Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku
Bab : 5
Oleh : Enik Wahyuni
"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"
Kulihat Salma hanya mencebikan mulutnya, melihat ekspresinya seperti itu jadi makin kesal saja rasanya. Bukannya minta maaf sama Ibu, malah mencelos. Hati nurani kamu dimana Salma, sama orang tua kok gak ada sopan-sopannya.
"Ada apa sih, Bu," tanya Fera yang ternyata baru bangun. Astaga, jam segini adikku baru bangun, semakin pusing saja rasanya melihat keadaan ini.
"Mama, Vino laper, Mah," ucap Vino sambil bergelayut di tangan Fera.
"Ini, Fer, Salma makan enak dibawa ke kamar sendiri, sedangkan Ibu cuma makan sama kerupuk doang," ucap Ibu dengan nada sedih.
"Yang bener aja, Mbak, terus ini Vino makan apa sekarang, jangan memikirkan diri sendiri gitu dong," Fera berucap lantang sambil matanya mendelik.
"Lah, tuh nyadar anaknya butuh makan, jam segini baru bangun. Baru bangun kok langsung minta makan, enak bener hidupmu, makan aja sono guling sama bantal," ujar Salma dengan enteng sekali.
Memang keterlaluan si Salma, bukannya merasa bersalah malah menyalahkan orang lain. Kayak gini kan jadi kasian mereka, Sania saja sudah dia suapin, Vino malah belum makan.
"Tuh, lihat istrimu, Mas, sama Ibu saja tega, apalagi sama Vino, terus sekarang kita makan apa, aku juga laper," ucap Fera memelas.
"Udahlah, jangan ribut terus, aku pusing, mau berangkat kerja, udah siang," ucapku sambil menepis tangan.
Rasanya kepalaku mau pecah memikirkan masalah di rumah yang sepertinya tak ada habisnya.
Ku Keluarkan uang untuk Ibu 300 ribu, dan juga Fera 200 ribu. Seketika senyum berkembang di wajah mereka. Apalagi Ibu, sepertinya ia juga lupa kalau tadi kelaparan. Dasar Ibu, giliran dikasih uang saja, semuanya jadi lupa.
Biarlah, itu untuk menyenangkan mereka agar mereka betah disini. Ini juga gara-gara Salma, coba tadi Salma tak bikin ulah, mungkin mereka sekarang tak kelaparan.
"Kita makan diluar aja yuk, Fer, ajak Vino sekalian," ucap Ibu sambil berlalu lantas menggandeng Fera keluar dari kamar Salma.
Lalu dengan sumringah Fera mengikuti ajakan Ibu dengan menggandeng Vino.
"Oke siap, Bu, duh, Masku ini memang paling baik hati deh, gak kayak itu tu," ujarnya sambil melirik Salma. Namun Salma sepertinya santai saja.
"Mas, buat aku mana? Kamu kira aku juga gak butuh makan?" ucap Salma protes.
Aku dengan malas mengeluarkan uang buat Salma, kupikir 300 ribu cukuplah nanti sampai gajian.
"Nih buat kamu, jangan boros-boros belanjanya, ingat ya, masak yang enak nanti buat Ibu dan Fera," ucapku kepada Salma.
Namun ia hanya mencebikan mulutnya, memang aneh lama-lama istriku ini. Dikasih uang bukannya bilang terima kasih, malah manyun begitu. Lihatlah Fera dan Ibu tadi, ekspresinya sangat senang sekali.
"Sabar, Rama, sabar, ngajarin istri itu harus pelan-pelan, kamu pasti bisa, Rama," batinku menyemangati diri sendiri.
"Ngasih uang cuma segini kok minta makan enak, kalau gitu uangnya kasih aja sana sama Ibu, biar Ibu yang ngatur sendiri, aku juga gak pusing jadinya," ujar Salma mencebik.
"Udahlah Sal, kamu itu bukannya bersyukur kok malah protes terus, suamimu ini mau berangkat kerja, bukannya dilayani malah diajak ribut terus, tolong mengertilah, Salma,"
Salma hanya memutar bola matanya. Entahlah, apa yang dipikirkannya saat ini. Dia sudah membereskan sarapannya dan Sania juga sudah selesai makan. Lama-lama aku jadi semakin susah menebak pikirannya, apa katanya tadi? Ibu disuruh mengatur semuanya? Emang Ibu pembantu, terus apa dong gunanya punya istri?
"Mas mau berangkat kerja dulu, Sal, kamu hati-hati dirumah, jangan lupa nanti masak yang enak, sayang … papa berangkat kerja dulu ya," ucapku pada Salma dan juga Sania.
"Iya papa hati-hati ya," ucap Sania sambil menghambur memelukku. Ah Sania, selalu saja bikin gemas.
Aku langsung bersiap berangkat ke kantor, mengingat sudah sangat siang dan bos bisa marah nanti jika melihatku belum datang ke kantor pagi ini.
Ketika mengeluarkan motor kesayangan, aku tak melihat Ibu dan juga Fera di rumah. Biarlah, yang penting mereka tenang. Aku harus segera berangkat agar bos tak marah nantinya.
***************
"Bro, dipanggil bos tuh, di ruangannya," ucap Aldo ketika sudah sampai di ruanganku.
"Ada apa, ya?"
Aldo hanya mengedikkan bahu, tanda tak tahu. Lantas aku pun segera menemui bos di ruangannya.
"Rama, aku perhatikan kinerjamu akhir-akhir ini menurun, masuk kerja sering kesiangan, laporan kemaren juga kacau," ujar Pak Hendi dengan menyerahkan laporan yang kubuat kemarin.
Aku menelan ludah, mengamati laporan yang sudah di coret oleh Pak Hendi di depan mataku. Aku pun membelalakan mata, astaga … kenapa tidak menyadari kemarin bikin laporan sampai berantakan begini. Pantaslah Pak Hendi marah.
"Sebagai hukumanmu, selesaikan laporan ini hari ini juga, harus selesai hari ini, mengerti!" ucap Pak hendi tegas.
"Iya, Pak, saya permisi dulu ya, Pak," ucapku akhirnya.
Pak Hendi menganggukan kepalanya, dengan tangan berada diatas meja. Lantas aku pamit undur diri dari hadapan Pak hendi dengan membawa setumpuk laporan, yang kira-kira sampai malam pun sepertinya juga belum selesai.
"Semangat, bro, nanti malem juga selesai itu, ha ha ha," ujar Aldo yang melihatku membawa setumpuk pekerjaan.
Aku hanya memutar bola mata, jengah banget dengerin ledekan recehnya Aldo.
"Gara-gara punya bini dua ini di rumah jadi puyeng deh, eh salah, ha ha ha,"
"Sialan, lo," ujarku dengan muka mendelik.
Aldo masih senang meledekku, membuatku semakin jengah saja. Renyah banget tawanya, sepertinya bahagia sekali melihat penderitaan teman sendiri.
Ya, apapun resikonya Pak Hendi masih berbaik hati dengan kesalahanku. Walaupun sepertinya harus lembur. Biarlah, aku juga masih sangat butuh pekerjaan ini. Dengan jabatanku yang lumayan dan tanggung jawab yang besar, banyak orang yang menginginkan seperti posisiku.
***************
Akhirnya waktu istirahat pun tiba, pekerjaanku masih belum ada separuhnya selesai. Ku hembuskan nafas lelah ini dan merenggangkan otot-otot tangan yang dari tadi tak berhenti mengerjakan laporan di depan komputer. Huh, pegal sekali rasanya.
Iseng kubuka gawaiku yang dari tadi menggeletak diatas meja. Mataku membelalak saat melihat status f******k Fera.
'Makan dulu kita, dengan menu apa adanya saja. Tak perlu yang mewah, kayak gini saja sudah membuatku bahagia. Bahagia itu memang sederhana kan? Makasih ya, Mas Rama yang paling ganteng. Nih, Ibu senang sekali sepertinya.'
Seketika kepalaku kembali nyut-nyutan rasanya melihat status Fera, dia memperlihatkan foto selfie mereka bertiga makan di restoran terkenal di kota ini. Dengan memperlihatkan aneka makanan diatas meja. Tapi tak ada Salma dan Sania disana.
Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.
**************
Bab : 6Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.Dengan berjalan gontai aku menuju kantin dekat kantor. Makan pun rasanya jadi pahit. Kok pahit sih? Ah, kenapa aku jadi selebai ini? Harusnya aku senang melihat Ibu dan juga Fera bersenang-senang di luaran sana.Ah, aneh lama-lama aku ini, mikir apa sih. "Emang kamu kerja kan buat membahagiakan Ibumu kan, Rama, terus apa yang kamu bingungkan, uang kan masih bisa dicari, semangat lah!" Aku membatin menyemangati diriku sendiri.Tiba-tiba aku teringat Salma, harusnya Salma bantuin aku
Bab : 7POV SALMA"Auuu … sakit, Bu," ucap Fera yang baru pulang. Tiba-tiba jatuh terpeleset saat masuk ke dalam rumah.Setelah melihat statusnya di media sosial yang habis makan mewah di restoran, kini pulang membawa banyak barang belanjaan. Aku yang bingung mengatur uang belanja yang tak seberapa, mereka malah bersenang-senang di luar dengan memakai uang Mas Rama."Yaudah, bangun! Duh, kamu kok bisa jatuh gini sih," ujar Ibu sambil berusaha membangunkan Fera yang terjatuh. Kemudian merapikan barang-barangnya.Aku menahan tawa ketika melihat Fera jatuh karena terpeleset. Lagian, biasa slanang-slonong sih, jadi gak lihat kalau lantai masi
Bab : 8POV SALMA"Fera, bangun Nak, ayo, Ibu obatin dulu, sini Nak," Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat."Hmmm … Ibu, sakit Bu, awas kamu Mbak, ini semua gara-gara kamu, aku aduin nanti sama Mas Rama! Sambil menangis Salma berucap."Biarin aja, Sal, habis ini telpon Mas mu aja, Mas mu harus tau kelakuan istrinya itu." Ibu berujar sembari membersihkan luka di kening Fera.Sudah pastilah aku yang disalahkan, padahal tadi adalah kecelakaan yang dibuat oleh sang Ibu tercin
Bab : 9POV SALMA"Ngelayap terus! jam segini baru pulang. Lihat tuh, Bu, mantu itu memang udah gak menghargai Mas Rama lagi. Suami lagi kerja, eh, ini istrinya pergi pergian terus," repet Fera yang sudah mulai menjadi kompor.Padahal jidatnya lagi diperban. Emang gak kapok apa? Baru sampai rumah udah disambut, perhatian sekali mereka denganku. Jadi terharu rasanya, terharu pengen nimpuk mulutnya Fera."Salma ini memang sudah tak cocok lagi jadi istrinya Mas mu, Fer. Lihatlah, Mas mu itu kerja dari pagi sampai sore malah istrinya kayak gini. Sukanya pergi-pergi terus ngabisin uangnya Mas mu doang. Sepertinya nanti Ibu harus ngomong sama Mas mu kalau uang bulanan Ibu saja yang pegang. Dipegang sama Salma
Bab : 10POV SALMA"Pasti sengaja, iya kan? Udahlah, sekarang aku minta uang buat makan. Salah sendiri tadi gak masak," ujar Fera sembari menadahkan tangannya kepadaku. Sungguh, aku heran, ada ya manusia model begini."Fer, sepertinya kamu harus keluar dulu deh. Aku mau istirahat dulu sama Sania. Lihat tuh, Sania udah ngantuk." ucapku sambil menggiring Fera keluar dari kamarku.Meladeni Fera, lama-lama aku ikutan stres seperti dia. Setelah mengunci kamar, aku langsung merebahkan diri untuk istirahat. Lelah sekali rasanya hari ini. Lebih tepatnya, lelah emosi juga jiwaku.Samar-samar kudengar suara Ibu dan Fera berdebat.
Bab : 11POV RAMA"Fera, jangan mengada-ada kamu. Siapa yang mendorongmu. Kalau gak bisa berkata jujur, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku sudah muak dengan tingkahmu!"Aku terkejut melihat ucapan Salma. Lancang sekali bicara seperti itu sama Fera, tidakkah dia tahu kalau Fera adalah adikku. Lama-lama memang Salma makin tidak waras."Salma, lancang sekali kamu berucap seperti itu. Ini rumah anakku, Rama. Seharusnya kamu yang pergi dari sini, bukan Fera. Dasar menantu ga ada akhlak!" Ibu tak kalah lantang suaranya."Ibu lupa, yang beli rumah ini siapa? Dan atas nama siapa? Tanya saja sama anak kesayangan Ibu itu, pake uang siapa ketika me
Bab : 12POV RAMAKamu sekarang benar-benar berubah, Sal. Aku nyaris tak mengenalmu lagi. Padahal dulu kamu juga menyayangi Ibu. Entahlah, apa yang merasuki pikiranmu saat ini."Oh ya, Mas. Aku akan kerja mulai besok," ucapnya yang membuatku menoleh seketika."Kerja dimana? Lalu, Sania?""Aku kerja dengan Rani. Tenang saja, Sania ikut bersamaku,""Kenapa gak ditinggal saja sama Ibu dirumah?""Kamu yakin anakku bakal diurus sama mereka? Bahkan Mas lihat sendiri, Vino saja sering mengeluh lapar, cukup aku yang menderita dis
Bab : 13Ketika kubuka dan astaga … meja tampak kosong, tak ada makanan sama sekali. Segelas kopi pun juga tak ada. Seketika diriku lemas. Salma, apa kau tak memikirkanku sebelum berangkat kerja? Lalu siapa yang mau mengurusku sekarang.Aku melangkah ke kamar Ibu dan Fera. Ternyata mereka tampak masih mendengkur, begitu juga Vino yang diapit oleh keduanya. Kulihat sekeliling, nampak sampah berserakan dimana-mana. Baju-baju kotor yang berada di pojokan nampak begitu menggunung.Salma, kenapa kamu tak memikirkan mereka? Minimal membantu mencucikan baju mereka atau membereskan tempat tidur mereka. Bukankah kamu selalu ingin terlihat rapi?Melihat pemandangan mereka seperti ini, sem
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin