Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku
Bab : 4
Oleh : Enik Wahyuni
Mentari sudah menunjukan sinarnya, tampak silau dari arah jendela. Mataku mengerjap beberapa kali untuk menetralkan keadaan, lagi-lagi aku kesiangan dan melewatkan sholat subuh. Kulihat Sania masih tertidur pulas, namun aku tak mendapati Salma di kamar ini. Ah, Salmaku itu pasti sedang berada di dapur.
Saat kaki ini melangkah ke ruang tengah, nampak sekali masih sepi. Ku tengok kamar Ibu dan Fera, mereka masih mendengkur dengan halusnya. Entah tidur jam berapa mereka semalam, sehingga sekarang aku masih mendapati mereka tertidur pulas.
Mataku memandang sekeliling, mencari Salma yang biasanya jam segini selalu sibuk di dapur, tapi pagi ini tak kudapati. Kemana dia? Ku langkahkan kakiku ke belakang rumah, dan benar dugaanku, nampak dia sedang menjemur baju.
"Rumah semalem memang gak diberesin, Mas, berantakan banget," ujar Salma.
Oh, pantas saja rumah sudah rapi, ternyata Salma yang membereskan semuanya. Salma memang istri idaman, masalah pekerjaan rumah sudah tak diragukan lagi. Tapi kenapa sekarang malah mengeluh, itu kan memang sudah tugasnya dia, ada-ada saja.
"Itu kan memang tugasmu, Sal, apa gunanya jadi istri kalau mengerjakan rumah aja ngeluh," ujarku kepada Salma.
Pagi-pagi udah bikin senewen aja, biasanya juga dikerjakan sendirian lalu apa bedanya dengan hari ini?
"Terserahlah, Mas, aku capek, mau ngomong sama kamu juga percuma, ujung-ujungnya juga pasti aku yang salah," ujar Salma kemudian.
Tangannya lincah sekali menjemur baju kami, dari helai per helai baju dijemurnya. Dengan memonyongkan bibirnya dia berucap seperti itu.
"Apa maksud kamu ngomong seperti itu, Sal, kalau kamu salah ya, pasti aku tegur, biar menjadi bener, aku hanya ingin kamu dirumah ini menghargai Ibu dan juga Fera, masa kayak gitu aja kamu gak ngerti sih," ujarku kepada Salma.
Namun Salma tak lagi menyahut, dia hanya memutar bola matanya. Maksudnya apa coba, diajarin yang bener kok malah begitu. Biarin lah, mungkin dia butuh menyesuaikan diri, karena sekarang ada Ibu dan juga Fera di sini. Memang menyadarkan istri itu tak gampang, sepertinya aku harus ekstra sabar menghadapi Salma dalam hal ini.
************
Ketika sudah rapi dan siap untuk pergi kerja, aku langsung ke ruang tengah. Namun aku tak mendapati Salma berada disana, kemana dia? Padahal dia sudah tahu kalau bentar lagi aku pergi kerja.
Di meja tempat biasa juga tidak ada kopi seperti biasanya. Ah, Salma ini lupa atau pura-pura lupa, sih. Masa kopi buatku saja sampai tak ada. Kulihat Ibu juga baru bangun, lantas mendekatiku yang berada di ruang tengah. Tempat biasa kita makan bersama.
Nampak Ibu membuka tudung saji, dan tak mendapati apapun di dalam sana. Astaga, Salma … terus kita mau sarapan apa pagi ini, benar-benar menjengkelkan sekali dirimu.
"Istrimu kemana, pagi-pagi udah ngilang tapi tak ada apapun yang dimakan, kamu udah sarapan belum, Ram?" tanya Ibu.
Aku hanya menggeleng, "Jangankan sarapan, Bu, kopi aja tak ada," ucapku lemah.
"Memang bener-bener keterlaluan itu istri kamu, jadi istri kok gak ngerti tugas istri itu apa, makanya, Ram, kamu itu harus bisa tegas sama Salma, ngelunjak kan jadinya," repet Ibu.
Aku yang mendengarkan ocehan Ibu hanya menelan ludah. Ya, mau bagaimana lagi, yang diucapkan Ibu memang benar.
"Sekarang Salma mana," ucap Ibu yang suaranya mulai melengking.
Lagi-lagi aku hanya menggeleng, memang tadi Salma tidak pamit perginya. Karena tadi aku berada di kamar mandi.
"Assalamualaikum," tiba-tiba datang dari arah pintu, ya, dan ternyata itu adalah Salma.
"Maaf lama, ya, Mas, maaf ya, Bu," ucapnya dengan menaruh bungkusan di atas meja.
"Ayo sarapan dulu, Mas, ayo, Bu, maaf, hari ini Salma tidak masak pagi, karena capek habis beres-beres rumah tadi," ucap Salma, lantas dia berlalu, sambil membawa bungkusan lain ke dalam kamar. Entahlah, aku tak tau itu apa.
Ah, rupanya Salma pergi membeli nasi uduk buat kami. Seketika senyum ini melengkung, kulirik Ibu, Ibu juga sama senang. Ternyata Salma walaupun hatinya masih dongkol, dia masih perhatian membelikan sarapan buat kita.
Lihat kan, Bu, anak lanangmu ini kan pinter membimbing istri, agar jadi istri solehah seperti yang Ibu harapkan. Ah, kadang sikap tegas itu memang perlu, terbukti Salma jadi nurut sama suami. Seketika sikap jumawa dan rasa besar hati menyelimuti. Kalau istri nurut suami, pasti Ibu juga senang.
Tapi ketika membuka bungkusan nasi, senyum Ibu tiba-tiba meredup. Ada apa? Lantas aku pun membuka nasi di depanku, dan astaga … seketika diri ini malu di depan Ibu. Salma, kamu anggap suamimu ini apa sih?
"Rama, apa-apaan ini? Masa isinya nasi sama kerupuk doang?" ucap Ibu sambil menunjuk nasi yang ada di depannya.
"Coba aku tanya Salma dulu ya, Bu," ucapku sambil melangkah ke kamar menghampiri Salma.
Benar-benar kelewatan Salma kali ini, nafasku sampai tersengal menahan marah. Masa Ibu dikasih sarapan sama kerupuk doang, yang benar saja, Salma. Ketika aku membuka pintu kamar, nampak dia sedang makan bersama dengan Sania. Ya, malaikat kecilku itu ternyata sudah bangun, dan lagi disuapin sama Salma.
"Salma, kenapa kamu membeli sarapan cuma sama kerupuk doang?" ucapku dengan lantang ke arah Salma.
"Maaf, Mas Rama, tadi pas beli nasi uduk ternyata lauknya udah habis, adanya tinggal nasi sama kerupuk aja, yaudah daripada laper gak sarapan, ya kan," ujar Salma, enteng sekali dia berucap.
"Itu nyatanya, kamu makan pakai ayam, atau memang kamu sengaja, ya, kamu makan pakai ayam tapi kita dikasih kerupuk doang, dimana otakmu, Salma?" ucapku berang, aku dan Ibuku cuma makan pake kerupuk, dia makan pakai ayam, enak sekali dia.
"Iya, ini tinggal satu, Mas, yaudah tak kasih Sania lah, kasian kan, Sania ga ada lauk," ucap Salma masih tenang.
"Papa gak boleh malah-malah telus sama mama, nanti mama nangis, ya ma," suara cadel Sania mengingatkanku.
Ah, malaikatku yang masih tiga tahun itu selalu membuatku gemas.
"Istrimu itu memang gak suka Ibu disini, Ram, makanya dia lagi berusaha supaya Ibu gak betah disini. Makan aja dikasih nasi sama kerupuk doang, biar Ibu kurus kering disini," ucap Ibu sedih.
Salma memang keterlaluan, kayak gini kan bikin Ibu jadi sedih. Memangnya dia gak mikir perasaan Ibu apa? Ah ya, mungkin otaknya sudah digadaikan di tukang nasi uduk tadi. Makanya tidak bisa berpikir dengan jernih. Awas kamu Salma, kalau sampai bikin Ibu nangis. Geram sekali rasanya.
"Memang istrimu sengaja makan di kamar, supaya bisa makan enak disini sendiri, apalah artinya Ibu, Ram, Ibu yang melahirkanmu, tapi gak dianggap sama Salma," ucap Ibu sedih.
"Ibu tenang ya, Bu, nanti Rama akan menasehati Salma. Udah, Ibu gak boleh sedih lagi," ucapku menenangkan Ibu.
"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"
*********
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 5Oleh : Enik Wahyuni"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"Kulihat Salma hanya mencebikan mulutnya, melihat ekspresinya seperti itu jadi makin kesal saja rasanya. Bukannya minta maaf sama Ibu, malah mencelos. Hati nurani kamu dimana Salma, sama orang tua kok gak ada sopan-sopannya."Ada apa sih, Bu," tanya Fera yang ternyata baru bangun. Astaga, jam segini adikku baru bangun, semakin pusing saja rasanya melihat keadaan ini."Mama, Vino laper, Mah," ucap Vino sambil bergelayut di tangan Fera.
Bab : 6Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.Dengan berjalan gontai aku menuju kantin dekat kantor. Makan pun rasanya jadi pahit. Kok pahit sih? Ah, kenapa aku jadi selebai ini? Harusnya aku senang melihat Ibu dan juga Fera bersenang-senang di luaran sana.Ah, aneh lama-lama aku ini, mikir apa sih. "Emang kamu kerja kan buat membahagiakan Ibumu kan, Rama, terus apa yang kamu bingungkan, uang kan masih bisa dicari, semangat lah!" Aku membatin menyemangati diriku sendiri.Tiba-tiba aku teringat Salma, harusnya Salma bantuin aku
Bab : 7POV SALMA"Auuu … sakit, Bu," ucap Fera yang baru pulang. Tiba-tiba jatuh terpeleset saat masuk ke dalam rumah.Setelah melihat statusnya di media sosial yang habis makan mewah di restoran, kini pulang membawa banyak barang belanjaan. Aku yang bingung mengatur uang belanja yang tak seberapa, mereka malah bersenang-senang di luar dengan memakai uang Mas Rama."Yaudah, bangun! Duh, kamu kok bisa jatuh gini sih," ujar Ibu sambil berusaha membangunkan Fera yang terjatuh. Kemudian merapikan barang-barangnya.Aku menahan tawa ketika melihat Fera jatuh karena terpeleset. Lagian, biasa slanang-slonong sih, jadi gak lihat kalau lantai masi
Bab : 8POV SALMA"Fera, bangun Nak, ayo, Ibu obatin dulu, sini Nak," Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat."Hmmm … Ibu, sakit Bu, awas kamu Mbak, ini semua gara-gara kamu, aku aduin nanti sama Mas Rama! Sambil menangis Salma berucap."Biarin aja, Sal, habis ini telpon Mas mu aja, Mas mu harus tau kelakuan istrinya itu." Ibu berujar sembari membersihkan luka di kening Fera.Sudah pastilah aku yang disalahkan, padahal tadi adalah kecelakaan yang dibuat oleh sang Ibu tercin
Bab : 9POV SALMA"Ngelayap terus! jam segini baru pulang. Lihat tuh, Bu, mantu itu memang udah gak menghargai Mas Rama lagi. Suami lagi kerja, eh, ini istrinya pergi pergian terus," repet Fera yang sudah mulai menjadi kompor.Padahal jidatnya lagi diperban. Emang gak kapok apa? Baru sampai rumah udah disambut, perhatian sekali mereka denganku. Jadi terharu rasanya, terharu pengen nimpuk mulutnya Fera."Salma ini memang sudah tak cocok lagi jadi istrinya Mas mu, Fer. Lihatlah, Mas mu itu kerja dari pagi sampai sore malah istrinya kayak gini. Sukanya pergi-pergi terus ngabisin uangnya Mas mu doang. Sepertinya nanti Ibu harus ngomong sama Mas mu kalau uang bulanan Ibu saja yang pegang. Dipegang sama Salma
Bab : 10POV SALMA"Pasti sengaja, iya kan? Udahlah, sekarang aku minta uang buat makan. Salah sendiri tadi gak masak," ujar Fera sembari menadahkan tangannya kepadaku. Sungguh, aku heran, ada ya manusia model begini."Fer, sepertinya kamu harus keluar dulu deh. Aku mau istirahat dulu sama Sania. Lihat tuh, Sania udah ngantuk." ucapku sambil menggiring Fera keluar dari kamarku.Meladeni Fera, lama-lama aku ikutan stres seperti dia. Setelah mengunci kamar, aku langsung merebahkan diri untuk istirahat. Lelah sekali rasanya hari ini. Lebih tepatnya, lelah emosi juga jiwaku.Samar-samar kudengar suara Ibu dan Fera berdebat.
Bab : 11POV RAMA"Fera, jangan mengada-ada kamu. Siapa yang mendorongmu. Kalau gak bisa berkata jujur, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku sudah muak dengan tingkahmu!"Aku terkejut melihat ucapan Salma. Lancang sekali bicara seperti itu sama Fera, tidakkah dia tahu kalau Fera adalah adikku. Lama-lama memang Salma makin tidak waras."Salma, lancang sekali kamu berucap seperti itu. Ini rumah anakku, Rama. Seharusnya kamu yang pergi dari sini, bukan Fera. Dasar menantu ga ada akhlak!" Ibu tak kalah lantang suaranya."Ibu lupa, yang beli rumah ini siapa? Dan atas nama siapa? Tanya saja sama anak kesayangan Ibu itu, pake uang siapa ketika me
Bab : 12POV RAMAKamu sekarang benar-benar berubah, Sal. Aku nyaris tak mengenalmu lagi. Padahal dulu kamu juga menyayangi Ibu. Entahlah, apa yang merasuki pikiranmu saat ini."Oh ya, Mas. Aku akan kerja mulai besok," ucapnya yang membuatku menoleh seketika."Kerja dimana? Lalu, Sania?""Aku kerja dengan Rani. Tenang saja, Sania ikut bersamaku,""Kenapa gak ditinggal saja sama Ibu dirumah?""Kamu yakin anakku bakal diurus sama mereka? Bahkan Mas lihat sendiri, Vino saja sering mengeluh lapar, cukup aku yang menderita dis