbeda-beda. Contohnya ya, aku dan Rani ini.
Tak terasa hari sudah semakin sore, akhirnya aku pun pamit pulang. Begitulah jika sudah ngobrol dengan Rani, saking asyiknya hingga lupa waktu.
"Sayang, salim dulu sama tante Rani,"
"Sini cium dulu ah, keponakan tante. Gemes ihh," Rani mencium pipi Sania dengan gemasnya. Semoga cepat diberi momongan ya Allah.
"Pamit dulu ya, Ran." ucapku sembari memeluknya.
Aku melajukan motor kesayanganku dengan hati yang begitu damai. Sejenak lupa dengan masalah yang melanda di rumah. Rasanya beban seakan terangkat. Tunggu kejutan-kejutan dariku, Ibu dan saudariku sayang.
Bab : 9POV SALMA"Ngelayap terus! jam segini baru pulang. Lihat tuh, Bu, mantu itu memang udah gak menghargai Mas Rama lagi. Suami lagi kerja, eh, ini istrinya pergi pergian terus," repet Fera yang sudah mulai menjadi kompor.Padahal jidatnya lagi diperban. Emang gak kapok apa? Baru sampai rumah udah disambut, perhatian sekali mereka denganku. Jadi terharu rasanya, terharu pengen nimpuk mulutnya Fera."Salma ini memang sudah tak cocok lagi jadi istrinya Mas mu, Fer. Lihatlah, Mas mu itu kerja dari pagi sampai sore malah istrinya kayak gini. Sukanya pergi-pergi terus ngabisin uangnya Mas mu doang. Sepertinya nanti Ibu harus ngomong sama Mas mu kalau uang bulanan Ibu saja yang pegang. Dipegang sama Salma
Bab : 10POV SALMA"Pasti sengaja, iya kan? Udahlah, sekarang aku minta uang buat makan. Salah sendiri tadi gak masak," ujar Fera sembari menadahkan tangannya kepadaku. Sungguh, aku heran, ada ya manusia model begini."Fer, sepertinya kamu harus keluar dulu deh. Aku mau istirahat dulu sama Sania. Lihat tuh, Sania udah ngantuk." ucapku sambil menggiring Fera keluar dari kamarku.Meladeni Fera, lama-lama aku ikutan stres seperti dia. Setelah mengunci kamar, aku langsung merebahkan diri untuk istirahat. Lelah sekali rasanya hari ini. Lebih tepatnya, lelah emosi juga jiwaku.Samar-samar kudengar suara Ibu dan Fera berdebat.
Bab : 11POV RAMA"Fera, jangan mengada-ada kamu. Siapa yang mendorongmu. Kalau gak bisa berkata jujur, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku sudah muak dengan tingkahmu!"Aku terkejut melihat ucapan Salma. Lancang sekali bicara seperti itu sama Fera, tidakkah dia tahu kalau Fera adalah adikku. Lama-lama memang Salma makin tidak waras."Salma, lancang sekali kamu berucap seperti itu. Ini rumah anakku, Rama. Seharusnya kamu yang pergi dari sini, bukan Fera. Dasar menantu ga ada akhlak!" Ibu tak kalah lantang suaranya."Ibu lupa, yang beli rumah ini siapa? Dan atas nama siapa? Tanya saja sama anak kesayangan Ibu itu, pake uang siapa ketika me
Bab : 12POV RAMAKamu sekarang benar-benar berubah, Sal. Aku nyaris tak mengenalmu lagi. Padahal dulu kamu juga menyayangi Ibu. Entahlah, apa yang merasuki pikiranmu saat ini."Oh ya, Mas. Aku akan kerja mulai besok," ucapnya yang membuatku menoleh seketika."Kerja dimana? Lalu, Sania?""Aku kerja dengan Rani. Tenang saja, Sania ikut bersamaku,""Kenapa gak ditinggal saja sama Ibu dirumah?""Kamu yakin anakku bakal diurus sama mereka? Bahkan Mas lihat sendiri, Vino saja sering mengeluh lapar, cukup aku yang menderita dis
Bab : 13Ketika kubuka dan astaga … meja tampak kosong, tak ada makanan sama sekali. Segelas kopi pun juga tak ada. Seketika diriku lemas. Salma, apa kau tak memikirkanku sebelum berangkat kerja? Lalu siapa yang mau mengurusku sekarang.Aku melangkah ke kamar Ibu dan Fera. Ternyata mereka tampak masih mendengkur, begitu juga Vino yang diapit oleh keduanya. Kulihat sekeliling, nampak sampah berserakan dimana-mana. Baju-baju kotor yang berada di pojokan nampak begitu menggunung.Salma, kenapa kamu tak memikirkan mereka? Minimal membantu mencucikan baju mereka atau membereskan tempat tidur mereka. Bukankah kamu selalu ingin terlihat rapi?Melihat pemandangan mereka seperti ini, sem
Bab : 14POV AUTHORRama akhirnya berangkat dengan perasaan yang berkecamuk. Hatinya gundah memikirkan masalah rumah yang tak ada habisnya. Apalagi pagi ini dia tak sarapan sama sekali. Kejadian tadi pagi dan perutnya yang keroncongan membuat pikirannya kalut luar biasa.Sementara di sisi lain, Bu Retno dan Fera masih berdebat masalah rumah. Mereka meributkan masalah dapur yang berantakan karena ulah Rama, sehingga tak menyadari bahwa Rama sudah pergi tanpa pamit dengan mereka.Fera merasa dia adalah adik kandung Rama satu-satunya, sedangkan Salma statusnya hanya istri. Ia ingin berkuasa dan menjadi ratu di rumah itu. Yang tak lain sebenarnya adalah rumah Salma. Pikiran jelek pun terlintas di dalam benaknya.
Bab : 15POV AUTHOR"Kalian lagi ngapain?" ucap seseorang yang sedang menghampiri mereka, membuat mereka berhenti dan menoleh seketika.Mereka dikagetkan oleh seseorang, yang tidak lain adalah Bu Siti, tetangga di sebelah rumahnya. Walaupun Bu Retno jarang sekali keluar rumah, Bu Retno mengenal Bu Siti, karena beberapa kali sering berpapasan di depan rumah.Sedangkan Bu Siti yang sedang ada keperluan, sepertinya mengenali wajah mereka. Dan ternyata benar, yang berada ditempat yang sama dengan Bu Siti adalah Bu Retno, mertua Salma. Bu Siti mengenal Salma dengan sangat baik, sehingga dia segera menyapa mertua Salma yang kini tengah berbelanja.
Bab : 16Oleh : Enik WahyuniPOV AUTHORFera dan Bu Retno serasa mendapat angin segar dengan pertanyaan Bu Sandra. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Bu Retno pun melancarkan aksinya."Iya, Bu Sandra. Entah kenapa feelingku juga mengatakan seperti itu," ujar Bu Retno semangat."Bagaimana kalau kita pertemukan dulu saja, siapa tau mereka berjodoh. Aku juga pengen lihat Rama sekarang, lama sekali gak pernah berkomunikasi," ujar Bu Sandra.Silvia yang mendengarkan ucapan Ibunya seketika langsung mendongak. Tak dapat dipungkiri, hatinya langsung menghangat h
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin