Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku
Bab : 3
Oleh: Enik wahyuni
Dan sungguh, aku tercengang melihat apa yang ada di depan mataku. Nampak boneka kaca punya Sania pecah berhamburan di lantai. Bagaimana Vino bisa mengambilnya? Sedangkan Salma selalu rapi menyimpan barang yang gampang pecah, apalagi ini, boneka kaca yang dulu Salma beli sewaktu kita jalan-jalan di kota.
"Fera, ini kok bisa Vino mainin boneka ini? Ini kan tempatnya di dalem lemari, kok bisa sampe pecah?" tanyaku kepada Fera.
"Iya tadi Vino minta diambilin boneka itu, yaudah aku ambilin aja, eh malah pecah," ucapnya tanpa merasa bersalah.
"Fer, ini kan boneka mahal, punya Sania, harusnya kalau tempatnya di dalam lemari jangan dibuat mainan, pecah kan sekarang," ucapku kepada Fera.
"Yaudah sih, Mas, ntar beli lagi, Vino kan juga gak sengaja mecahin barangnya, tadi dia nangis minta yang di dalam situ, yaudah aku ambilin," ucap Fera kemudian.
Iya juga sih, Vino memang tak sengaja melakukannya, mau dimarahin juga percuma, gak bakal balik jadi utuh lagi kan, tapi nanti bagaimana kalau Sania menanyakan boneka kesayangannya.
Duh, bagaimana kalau Salma sampai tahu kalau boneka kaca kesayangan Sania pecah ya? Ini boneka langka dan antik, pernak-perniknya bagus, memang teksturnya dari keramik, tapi bagus banget buat hias lemari kaca, memang kesukaan Sania. Karena warnanya yang unik dan bentuknya yang langka, akhirnya Salma membelikan boneka itu. Bagus buat hiasan lemari kaca disini, aku aja suka memandangnya apalagi Salma.
Ada apa, Mas? Apa yang pecah?
Degh!
"Mas, ini kan boneka keramik punya Sania, kenapa bisa pecah, Mas?
Pertanyaan Salma membuatku lemas, jantungku mulai berdetak tak karuan, bagaimana cara menjelaskannya?
"Yaudah sih, Sal, orang udah pecah, Vino juga gak sengaja mecahin kan," ujar Ibu akhirnya bersuara juga.
Huh, semoga saja Ibu dan Fera bisa menjelaskan ke Salma dan Salma tidak marah nantinya.
"Iya, timbang boneka begitu juga di pasar banyak, ribet amat sih," ketus Fera.
"Kok, bisa di tangan Vino? Itu kan tempatnya berada di dalam lemari?" tanya Salma.
"Vino yang minta Sal, memangnya kenapa kalau Vino itu minjem yang di lemari, ya, kalau pecah memang Vino gak sengaja, masa anak kecil mau dimarahin? Ibu berucap juga.
"Aku gak mau ya, kamu seenaknya mengambil barang-barangku di rumah ini tanpa seizinku," ketus Salma, tangannya menuding ke arah Fera.
"Ini kan rumah Mas ku, jadi rumahku juga, Mbak Salma jangan sok berkuasa sendiri deh, baru jadi istrinya Mas Rama aja belagu banget," sinis Fera, tangannya berkacak pinggang di depan Salma.
"Lihat tuh, Ram, istrimu, masa sama adikmu begitu, kita tuh tamu bukannya dihormati malah diajak ribut tengah malam," ibu ikut bersuara membela Fera.
"Udahlah, cuma gara-gara boneka pecah saja dipermasalahkan, Udah Sal, mendingan kamu tidur lagi aja, gak baik juga kedengeran tetangga, emang kamu gak malu," ucapku menengahi.
"Ajari mereka caranya untuk minta maaf dengan benar, Mas," lirih Salma.
"Kamu menyuruh Ibu meminta maaf sama kamu? Yang ada kamu yang meminta maaf, Sal, Ibu jauh-jauh kesini untuk mencari ketenangan, malah kamu ajak ribut terus," ujarku kepada Salma, biarin, biar dia paham bagaimana caranya menghargai orang tua.
Nampak mata Salma berkaca-kaca, lantas dengan langkah gontai dia berlalu menuju kamar. Namun bukan aku tak peduli, bukan, aku hanya menunjukan sikap yang berusaha adil di antara keluargaku disini. Istriku harus tahu cara bersikap ke orang tua itu seperti apa.
"Bagus, Rama, memang kamu harus tegas sama istrimu, Ibu bangga sama kamu, kamu anak laki-laki Ibu satu-satunya. Siapa lagi yang membela Ibu kalau bukan kamu," ucap Ibu sambil menepuk bahuku.
Benar juga apa yang dikatakan Ibu, memang aku anak lelaki satu-satunya, tugasku ya, menjaga Ibu dan mendidik istri dengan benar agar bisa menghormati Ibu.
"Lebih baik Ibu sekarang istirahat, udah malem, Rama juga mau istirahat, Bu," ucapku lirih kepada Ibu.
"Ntar lah, Ram, ini masih seru nontonnya, lagian cemilan Ibu juga belum habis, kamu kalau mau tidur, tidur aja dulu sana," ucap Ibu merajuk, ah Ibu, mana bisa aku kalau ibu udah manyun begitu.
"Fer, itu anakmu cepetan diajak tidur, udah malem juga kan, gak bagus tidur malem-malem buat Vino," ujarku kepada Fera.
"Vino masih belum mau tidur, Mas, biarin lah yang penting anteng kan, udah aku mau menemani Ibu dulu," ujar Fera lantas duduk dengan Ibu di depan TV.
Nampaknya mereka masih ingin bercengkrama, biarlah, mungkin lagi menikmati malam dengan Ibu. Ah, yang penting mereka bahagia berada disini. Biar sajalah, toh jika mereka ngantuk mereka akan tidur sendiri.
-------------------
Aku bergegas ke kamar ingin merebahkan diri, rasanya sungguh penat sekali ingin segera tidur. Masih ku dengar suara Ibu dan Fera yang bercanda di depan TV. Ingin segera melayang ke alam mimpi, tapi rasanya sulit sekali memejamkan mata.
Kulirik Salma, nampak bahunya sedang berguncang. Ada apa? Kenapa dia belum tidur? Sepertinya dia sedang menangis. Nampak sebelah tangannya memegangi dadanya, menekan, lantas menghembuskan nafas panjangnya. Sepertinya sesak sekali Salma merasakannya. Seketika diri ini diliputi rasa bersalah. Ketika ingin memegang bahunya, menenangkannya, namun egoku menolak. Rasa gengsi menghinggapi, hingga aku urung mendekatinya.
Sebenarnya ada apa, Sal, kalau gara-gara masalah tadi seharusnya kamu lebih baik mengalah saja. Ibu dan Fera adalah keluargaku, seharusnya Salma juga memuliakannya.
Ketika mata ini ingin terpejam, tiba-tiba bayangan masa lalu hadir memenuhi ruang ini. Salma yang waktu itu cantik sekali, banyak laki-laki yang mendekatinya. Namun aku yang paling beruntung karena Salma memilihku.
Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian itu, Salma dengan malu-malu mengatakan kesanggupannya menikah denganku. Ah, seketika aku adalah orang paling bahagia bisa mendapatkan Salma.
"Mas Rama sangat mencintai Ibunya, pasti nanti bisa menghargai istri juga. Pepatah bilang, jika ingin melihat kebaikan laki-laki itu, lihatlah perlakuan dia dengan Ibunya." ujar Salma waktu itu. Lihatlah, dia saja pernah berucap seperti itu.
Harusnya dia senang, bukan, melihat suaminya berbakti kepada Ibunya. Kenapa sekarang malah seakan dia sedih. Kulirik Salma, bahunya sudah tenang. Mungkin dia sudah tidur. Nampak nafasnya juga teratur. Aku akan berusaha mengembalikan kepercayaanmu seperti waktu itu Sal, tenang saja.
Kupejamkan mata ini, berharap esok pagi aku bisa membuka mata ini dengan indah, dengan celotehan riang Salma, Sania juga dengan Ibu. Semoga mereka bisa akur seperti waktu dulu. Dan Salma pun tak akan kerepotan lagi mengerjakan rumah, karena pasti juga dibantu dengan Fera juga Ibu. Ah, bahagianya anak lanangmu ini, Bu.
*********
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 4Oleh : Enik WahyuniMentari sudah menunjukan sinarnya, tampak silau dari arah jendela. Mataku mengerjap beberapa kali untuk menetralkan keadaan, lagi-lagi aku kesiangan dan melewatkan sholat subuh. Kulihat Sania masih tertidur pulas, namun aku tak mendapati Salma di kamar ini. Ah, Salmaku itu pasti sedang berada di dapur.Saat kaki ini melangkah ke ruang tengah, nampak sekali masih sepi. Ku tengok kamar Ibu dan Fera, mereka masih mendengkur dengan halusnya. Entah tidur jam berapa mereka semalam, sehingga sekarang aku masih mendapati mereka tertidur pulas.Mataku memandang sekeliling, mencari Sal
Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik IbukuBab : 5Oleh : Enik Wahyuni"Salma! Minta maaf sama Ibu, sekarang!"Kulihat Salma hanya mencebikan mulutnya, melihat ekspresinya seperti itu jadi makin kesal saja rasanya. Bukannya minta maaf sama Ibu, malah mencelos. Hati nurani kamu dimana Salma, sama orang tua kok gak ada sopan-sopannya."Ada apa sih, Bu," tanya Fera yang ternyata baru bangun. Astaga, jam segini adikku baru bangun, semakin pusing saja rasanya melihat keadaan ini."Mama, Vino laper, Mah," ucap Vino sambil bergelayut di tangan Fera.
Bab : 6Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.Dengan berjalan gontai aku menuju kantin dekat kantor. Makan pun rasanya jadi pahit. Kok pahit sih? Ah, kenapa aku jadi selebai ini? Harusnya aku senang melihat Ibu dan juga Fera bersenang-senang di luaran sana.Ah, aneh lama-lama aku ini, mikir apa sih. "Emang kamu kerja kan buat membahagiakan Ibumu kan, Rama, terus apa yang kamu bingungkan, uang kan masih bisa dicari, semangat lah!" Aku membatin menyemangati diriku sendiri.Tiba-tiba aku teringat Salma, harusnya Salma bantuin aku
Bab : 7POV SALMA"Auuu … sakit, Bu," ucap Fera yang baru pulang. Tiba-tiba jatuh terpeleset saat masuk ke dalam rumah.Setelah melihat statusnya di media sosial yang habis makan mewah di restoran, kini pulang membawa banyak barang belanjaan. Aku yang bingung mengatur uang belanja yang tak seberapa, mereka malah bersenang-senang di luar dengan memakai uang Mas Rama."Yaudah, bangun! Duh, kamu kok bisa jatuh gini sih," ujar Ibu sambil berusaha membangunkan Fera yang terjatuh. Kemudian merapikan barang-barangnya.Aku menahan tawa ketika melihat Fera jatuh karena terpeleset. Lagian, biasa slanang-slonong sih, jadi gak lihat kalau lantai masi
Bab : 8POV SALMA"Fera, bangun Nak, ayo, Ibu obatin dulu, sini Nak," Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat."Hmmm … Ibu, sakit Bu, awas kamu Mbak, ini semua gara-gara kamu, aku aduin nanti sama Mas Rama! Sambil menangis Salma berucap."Biarin aja, Sal, habis ini telpon Mas mu aja, Mas mu harus tau kelakuan istrinya itu." Ibu berujar sembari membersihkan luka di kening Fera.Sudah pastilah aku yang disalahkan, padahal tadi adalah kecelakaan yang dibuat oleh sang Ibu tercin
Bab : 9POV SALMA"Ngelayap terus! jam segini baru pulang. Lihat tuh, Bu, mantu itu memang udah gak menghargai Mas Rama lagi. Suami lagi kerja, eh, ini istrinya pergi pergian terus," repet Fera yang sudah mulai menjadi kompor.Padahal jidatnya lagi diperban. Emang gak kapok apa? Baru sampai rumah udah disambut, perhatian sekali mereka denganku. Jadi terharu rasanya, terharu pengen nimpuk mulutnya Fera."Salma ini memang sudah tak cocok lagi jadi istrinya Mas mu, Fer. Lihatlah, Mas mu itu kerja dari pagi sampai sore malah istrinya kayak gini. Sukanya pergi-pergi terus ngabisin uangnya Mas mu doang. Sepertinya nanti Ibu harus ngomong sama Mas mu kalau uang bulanan Ibu saja yang pegang. Dipegang sama Salma
Bab : 10POV SALMA"Pasti sengaja, iya kan? Udahlah, sekarang aku minta uang buat makan. Salah sendiri tadi gak masak," ujar Fera sembari menadahkan tangannya kepadaku. Sungguh, aku heran, ada ya manusia model begini."Fer, sepertinya kamu harus keluar dulu deh. Aku mau istirahat dulu sama Sania. Lihat tuh, Sania udah ngantuk." ucapku sambil menggiring Fera keluar dari kamarku.Meladeni Fera, lama-lama aku ikutan stres seperti dia. Setelah mengunci kamar, aku langsung merebahkan diri untuk istirahat. Lelah sekali rasanya hari ini. Lebih tepatnya, lelah emosi juga jiwaku.Samar-samar kudengar suara Ibu dan Fera berdebat.
Bab : 11POV RAMA"Fera, jangan mengada-ada kamu. Siapa yang mendorongmu. Kalau gak bisa berkata jujur, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku sudah muak dengan tingkahmu!"Aku terkejut melihat ucapan Salma. Lancang sekali bicara seperti itu sama Fera, tidakkah dia tahu kalau Fera adalah adikku. Lama-lama memang Salma makin tidak waras."Salma, lancang sekali kamu berucap seperti itu. Ini rumah anakku, Rama. Seharusnya kamu yang pergi dari sini, bukan Fera. Dasar menantu ga ada akhlak!" Ibu tak kalah lantang suaranya."Ibu lupa, yang beli rumah ini siapa? Dan atas nama siapa? Tanya saja sama anak kesayangan Ibu itu, pake uang siapa ketika me