BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
SAMPAI KAPANPUN, AKU TETAP MILIK IBUKU.Bab : 1Oleh: Enik Wahyuni"Mas tolonglah, aku sudah tak punya uang lagi, susunya Sania habis," ucap istriku sore ini."Lalu kemana saja larinya uangku, Sal, makanya jangan boros-boros jadi istri," ucapku kesal."Uang yang kamu kasihkan kemaren buat beli gas, Mas, kemaren gasnya habis, ditambah juga minyak habis," ucapnya dengan derai air mata.Sebenarnya aku juga bingung jika Salma sudah mengeluhkan uang. Mau bagaimana lagi, kemaren Ibu di kampung meminta kiriman la
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 2Oleh: Enik WahyuniSungguh sial diriku hari ini, datang ke kantor kesiangan, ditambah lagi perut keroncongan karena tak sarapan. Akhirnya kerjaan banyak terbengkalai. Ah, ini semua gara-gara Salma."Bro, kusut amat, tumben," tanya Aldo, teman kantorku.Aku hanya mencebikkan mulutku, sungguh, rasa lapar mendera membuatku tidak fokus untuk bekerja hari ini. Hingga jam istirahat berlangsung, aku masih berkutat dengan kerjaan yang tak ada habisnya."Udah, istirahat dulu, yuk, kita makan dulu, nanti aku yang traktir," tawar Aldo.&nb
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 3Oleh: Enik wahyuniDan sungguh, aku tercengang melihat apa yang ada di depan mataku. Nampak boneka kaca punya Sania pecah berhamburan di lantai. Bagaimana Vino bisa mengambilnya? Sedangkan Salma selalu rapi menyimpan barang yang gampang pecah, apalagi ini, boneka kaca yang dulu Salma beli sewaktu kita jalan-jalan di kota."Fera, ini kok bisa Vino mainin boneka ini? Ini kan tempatnya di dalem lemari, kok bisa sampe pecah?" tanyaku kepada Fera."Iya tadi Vino minta diambilin boneka itu, yaudah aku ambilin aja, eh malah pecah," ucapnya tanpa merasa bersalah.
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 4Oleh : Enik WahyuniMentari sudah menunjukan sinarnya, tampak silau dari arah jendela. Mataku mengerjap beberapa kali untuk menetralkan keadaan, lagi-lagi aku kesiangan dan melewatkan sholat subuh. Kulihat Sania masih tertidur pulas, namun aku tak mendapati Salma di kamar ini. Ah, Salmaku itu pasti sedang berada di dapur.Saat kaki ini melangkah ke ruang tengah, nampak sekali masih sepi. Ku tengok kamar Ibu dan Fera, mereka masih mendengkur dengan halusnya. Entah tidur jam berapa mereka semalam, sehingga sekarang aku masih mendapati mereka tertidur pulas.Mataku memandang sekeliling, mencari Sal
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 5Oleh : Enik Wahyuni"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"Kulihat Salma hanya mencebikan mulutnya, melihat ekspresinya seperti itu jadi makin kesal saja rasanya. Bukannya minta maaf sama Ibu, malah mencelos. Hati nurani kamu dimana Salma, sama orang tua kok gak ada sopan-sopannya."Ada apa sih, Bu," tanya Fera yang ternyata baru bangun. Astaga, jam segini adikku baru bangun, semakin pusing saja rasanya melihat keadaan ini."Mama, Vino laper, Mah," ucap Vino sambil bergelayut di tangan Fera.
Bab : 6Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.Dengan berjalan gontai aku menuju kantin dekat kantor. Makan pun rasanya jadi pahit. Kok pahit sih? Ah, kenapa aku jadi selebai ini? Harusnya aku senang melihat Ibu dan juga Fera bersenang-senang di luaran sana.Ah, aneh lama-lama aku ini, mikir apa sih. "Emang kamu kerja kan buat membahagiakan Ibumu kan, Rama, terus apa yang kamu bingungkan, uang kan masih bisa dicari, semangat lah!" Aku membatin menyemangati diriku sendiri.Tiba-tiba aku teringat Salma, harusnya Salma bantuin aku
Bab : 7POV SALMA"Auuu … sakit, Bu," ucap Fera yang baru pulang. Tiba-tiba jatuh terpeleset saat masuk ke dalam rumah.Setelah melihat statusnya di media sosial yang habis makan mewah di restoran, kini pulang membawa banyak barang belanjaan. Aku yang bingung mengatur uang belanja yang tak seberapa, mereka malah bersenang-senang di luar dengan memakai uang Mas Rama."Yaudah, bangun! Duh, kamu kok bisa jatuh gini sih," ujar Ibu sambil berusaha membangunkan Fera yang terjatuh. Kemudian merapikan barang-barangnya.Aku menahan tawa ketika melihat Fera jatuh karena terpeleset. Lagian, biasa slanang-slonong sih, jadi gak lihat kalau lantai masi