Widia baru saja keluar dari rumah, dan dia membawa kue buatannya untuk sahabat baiknya yang bernama Sarah.Wanita itu memang mempunyai hobby bereksperimen dalam hal per-baking-an. Sarah tak hanya sekedar sahabat bagi Widia, kedekatan mereka berdua bahkan lebih dari saudari kandung.
"Kue sudah jadi. Waktunya meluncur ke apartemen Sarah untuk memberikan kejutan kecil ini," ucap Widia semringah. Widia menyetop taxi dan meluncur menuju ke apartemen Sarah yang letaknya tak begitu jauh dari rumahnya. Dua puluh menit kemudian, Widia tiba di tempat tujuan. Usai membayar ongkos taxi sesuai tarif, Widia melangkah dengan hati senang menuju kamar apartemen Sarah. Widia membayangkan bagaimana ekspresi wajah Sarah saat menerima kejutan darinya. Wanita itu paling suka diberi kejutan, khususnya dari Widia. Ting ...! Tong...! Widia menekan bell. Ia harus menunggu lumayan lama sampai akhirnya seseorang muncul membuka pintu kamar apartemen itu. "Wi–Widia ...?" Sarah memasang wajah kaget. Kedua bola matanya berlarian ke sana kemari seperti orang yang sedang ketakutan karena telah menyembunyikan sesuatu. Widia mengamati penampilan Sarah dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dia tampil begitu seksi dengan daster tipis pres body dan make up menor ala biduan. Sedikit aneh, mengingat Sarah biasa tampil tertutup dan mengenakan make up ala kadarnya. "Surpriseeee ...!" Widia menyodorkan kue yang masih tersimpan rapih di dalam box mika. "Ini kue resep terbaru, loh!" "Eh ... i–ya, terima kasih." Sarah pun mengambil kue dari tangan Widia. "Kenapa kamu nggak bilang kalau mau datang ke sini?" tanya Sarah dengan suara lirih. "Loh, kenapa memangnya? Biasanya aku juga 'kan ...." "Honey, siapa yang datang?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari dalam kamar membuat Widia terdiam. Suara itu dirasa sangat familiar di telinganya. Tak lama, seorang pria bertubuh tinggi besar muncul hanya dengan mengenakan selembar handuk sebatas lutut saja. Widia ternganga, dia syok bukan main saat melihat Agam—suaminya— sedang berada di apartemen Sarah. Tiga hari lalu, Agam pamit pergi ke luar kota pada Widia dengan alasan menemani Bosnya dalam urusan bisnis. Tapi ternyata pria itu berbohong, dia ada di apartemen Sarah. Apa keduanya telah berselingkuh? Sejak kapan? Bagaimana Widia bisa tidak tahu? Lutut Widia terasa lemas, dia hampir saja ambruk karena kedua kakinya tak sanggup lagi berdiri. "Widia?" lirih Agam. Dia terpaku melihat sosok istrinya, terlebih wanita itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan penuh benci. "Widia, aku bisa jelaskan semuanya sama kamu!" ucap Sarah panik. "Apa yang mau dijelaskan, heh? Menjelaskan kalau kalian berdua sudah berselingkuh di belakang aku gitu? Dasar wanita murahan!" maki Widia. "Stop, Widia! Sarah bukan wanita yang seperti itu!" bentak Agam. "Hanya wanita murahan yang mau berselingkuh dengan pria yang telah beristri! Terlebih kamu adalah suamiku, teman dekatnya sendiri!" Air mata yang ditahan sejak tadi akhirnya tumpah juga. Bersamaan dengan emosi yang meluap-luap. Sarah ikut menangis di sana. Entah mengapa Widia merasa jijik. Untuk apa dia menangis? Merasa bersalah karena telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga sahabatnya? "Sarah, dengar ini baik-baik. Mulai detik ini juga hubungan persahabatan kita berakhir! Dan kamu, Mas! Aku tunggu kepulanganmu di rumah kita!" Usai mengatakan hal itu, Widia beranjak pergi dari apartemen Sarah. *** Ketika tiba di rumahnya, Widia mengamuk sambil menangis meraung-raung seperti orang gila. Vas bunga, guci keramik, bahkan tv lcd dihancurkannya secara membabi buta. Dia juga membanting frame berisi foto pernikahannya dengan Agam. Widia tidak menyangka rumah tangga yang telah dibina selama tujuh tahun akan berakhir seperti ini. Agam pria baik, perhatian, dan lembut, tapi ternyata di balik kesempurnaannya itu ada kelakuan bejat yang dia tutupi. "Aaaaaa ...!" Widia berteriak sekeras-kerasnya. Dia menjambak rambut panjangnya dan membenturkan kepalanya sendiri ke tembok. Agam yang baru saja tiba terkejut dan langsung menghambur memeluk tubuh istrinya erat. Lelaki itu mencoba untuk menenangkan istrinya. "Widia, tenanglah Widia!" ucap Agam cemas. Widia berontak, dia mendorong tubuh suaminya menjauh dan menampar kedua pipi pria itu secara bergantian. "Berengs*k kamu, Mas!" Plak! Plak! Bunyinya begitu nyaring dan renyah di telinga. Agam meringis kesakitan, baru kali ini dia mendapatkan perlakuan kasar dan tidak baik dari istrinya sendiri. "Sejak kapan kamu berselingkuh dengan Sarah, Mas?!" tanya Widia sambil terus menangis tergugu. "Kami ... kami nggak berselingkuh." "Nggak berselingkuh kata kamu? Lalu yang barusan aku lihat itu apa, hah?!" sergah Widia dengan sorot nyalang. Air mata berderaian membasahi wajah cantiknya. "Widia, maafkan aku. Harusnya aku mengatakan hal ini sejak lama padamu tapi aku takut. Aku takut kamu tidak bisa menerima dan pergi meninggalkan aku. Sebenarnya aku dan Sarah sudah menikah secara siri sejak enam bulan lalu," jawab Agam jujur. Duar! Bagaikan petir di siang bolong, pengakuan Agam sangat mengagetkan Widia. Tak hanya membuat kaget, tapi juga hampir membuat jantung Widia berhenti, hingga ia merasa kesulitan untuk bernapas. Jadi selama ini Widia telah dimadu oleh suaminya, dan madunya itu adalah sahabat baiknya sendiri. Kepala Widia mendadak diserang rasa pusing, pandangan matanya kabur, kemudian dia jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Bersambung....Cahaya mentari menerobos masuk lewat celah jendela kamar. Silaunya membuat ketenangan mata Widia yang tertutup jadi terusik. "Aduh, kepalaku sakit ...," keluh Widia sambil membuka mata dengan perlahan. Dia memperhatikan lingkungan sekitar sejenak dan tersadar kalau dirinya kini sedang berada di dalam kamar sebuah rumah sakit. Semalam Widia pingsan, suhu tubuhnya turun dan membuat Agam panik. Agam segera membawa Widia ke rumah sakit terdekat karena tidak mau terjadi apa-apa pada istri pertamanya itu. Agam sangat mencintai Widia, dia menikahi Sarah karena terpaksa atas desakan ibunya yang ingin segera memiliki cucu. Akan tetapi, pada akhirnya Agam jatuh hati juga pada Sarah, wanita kalem yang ternyata pandai menarik hati Agam dengan servis plus-plus-nya. "Akhirnya kamu bangun juga," ucap seseorang yang berjalan masuk ruangan menghampiri Widia. Meski lemah, Widia mencoba untuk bangkit dan duduk di atas ranjang saat melihat sosok ibu mertuanya datang. "Bu," lirih Widia menyapa.
Keesokan harinya, Widia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Agam langsung mengantarnya ke rumah orang tua Widia. Sepanjang perjalanan wanita itu terus menutup mulutnya. Pandangan matanya kosong dan tangannya sibuk meremas-remas ujung dress yang dia kenakan. Agam sedikit cemas, wanita itu pasti akan mengadu kepada orang tuanya tentang hubungan Agam dengan Sarah. Sudah pasti ayah dan ibu Widia akan mengamuk dan meminta Agam untuk menceraikan Widia. "Kamu mau menginap berapa hari di rumah Ibu?" tanya Agam memecah kesunyian. "Aku nggak tahu. Mungkin selamanya," sahut Widia sekenanya. "Aku nggak ngizinin kamu menetap di rumah ibu selamanya. Aku butuh kamu!" protes Agam. "Bukankah Mas sudah punya Sarah? Dia sedang hamil muda sekarang. Mas harus selalu ada untuknya," imbuh Widia sebal. "Apa ibuku yang memberitahumu soal itu?" tebak Agam tepat sasaran. "Iya." Widia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia mencoba menyembunyikan air mata yang hendak menetes dari Agam. "Widia
Cafe DMD, pukul 10.00 pagi. Widia melihat ke segala penjuru cafe, mencari keberadaan Sarah, mantan sahabatnya. Rupanya wanita cantik itu sudah berada di sana, sedang duduk manis di kursi paling belakang dekat jendela sambil melamun. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya, yang jelas Widia tak lagi menaruh kepercayaan dan simpati terhadapnya. Widia menghampiri Sarah, dia menarik kursi dan duduk menghadap wanita berambut panjang itu. Sarah melempar senyum kecil, dia memasang wajah ramah seolah-olah tidak ada masalah dalam hubungan persahabatan mereka. "Hal apa yang mau kamu bicarakan denganku?" tanya Widia terus terang. "Aku mau minta maaf sama kamu. Aku harap hubungan persahabatan kita bisa kembali baik seperti dulu," ucap Sarah. "Aku sudah memaafkan kamu. Dalam kasus ini, suamiku yang paling bersalah. Tapi jangan harap hubungan kita bisa kembali harmonis seperti dulu," tegas Widia. Sarah menggigit ujung bibirnya, dia menangis tanpa suara. Jelas sekali ada penyesalan yang
Rini memperhatikan Widia yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Dia nampak serius memotong sayur dan bahan makanan lainnya. Rasa iba muncul di hati Rini pada Widia, baru saja berumur dua puluh delapan tahun sudah mau jadi janda. Padahal, teman-temannya yang lain sudah memiliki anak dua atau bahkan tiga. Nasib orang memang tidak ada yang tahu, dan segala hal yang terjadi pada mahluk hidup di muka bumi ini sudah ada yang mengaturnya. Sebagai manusia, kita hanya bisa menjalaninya serta menerima dengan lapang dada. Tak terasa air mata Rini jatuh membasahi pipi, dia segera menyekanya sebelum Widia melihatnya menangis. "Mau Ibu bantu nggak, Wid?" tanya Rini sambil berjalan menghampiri putrinya. "Mau Bu, biar cepat selesai," sahut Widia. "Mau masak apa hari ini?" "Sup ayam, tahu goreng dan sambal tomat," "Di kulkas ada ikan bawal, kenapa nggak sekalian dimasak?" "Nggak Bu, Widia kesal kalo lihat ikan bawal. Jadi ingat sama Mas Agam Bu," ujar Widia. Karena memang Ag
Hari yang paling ditunggu oleh Widia tiba, hari dimana dia resmi menyandang gelar seorang janda. Proses perceraian keduanya berjalan lancar tanpa hambatan apapun. Widia juga tidak menuntut harta gono-gini pada mantan suaminya untuk menghindari gesekan dengan Sarah dimasa depan. Berita tentang perceraian Widia dan Agam tersebar, tetangga rumah Widia syok saat mendengarnya. Selama ini rumah tangga Widia terlihat adem ayem tanpa gosip miring dan isu buruk lainnya walaupun Widia belum punya anak setelah sekian lama menikah. "Nggak nyangka ya Bu, Widia bakal cerai sama suaminya," ucap salah seorang tetangga yang sedang belanja sayur pada penjual sayur keliling. Kebetulan penjual sayur itu biasa mangkal di depan gerbang rumah Widia. "Wajar sih Bu mereka berdua cerai, jarang sekali ada suami mau menerima istri mandul," sambung ibu-ibu yang lain. "Jadi Widia mandul?" si tukang sayur melongo tak percaya. "Sepertinya begitu Bang," sahut dua ibu-ibu tukang gosip itu kompak. Sayup-sayu
Empat bulan kemudian.... Hari-hari yang Widia lalui tanpa Agam sungguh terasa berat. Semua kenangan manis yang pernah mereka lalui bersama terkadang masih melintas dalam ingatannya. Ternyata mencoba untuk segera move on itu tidak semudah membalikan telapak tangan, jerat rindu terasa sangat menyiksa jiwa dan raga. Sudah waktunya bagi Widia mencari aktifitas lain di luar rumah. Hari itu Widia memutuskan untuk pergi ke restoran milik temannya bernama Varo untuk mencari pekerjaan di sana. Hubungannya dengan Vina memang tidak begitu dekat, tapi Widia tau Varo adalah teman yang bisa diandalkan. Restoran Pesona Alam lumayan ramai siang itu. Wajar saja, Widia datang pas dengan jam makan siang. Widia mematung sejenak mencari keberadaan Vana diantara beberapa pegawai berseragam pink, beberapa menit kemudian akhirnya Widia bisa menemukan sosok pria bertubuh tinggi kurus itu. "Varo....!" panggil Widia sambil melambaikan tangan kanannya. Varo menoleh ke arah Widia, kemudian melempar senyum.
Widia menyambut paginya dengan ceria dan penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, dia harus melakukan segalanya dengan baik dan sempurna agar tidak mengecewakan teman sekaligus Bosnya. Awalnya Widia mengira berdiri selama tiga belas jam di dapur tidak akan menjadi masalah, tapi yang terjadi baru saja tiga jam berdiri kaki Widia terasa pegal dan kesemutan. Ini bukan faktor usia, tapi memang Widia tidak pernah berdiri dalam waktu lama. Sesekali Widia mengayun-ayunkan kan kakinya ke kanan dan ke kiri secara bergantian agar peredaran darahnya lancarnya. Dia terlihat seperti anak katak yang sedang belajar menari dan memancing tawa orang di sekitarnya. "Sepertinya kamu nggak biasa kerja keras," celetuk pria berseragam koki yang berdiri tak jauh dari widia. Dia berusaha menahan senyum karena ulah lucu Widia sambil membolak balik sayuran yang sedang dimasaknya di atas wajan. "Aku biasa kerja keras kok, hanya saja aku sudah lama nggak melakukannya," Widia meringis. "Oh
Pulang kerja, Widia merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Dia menutup matanya sebentar sambil menikmati sensasi pegal libu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Susahnya cari uang, tapi lebih susah lagi kalau tidak punya uang. Pikiran Widia teringat pada omongan teman kerjanya tadi, nampak jelas kalau dia merasa iri dan dengki pada Widia. Padahal, Widia tidak melakukan apapun yang merugikan orang lain selama bekerja di sana. Sepertinya Widia harus banyak bersabar, dia juga tidak bisa memuaskan semua orang untuk suka padanya bukan? Merasa cukup beristirahat, Widia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia berganti pakaian, menunaikan solat isya lalu pergi ke dapur untuk mencari camilan. Widia sudah makan di tempat kerja, tapi saat ini mulutnya ingin ngemil makanan manis-manis. "Belum tidur Nak?" Rini muncul sambil menenteng gelas kosong. "Belum, aku lapar pengen ngemil," sahut Widia. "Di kulkas ada biskuit, Ibu baru beli tadi," "Kok Ibu belum tidur?" tanya Wid