Bab : 7
POV SALMA
"Auuu … sakit, Bu," ucap Fera yang baru pulang. Tiba-tiba jatuh terpeleset saat masuk ke dalam rumah.
Setelah melihat statusnya di media sosial yang habis makan mewah di restoran, kini pulang membawa banyak barang belanjaan. Aku yang bingung mengatur uang belanja yang tak seberapa, mereka malah bersenang-senang di luar dengan memakai uang Mas Rama.
"Yaudah, bangun! Duh, kamu kok bisa jatuh gini sih," ujar Ibu sambil berusaha membangunkan Fera yang terjatuh. Kemudian merapikan barang-barangnya.
Aku menahan tawa ketika melihat Fera jatuh karena terpeleset. Lagian, biasa slanang-slonong sih, jadi gak lihat kalau lantai masih basah habis dipel.
"Kamu sengaja ya, Mbak, lantainya dikasih pelicin begini, biar aku jatuh, iya kan?" Tuding Fera kepadaku.
"Makanya, kalau masuk itu mengucapkan salam dulu, tahu kan aku lagi megang pel, ya jangan salahkan aku dong," ucapku santai, tapi sepertinya Fera semakin gemas denganku.
"Salma, kamu itu Mbok ya, minta maaf gitu lo, bukan membela diri terus, udah salah kok gak mau disalahkan, ntar aku aduin sama Rama, baru tau rasa kamu!" Ibu merepet sambil menuntun Fera duduk dikursi.
"Ya ampun, Vino, itu kenapa makan es krim sampai kececeran begitu. Salma, ini tolong di bersihin dong! Lantainya kotor nih, Vino makan es krim belepotan!" ucap Ibu sambil merapikan baju baru yang habis dibelinya. Padahal Vino ada didekat mereka, kenapa aku yang disuruh.
"Nih, bersihin sendiri! Aku gak mau rumahku berantakan, tolong beresin, kalau masih dibiarin, aku buang baju-baju itu keluar!" ucapku sambil melemparkan kain pel yang sedari tadi kupegang di depan mereka.
Vino makan es krim padahal ada Sania di belakangku, tak sedikitpun mereka menawarkan pada Sania. Benar-benar membuatku emosi.
Kulihat Ibu melongo, melihat aksiku tadi jelas dia kaget. Memang selama ini aku selalu menurut apa yang diperintahkan. Aku masih menghargai Mas Rama yang begitu menyayanginya. Namun sepertinya makin kesini, sikapnya makin semena-mena.
"Mbak, kamu disini posisinya cuma mantu. Kok kurang ajar begitu ya, sama Ibu kamu berani melempar pel di depannya. Emang kamu gak takut, jika Mas Rama tahu?" ujar Fera sambil berkacang pinggang. Mulai ngelunjak juga dia.
Aku hanya tersenyum sinis mendengarkan ocehan Fera, lalu menuntun Sania masuk ke dalam kamar. Hatiku benar-benar bergemuruh rasanya. Di dalam kamar aku masih mendengar repetan Ibu yang membuat kuping ini panas.
"Jadi mantu kok, gak ada sopan-sopannya sama mertua. Kamu lihat kan, Fer, Mas mu itu begitu menyayangi Ibu. Apapun permintaan Ibu pasti dituruti, kalau Ibu mau minta ganti mantu juga pasti dituruti. Emangnya Salma gak takut itu, kalau Ibu sampai minta ganti mantu sama Mas mu?" repetan masih kudengar dari dalam kamar.
Seketika aku bergidik ngeri mendengar ucapan Ibu. Kalau dulu sempet bangga melihat Mas Rama memperlakukan Ibu yang begitu manisnya. Tapi sekarang? Silahkan saja, Bu, dengan senang hati ku kembalikan anakmu ke pangkuanmu.
"Tenang, Bu, nanti kita ngomong ke Mas Rama saja. Mas Rama kan ganteng, Bu, mapan lagi. Pasti masih banyak yang mau kok, masih banyak juga yang ngejar-ngejar Mas Rama."
"Mah, kok nenek sama tante Fela malah-malah telus sih," ucap cadel anakku yang juga mendengarkan suara sumbang mereka.
"Mungkin mereka lelah, Nak, biarin aja. Mendingan sekarang Sania maen dulu gi! Mama mau lanjut nyuci dulu." ucapku kepada anak semata wayangku dengan tersenyum, lantas Sania pergi main ke depan rumah. Sudah biasa memang.
Aku merebahkan diri sebentar, merenungi peristiwa empat tahun yang lalu. Setelah terucapnya ijab qobul, membuatku sangat begitu bahagia. Kupikir menikah dengan Mas Rama akan membuatku merasa istimewa, karena dia begitu menyayangi Ibunya. Namun ternyata Ibu mengendalikan semua, termasuk urusan nafkah dan juga rumah tanggaku.
Mas Rama tak pernah menolak permintaan Ibu bahkan saat tak ada uang dia akan berusaha meminjam kesana-kemari untuk dikirimkan jika Ibu mengeluhkan uang.
Dulu memang aku bekerja sebelum menikah dengan Mas Rama. Namun Mas Rama memintaku resign, agar bisa jadi Ibu rumah tangga seutuhnya. Padahal posisiku tadinya cukup bagus, manajer marketing adalah jabatanku waktu itu.
Manis bukan?
Dengan alasan pengabdian, aku memilih resign dari pekerjaanku. Lalu memutuskan untuk membeli rumah, dan ini adalah murni dari hasil tabunganku sendiri. Karena waktu itu Mas Rama tak punya tabungan sama sekali.
Miris.
Ku seka air mata yang membasahi pipi, cukup sudah penderitaanku selama ini. Aku harus bangkit, ada Sania yang harus aku prioritaskan. Ini rumahku dan aku ratu disini. Aku tak boleh lemah menghadapi mereka. Ku tekan dada ini kuat-kuat, rasanya sungguh sakit. Kuhembuskan nafasku pelan lalu melepaskannya. Berharap lepas juga sebongkah batu di dalam sini.
Aku melangkah keluar dari kamar, niatnya untuk mencuci baju. Setelah itu ingin pergi ketempat Rani, teman kerjaku dulu. Dia memilih resign karena membantu bisnis suaminya. Aku tak boleh berdiam diri terus seperti ini.
Sambil memasukkan baju kedalam mesin cuci, lamat-lamat ku dengar suara dari kamar sebelah.
"Bu, lihat, ini bagus gak?"
"Kamu cocok banget tahu Fer, pakai baju itu. Coba lihat Ibu juga suka pake ini, warnanya kalem. Bahannya adem juga."
Ck! Dua manusia yang menjadi orang kaya baru disini.
"Eh, Mbak! Lagi nyuci ya, ini dong digiling sekalian," ujar Fera yang tiba-tiba mendatangiku. Lantas menaruh baju-bajunya di depanku.
"Cuci sendiri, aku tak sudi jadi babumu!" ucapku sambil melempar baju-baju itu ke mukanya. Apalagi sih, maunya anak ini?
"Mbak, kamu sadar gak sih. Kamu itu istri Mas Rama, artinya menantu Ibu. Kalau Mbak Salma gak bisa melayani kami disini, untuk apa Mas Rama punya istri kalau gitu. Gak ngerti banget sih!" ucap Fera. Lancang sekali ucapannya.
Plakk!
"Jangan kurang ajar kamu disini, ini rumahku. Kalau kamu tidak suka atau ingin seenaknya sendiri. Lebih baik kamu pergi dari sini!" ucapku setelah memberi tanda merah bekas tanganku di pipinya. Ya, aku menamparnya. Kesal sekali rasanya, lama-lama semakin menjadi tak tahu diri.
"Ibu …." Lirih Fera sembari memegang pipinya.
"Kurang ajar, menantu sialan, berani-beraninya kamu tampar anakku!"
Sambil lari tergopoh Ibu mendekatiku. Sepertinya mau membalas tamparan Fera. Aku yang mulai menyadari keadaan segera mencari pelindung. Fera kujadikan tameng sehingga dia yang terkena pukulan tangan Ibu.
Saking kencangnya, Fera terhuyung hingga tanpa sadar keningnya terbentur tepat di sudut meja yang ada di sebelah mesin cuci. Lumayan lancip memang, hingga kening Fera mengeluarkan banyak darah.
"Fera!"
Seketika Ibu langsung panik melihat anak kesayangannya terluka, mengeluarkan darah.
"Fera, bangun, Nak, ayo, Ibu obati dulu, sini Nak." Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.
Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat.
Bab : 8POV SALMA"Fera, bangun Nak, ayo, Ibu obatin dulu, sini Nak," Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat."Hmmm … Ibu, sakit Bu, awas kamu Mbak, ini semua gara-gara kamu, aku aduin nanti sama Mas Rama! Sambil menangis Salma berucap."Biarin aja, Sal, habis ini telpon Mas mu aja, Mas mu harus tau kelakuan istrinya itu." Ibu berujar sembari membersihkan luka di kening Fera.Sudah pastilah aku yang disalahkan, padahal tadi adalah kecelakaan yang dibuat oleh sang Ibu tercin
Bab : 9POV SALMA"Ngelayap terus! jam segini baru pulang. Lihat tuh, Bu, mantu itu memang udah gak menghargai Mas Rama lagi. Suami lagi kerja, eh, ini istrinya pergi pergian terus," repet Fera yang sudah mulai menjadi kompor.Padahal jidatnya lagi diperban. Emang gak kapok apa? Baru sampai rumah udah disambut, perhatian sekali mereka denganku. Jadi terharu rasanya, terharu pengen nimpuk mulutnya Fera."Salma ini memang sudah tak cocok lagi jadi istrinya Mas mu, Fer. Lihatlah, Mas mu itu kerja dari pagi sampai sore malah istrinya kayak gini. Sukanya pergi-pergi terus ngabisin uangnya Mas mu doang. Sepertinya nanti Ibu harus ngomong sama Mas mu kalau uang bulanan Ibu saja yang pegang. Dipegang sama Salma
Bab : 10POV SALMA"Pasti sengaja, iya kan? Udahlah, sekarang aku minta uang buat makan. Salah sendiri tadi gak masak," ujar Fera sembari menadahkan tangannya kepadaku. Sungguh, aku heran, ada ya manusia model begini."Fer, sepertinya kamu harus keluar dulu deh. Aku mau istirahat dulu sama Sania. Lihat tuh, Sania udah ngantuk." ucapku sambil menggiring Fera keluar dari kamarku.Meladeni Fera, lama-lama aku ikutan stres seperti dia. Setelah mengunci kamar, aku langsung merebahkan diri untuk istirahat. Lelah sekali rasanya hari ini. Lebih tepatnya, lelah emosi juga jiwaku.Samar-samar kudengar suara Ibu dan Fera berdebat.
Bab : 11POV RAMA"Fera, jangan mengada-ada kamu. Siapa yang mendorongmu. Kalau gak bisa berkata jujur, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku sudah muak dengan tingkahmu!"Aku terkejut melihat ucapan Salma. Lancang sekali bicara seperti itu sama Fera, tidakkah dia tahu kalau Fera adalah adikku. Lama-lama memang Salma makin tidak waras."Salma, lancang sekali kamu berucap seperti itu. Ini rumah anakku, Rama. Seharusnya kamu yang pergi dari sini, bukan Fera. Dasar menantu ga ada akhlak!" Ibu tak kalah lantang suaranya."Ibu lupa, yang beli rumah ini siapa? Dan atas nama siapa? Tanya saja sama anak kesayangan Ibu itu, pake uang siapa ketika me
Bab : 12POV RAMAKamu sekarang benar-benar berubah, Sal. Aku nyaris tak mengenalmu lagi. Padahal dulu kamu juga menyayangi Ibu. Entahlah, apa yang merasuki pikiranmu saat ini."Oh ya, Mas. Aku akan kerja mulai besok," ucapnya yang membuatku menoleh seketika."Kerja dimana? Lalu, Sania?""Aku kerja dengan Rani. Tenang saja, Sania ikut bersamaku,""Kenapa gak ditinggal saja sama Ibu dirumah?""Kamu yakin anakku bakal diurus sama mereka? Bahkan Mas lihat sendiri, Vino saja sering mengeluh lapar, cukup aku yang menderita dis
Bab : 13Ketika kubuka dan astaga … meja tampak kosong, tak ada makanan sama sekali. Segelas kopi pun juga tak ada. Seketika diriku lemas. Salma, apa kau tak memikirkanku sebelum berangkat kerja? Lalu siapa yang mau mengurusku sekarang.Aku melangkah ke kamar Ibu dan Fera. Ternyata mereka tampak masih mendengkur, begitu juga Vino yang diapit oleh keduanya. Kulihat sekeliling, nampak sampah berserakan dimana-mana. Baju-baju kotor yang berada di pojokan nampak begitu menggunung.Salma, kenapa kamu tak memikirkan mereka? Minimal membantu mencucikan baju mereka atau membereskan tempat tidur mereka. Bukankah kamu selalu ingin terlihat rapi?Melihat pemandangan mereka seperti ini, sem
Bab : 14POV AUTHORRama akhirnya berangkat dengan perasaan yang berkecamuk. Hatinya gundah memikirkan masalah rumah yang tak ada habisnya. Apalagi pagi ini dia tak sarapan sama sekali. Kejadian tadi pagi dan perutnya yang keroncongan membuat pikirannya kalut luar biasa.Sementara di sisi lain, Bu Retno dan Fera masih berdebat masalah rumah. Mereka meributkan masalah dapur yang berantakan karena ulah Rama, sehingga tak menyadari bahwa Rama sudah pergi tanpa pamit dengan mereka.Fera merasa dia adalah adik kandung Rama satu-satunya, sedangkan Salma statusnya hanya istri. Ia ingin berkuasa dan menjadi ratu di rumah itu. Yang tak lain sebenarnya adalah rumah Salma. Pikiran jelek pun terlintas di dalam benaknya.
Bab : 15POV AUTHOR"Kalian lagi ngapain?" ucap seseorang yang sedang menghampiri mereka, membuat mereka berhenti dan menoleh seketika.Mereka dikagetkan oleh seseorang, yang tidak lain adalah Bu Siti, tetangga di sebelah rumahnya. Walaupun Bu Retno jarang sekali keluar rumah, Bu Retno mengenal Bu Siti, karena beberapa kali sering berpapasan di depan rumah.Sedangkan Bu Siti yang sedang ada keperluan, sepertinya mengenali wajah mereka. Dan ternyata benar, yang berada ditempat yang sama dengan Bu Siti adalah Bu Retno, mertua Salma. Bu Siti mengenal Salma dengan sangat baik, sehingga dia segera menyapa mertua Salma yang kini tengah berbelanja.
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin