Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku
Bab : 4
Oleh : Enik Wahyuni
Mentari sudah menunjukan sinarnya, tampak silau dari arah jendela. Mataku mengerjap beberapa kali untuk menetralkan keadaan, lagi-lagi aku kesiangan dan melewatkan sholat subuh. Kulihat Sania masih tertidur pulas, namun aku tak mendapati Salma di kamar ini. Ah, Salmaku itu pasti sedang berada di dapur.
Saat kaki ini melangkah ke ruang tengah, nampak sekali masih sepi. Ku tengok kamar Ibu dan Fera, mereka masih mendengkur dengan halusnya. Entah tidur jam berapa mereka semalam, sehingga sekarang aku masih mendapati mereka tertidur pulas.
Mataku memandang sekeliling, mencari Salma yang biasanya jam segini selalu sibuk di dapur, tapi pagi ini tak kudapati. Kemana dia? Ku langkahkan kakiku ke belakang rumah, dan benar dugaanku, nampak dia sedang menjemur baju.
"Rumah semalem memang gak diberesin, Mas, berantakan banget," ujar Salma.
Oh, pantas saja rumah sudah rapi, ternyata Salma yang membereskan semuanya. Salma memang istri idaman, masalah pekerjaan rumah sudah tak diragukan lagi. Tapi kenapa sekarang malah mengeluh, itu kan memang sudah tugasnya dia, ada-ada saja.
"Itu kan memang tugasmu, Sal, apa gunanya jadi istri kalau mengerjakan rumah aja ngeluh," ujarku kepada Salma.
Pagi-pagi udah bikin senewen aja, biasanya juga dikerjakan sendirian lalu apa bedanya dengan hari ini?
"Terserahlah, Mas, aku capek, mau ngomong sama kamu juga percuma, ujung-ujungnya juga pasti aku yang salah," ujar Salma kemudian.
Tangannya lincah sekali menjemur baju kami, dari helai per helai baju dijemurnya. Dengan memonyongkan bibirnya dia berucap seperti itu.
"Apa maksud kamu ngomong seperti itu, Sal, kalau kamu salah ya, pasti aku tegur, biar menjadi bener, aku hanya ingin kamu dirumah ini menghargai Ibu dan juga Fera, masa kayak gitu aja kamu gak ngerti sih," ujarku kepada Salma.
Namun Salma tak lagi menyahut, dia hanya memutar bola matanya. Maksudnya apa coba, diajarin yang bener kok malah begitu. Biarin lah, mungkin dia butuh menyesuaikan diri, karena sekarang ada Ibu dan juga Fera di sini. Memang menyadarkan istri itu tak gampang, sepertinya aku harus ekstra sabar menghadapi Salma dalam hal ini.
************
Ketika sudah rapi dan siap untuk pergi kerja, aku langsung ke ruang tengah. Namun aku tak mendapati Salma berada disana, kemana dia? Padahal dia sudah tahu kalau bentar lagi aku pergi kerja.
Di meja tempat biasa juga tidak ada kopi seperti biasanya. Ah, Salma ini lupa atau pura-pura lupa, sih. Masa kopi buatku saja sampai tak ada. Kulihat Ibu juga baru bangun, lantas mendekatiku yang berada di ruang tengah. Tempat biasa kita makan bersama.
Nampak Ibu membuka tudung saji, dan tak mendapati apapun di dalam sana. Astaga, Salma … terus kita mau sarapan apa pagi ini, benar-benar menjengkelkan sekali dirimu.
"Istrimu kemana, pagi-pagi udah ngilang tapi tak ada apapun yang dimakan, kamu udah sarapan belum, Ram?" tanya Ibu.
Aku hanya menggeleng, "Jangankan sarapan, Bu, kopi aja tak ada," ucapku lemah.
"Memang bener-bener keterlaluan itu istri kamu, jadi istri kok gak ngerti tugas istri itu apa, makanya, Ram, kamu itu harus bisa tegas sama Salma, ngelunjak kan jadinya," repet Ibu.
Aku yang mendengarkan ocehan Ibu hanya menelan ludah. Ya, mau bagaimana lagi, yang diucapkan Ibu memang benar.
"Sekarang Salma mana," ucap Ibu yang suaranya mulai melengking.
Lagi-lagi aku hanya menggeleng, memang tadi Salma tidak pamit perginya. Karena tadi aku berada di kamar mandi.
"Assalamualaikum," tiba-tiba datang dari arah pintu, ya, dan ternyata itu adalah Salma.
"Maaf lama, ya, Mas, maaf ya, Bu," ucapnya dengan menaruh bungkusan di atas meja.
"Ayo sarapan dulu, Mas, ayo, Bu, maaf, hari ini Salma tidak masak pagi, karena capek habis beres-beres rumah tadi," ucap Salma, lantas dia berlalu, sambil membawa bungkusan lain ke dalam kamar. Entahlah, aku tak tau itu apa.
Ah, rupanya Salma pergi membeli nasi uduk buat kami. Seketika senyum ini melengkung, kulirik Ibu, Ibu juga sama senang. Ternyata Salma walaupun hatinya masih dongkol, dia masih perhatian membelikan sarapan buat kita.
Lihat kan, Bu, anak lanangmu ini kan pinter membimbing istri, agar jadi istri solehah seperti yang Ibu harapkan. Ah, kadang sikap tegas itu memang perlu, terbukti Salma jadi nurut sama suami. Seketika sikap jumawa dan rasa besar hati menyelimuti. Kalau istri nurut suami, pasti Ibu juga senang.
Tapi ketika membuka bungkusan nasi, senyum Ibu tiba-tiba meredup. Ada apa? Lantas aku pun membuka nasi di depanku, dan astaga … seketika diri ini malu di depan Ibu. Salma, kamu anggap suamimu ini apa sih?
"Rama, apa-apaan ini? Masa isinya nasi sama kerupuk doang?" ucap Ibu sambil menunjuk nasi yang ada di depannya.
"Coba aku tanya Salma dulu ya, Bu," ucapku sambil melangkah ke kamar menghampiri Salma.
Benar-benar kelewatan Salma kali ini, nafasku sampai tersengal menahan marah. Masa Ibu dikasih sarapan sama kerupuk doang, yang benar saja, Salma. Ketika aku membuka pintu kamar, nampak dia sedang makan bersama dengan Sania. Ya, malaikat kecilku itu ternyata sudah bangun, dan lagi disuapin sama Salma.
"Salma, kenapa kamu membeli sarapan cuma sama kerupuk doang?" ucapku dengan lantang ke arah Salma.
"Maaf, Mas Rama, tadi pas beli nasi uduk ternyata lauknya udah habis, adanya tinggal nasi sama kerupuk aja, yaudah daripada laper gak sarapan, ya kan," ujar Salma, enteng sekali dia berucap.
"Itu nyatanya, kamu makan pakai ayam, atau memang kamu sengaja, ya, kamu makan pakai ayam tapi kita dikasih kerupuk doang, dimana otakmu, Salma?" ucapku berang, aku dan Ibuku cuma makan pake kerupuk, dia makan pakai ayam, enak sekali dia.
"Iya, ini tinggal satu, Mas, yaudah tak kasih Sania lah, kasian kan, Sania ga ada lauk," ucap Salma masih tenang.
"Papa gak boleh malah-malah telus sama mama, nanti mama nangis, ya ma," suara cadel Sania mengingatkanku.
Ah, malaikatku yang masih tiga tahun itu selalu membuatku gemas.
"Istrimu itu memang gak suka Ibu disini, Ram, makanya dia lagi berusaha supaya Ibu gak betah disini. Makan aja dikasih nasi sama kerupuk doang, biar Ibu kurus kering disini," ucap Ibu sedih.
Salma memang keterlaluan, kayak gini kan bikin Ibu jadi sedih. Memangnya dia gak mikir perasaan Ibu apa? Ah ya, mungkin otaknya sudah digadaikan di tukang nasi uduk tadi. Makanya tidak bisa berpikir dengan jernih. Awas kamu Salma, kalau sampai bikin Ibu nangis. Geram sekali rasanya.
"Memang istrimu sengaja makan di kamar, supaya bisa makan enak disini sendiri, apalah artinya Ibu, Ram, Ibu yang melahirkanmu, tapi gak dianggap sama Salma," ucap Ibu sedih.
"Ibu tenang ya, Bu, nanti Rama akan menasehati Salma. Udah, Ibu gak boleh sedih lagi," ucapku menenangkan Ibu.
"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"
*********
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 5Oleh : Enik Wahyuni"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"Kulihat Salma hanya mencebikan mulutnya, melihat ekspresinya seperti itu jadi makin kesal saja rasanya. Bukannya minta maaf sama Ibu, malah mencelos. Hati nurani kamu dimana Salma, sama orang tua kok gak ada sopan-sopannya."Ada apa sih, Bu," tanya Fera yang ternyata baru bangun. Astaga, jam segini adikku baru bangun, semakin pusing saja rasanya melihat keadaan ini."Mama, Vino laper, Mah," ucap Vino sambil bergelayut di tangan Fera.
Bab : 6Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.Dengan berjalan gontai aku menuju kantin dekat kantor. Makan pun rasanya jadi pahit. Kok pahit sih? Ah, kenapa aku jadi selebai ini? Harusnya aku senang melihat Ibu dan juga Fera bersenang-senang di luaran sana.Ah, aneh lama-lama aku ini, mikir apa sih. "Emang kamu kerja kan buat membahagiakan Ibumu kan, Rama, terus apa yang kamu bingungkan, uang kan masih bisa dicari, semangat lah!" Aku membatin menyemangati diriku sendiri.Tiba-tiba aku teringat Salma, harusnya Salma bantuin aku
Bab : 7POV SALMA"Auuu … sakit, Bu," ucap Fera yang baru pulang. Tiba-tiba jatuh terpeleset saat masuk ke dalam rumah.Setelah melihat statusnya di media sosial yang habis makan mewah di restoran, kini pulang membawa banyak barang belanjaan. Aku yang bingung mengatur uang belanja yang tak seberapa, mereka malah bersenang-senang di luar dengan memakai uang Mas Rama."Yaudah, bangun! Duh, kamu kok bisa jatuh gini sih," ujar Ibu sambil berusaha membangunkan Fera yang terjatuh. Kemudian merapikan barang-barangnya.Aku menahan tawa ketika melihat Fera jatuh karena terpeleset. Lagian, biasa slanang-slonong sih, jadi gak lihat kalau lantai masi
Bab : 8POV SALMA"Fera, bangun Nak, ayo, Ibu obatin dulu, sini Nak," Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat."Hmmm … Ibu, sakit Bu, awas kamu Mbak, ini semua gara-gara kamu, aku aduin nanti sama Mas Rama! Sambil menangis Salma berucap."Biarin aja, Sal, habis ini telpon Mas mu aja, Mas mu harus tau kelakuan istrinya itu." Ibu berujar sembari membersihkan luka di kening Fera.Sudah pastilah aku yang disalahkan, padahal tadi adalah kecelakaan yang dibuat oleh sang Ibu tercin
Bab : 9POV SALMA"Ngelayap terus! jam segini baru pulang. Lihat tuh, Bu, mantu itu memang udah gak menghargai Mas Rama lagi. Suami lagi kerja, eh, ini istrinya pergi pergian terus," repet Fera yang sudah mulai menjadi kompor.Padahal jidatnya lagi diperban. Emang gak kapok apa? Baru sampai rumah udah disambut, perhatian sekali mereka denganku. Jadi terharu rasanya, terharu pengen nimpuk mulutnya Fera."Salma ini memang sudah tak cocok lagi jadi istrinya Mas mu, Fer. Lihatlah, Mas mu itu kerja dari pagi sampai sore malah istrinya kayak gini. Sukanya pergi-pergi terus ngabisin uangnya Mas mu doang. Sepertinya nanti Ibu harus ngomong sama Mas mu kalau uang bulanan Ibu saja yang pegang. Dipegang sama Salma
Bab : 10POV SALMA"Pasti sengaja, iya kan? Udahlah, sekarang aku minta uang buat makan. Salah sendiri tadi gak masak," ujar Fera sembari menadahkan tangannya kepadaku. Sungguh, aku heran, ada ya manusia model begini."Fer, sepertinya kamu harus keluar dulu deh. Aku mau istirahat dulu sama Sania. Lihat tuh, Sania udah ngantuk." ucapku sambil menggiring Fera keluar dari kamarku.Meladeni Fera, lama-lama aku ikutan stres seperti dia. Setelah mengunci kamar, aku langsung merebahkan diri untuk istirahat. Lelah sekali rasanya hari ini. Lebih tepatnya, lelah emosi juga jiwaku.Samar-samar kudengar suara Ibu dan Fera berdebat.
Bab : 11POV RAMA"Fera, jangan mengada-ada kamu. Siapa yang mendorongmu. Kalau gak bisa berkata jujur, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku sudah muak dengan tingkahmu!"Aku terkejut melihat ucapan Salma. Lancang sekali bicara seperti itu sama Fera, tidakkah dia tahu kalau Fera adalah adikku. Lama-lama memang Salma makin tidak waras."Salma, lancang sekali kamu berucap seperti itu. Ini rumah anakku, Rama. Seharusnya kamu yang pergi dari sini, bukan Fera. Dasar menantu ga ada akhlak!" Ibu tak kalah lantang suaranya."Ibu lupa, yang beli rumah ini siapa? Dan atas nama siapa? Tanya saja sama anak kesayangan Ibu itu, pake uang siapa ketika me
Bab : 12POV RAMAKamu sekarang benar-benar berubah, Sal. Aku nyaris tak mengenalmu lagi. Padahal dulu kamu juga menyayangi Ibu. Entahlah, apa yang merasuki pikiranmu saat ini."Oh ya, Mas. Aku akan kerja mulai besok," ucapnya yang membuatku menoleh seketika."Kerja dimana? Lalu, Sania?""Aku kerja dengan Rani. Tenang saja, Sania ikut bersamaku,""Kenapa gak ditinggal saja sama Ibu dirumah?""Kamu yakin anakku bakal diurus sama mereka? Bahkan Mas lihat sendiri, Vino saja sering mengeluh lapar, cukup aku yang menderita dis
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin