Pulang kerja, Widia merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Dia menutup matanya sebentar sambil menikmati sensasi pegal libu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Susahnya cari uang, tapi lebih susah lagi kalau tidak punya uang. Pikiran Widia teringat pada omongan teman kerjanya tadi, nampak jelas kalau dia merasa iri dan dengki pada Widia. Padahal, Widia tidak melakukan apapun yang merugikan orang lain selama bekerja di sana. Sepertinya Widia harus banyak bersabar, dia juga tidak bisa memuaskan semua orang untuk suka padanya bukan? Merasa cukup beristirahat, Widia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia berganti pakaian, menunaikan solat isya lalu pergi ke dapur untuk mencari camilan. Widia sudah makan di tempat kerja, tapi saat ini mulutnya ingin ngemil makanan manis-manis. "Belum tidur Nak?" Rini muncul sambil menenteng gelas kosong. "Belum, aku lapar pengen ngemil," sahut Widia. "Di kulkas ada biskuit, Ibu baru beli tadi," "Kok Ibu belum tidur?" tanya Wid
Ting .... Tong .... Bel berdering, Widia meninggalkan dapur untuk membuka pintu dan melihat siapa tamu yang datang. Alangkah terkejutnya Widia saat tau yang datang adalah Dokter Dion. 'Dari mana dia tau alamat rumahku? Mau apa dia datang kemari?' batin Widia. "Hallo, Wid. Kita bertemu lagi," Dion menyunggingkan senyum kecil. "Pak Dokter tau rumahku dari mana?" "Dari Bapakku lah, aku kesini mau ambil kacamata punya Bapak yang ketinggalan," sahut Dion sambil tersenyum tipis. "Bapak? Oh ..... Jadi Pak Dokter ini anaknya ...." "Iya, betul sekali. Pangling ya sama aku?" Widia memperhatikan Dion dari ujung kepala sampai ujung kaki, Dion yang dulu berbeda sekali dengan Dion yang sekarang. Wajar jika Widia tidak mengenali Dion, pria itu berubah begitu banyak. Ibarat kata, dulu Dion seperti burung hantu, sekarang berubah jadi burung merpati. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?" Dion memperhatikan tampilannya sendiri. "Ah, nggak kok, nggak a
Widia bersiap melakukan pekerjaannya dengan baik, dia sangat berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin. Selesai melakukan pekerjaannya, Widia mendekati koki yang biasa dipanggil Om Oby untuk membantunya menyiapkan bahan makanan. Widia harus memiliki teman dekat agar aman dan tidak ada yang mengganggunya tempat kerja, dia harus mulai dengan mendekati orang yang paling berpengaruh di tempat itu dulu yaitu si koki. "Siapa pria yang mengantarmu tadi? Pacar kah?" tanya Oby sambil menyunggingkan senyum. "Bukan Om, dia temanku," sahut Widia. "Yakin hanya teman? Dia menatapmu dengan mata berbinar, sepertinya dia naksir kamu," goda Oby. "Om pengalaman sekali, dari mana Om belajar menilai orang dalam sekali pandang?" Widia berkerut dahi. "Waktu akan mengajarimu banyak hal, aku nggak belajar dari siapa-siapa. Biasanya pria kalau naksir cewek pasti tatapan matanya begitu," "Dia memang naksir sama aku Om, tapi aku belum siap buat memulai hubungan baru. Aku
Widia tiba di kantor milik mantan suaminya, dua temannya yang lain langsung kembali ke cafe dan memasrahkan urusan makanan pada Widia. Widia sedikit kikuk, terlebih saat tau yang keluar untuk menemuinya adalah Agam. "Widia, apa kabar? Lama nggak ketemu, kamu jadi semakin cantik," Agam memperhatikan mantan istrinya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Widia jadi sedikit kurus, entah karena diet atau karena beban pikiran. Wajah Widia yang dulu kusam kini jadi glowing dan merona. Kenapa wanita jika sudah menjadi janda terlihat semakin cantik? "Kabarku baik, terimakasih atas pujiannya," "Tapi sayang, cantik-cantik begitu kerja jadi pegawai cafe. Masih enak waktu jadi istriku bukan?" sindir Agam. "Ha .... Ha .... Ha .... Aku lebih suka bekerja sebagai pegawai cafe daripada jadi istrimu Mas. Makan hati!" "Pedas sekali mulutmu!" "Maaf, tapi aku bermulut pedas hanya saat mengobrol denganmu Mas. Ini makanan pesanan kantormu, aku sisa pembayarannya harap segera ditransfer. Aku pami
Hidup Sarah mulai terasa hampa karena kehilangan sahabat baiknya Widia. Biasanya tiap week end mereka akan menghabiskan waktu bersama, sekedar untuk jalan-jalan santai atau nonton film. Kali ini dia harus melakukannya sendiri, terlebih suaminya juga tidak mau menemani. Perut sudah semakin besar, harusnya Agam makin perhatian. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Agam jadi cuek dan dingin. Bahkan hanya sekedar mengelus pun Sarah harus memintanya, kalau pun mau Agam melakukannya dengan malas seperti terpaksa. Apakah itu karena Agam belum bisa move on dari Widia? Agam sendiri yang menyetujui ajakan Widia untuk bercerai, tapi setelahnya dia nampak sangat menyesal. Sarah cemburu, bahkan saat Widia kecewa dan tidak menginginkan Agam lagi pria itu masih saja mencintainya. "Berhenti merokok, ada Ibu hamil dirumah ini!" Sarah mengambil sebatang rokok di mulut Agam yang baru saja dinyalakan. "Kamu cerewet sekali!" keluh Agam lirih. "Aku cerewet untuk kesehatanmu, untuk kesehatan anak ki
Widia baru saja selesai mengantar pesanan kue dari sahabatnya, pekerjaan sambilan yang akan terus dia kerjakan karena hobi. Dalam perjalanan pulang ke rumah, dia mampir ke rumah makan padang untuk membeli tiga bungkus makanan enak khas Nusantara itu. Widia memarkir sepeda motornya, mencopot helm dan bersiap masuk ke dalam rumah makan. Tiba-tiba saja Agam muncul, dia menahan langkah kaki Widia dengan menarik tangannya. Widia yang panik langsung berontak, tapi cengkraman Agam begitu kuat hingga tidak bisa di lepaskan. "Mas, lepaskan aku!" bentak Widia. Dia berusaha berontak tapi tenaga Agam jauh lebih besar darinya. "Nggak, aku mau kita bicara," ucap Agam. "Mau bicara soal apa Mas? Sampai-sampai Mas perlu mencengkram lenganku sekuat ini? Tolong lepaskan aku Mas!" Widia terus berontak dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Agam. "Berjanjilah dulu, kamu nggak akan kabur sebelum aku selesai bicara," "Iya, aku janji nggak akan kabur," Agam melepaskan cengkraman tangannya, Wi
Malam telah larut, Dion masih saja tidak bisa tidur, dia terus membayangkan kejadian tadi siang saat dirinya mencium pipi Widia. Janda cantik itu terpaku, wajahnya memerah karena malu. Banyak pengunjung yang melihat kejadian tadi, wajar saja kalau Widia merasa malu. Saat cemburu, seorang pria bisa melakukan hal gila. Tapi Dion tak menyangka dirinya akan segila itu, mencium seorang janda ditempat umum. Beruntung Widia mau memaafkannya, tapi mungkin mulai detik ini dia akan menjaga jarak dengan Dion. "Sebaiknya besok aku datang saja ke sana dan melamarnya, takut keduluan mantan suaminya datang minta rujuk," ucap Dion. Dion mengambil ponselnya, dia mengirim pesan singkat pada Widia. "Besok malam, aku akan datang ke rumahmu bersama dengan Ayahku. Aku mau melamar mu," tulis Dion di ponsel dan mengirimkannya pada nomor wisuda. Tring... Bunyi pesan masuk di ponsel Widia. Widia yang sudah bersiap pergi tidur langsung bangun dan memeriksa ponselnya. "Hah? Dion besok mau kesini unt
Malam itu, Widia tampil cantik dengan mengenakan baju kurung khas Melayu dan make up sedikit menor. Jangankan orang tuanya, Varo, dan Celine pangling dengan penampilan Widia saat itu. Bisa dipastikan Dion dan Ayahnya akan pangling juga."Alhamdulillah, anak ibu cepat dapat calon suami. Mudah mudahan sama yang ini bisa langgeng sampai tua ya," Rini menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipi. Rasa sedih bercampur haru menyelimuti hati wanita paruh baya itu.Tak hanya Rini, Akbar juga ikut menahan haru. Pasalnya dia dan Juned yang memiliki rencana menjodohkan Dion dengan Widia. Baru mau lamaran saja sudah begini apa lagi menikah nanti? Mungkin Akbar akan menangis sesenggukan.Rini dan Akbar telah membesarkan Widia dari bayi hingga dewasa, mereka tak rela anaknya disakiti oleh pria manapun. Siang malam mereka berdoa semoga Widia diberi pengganti yang jauh lebih baik dari Agam dan Tuhan malah memberinya lebih. Dion, bujang tampan, pintar, baik dan juga seorang dokter tajir.Ingin rasany
Junaidi datang berkunjung ke rumah besannya, dia membawa banyak makanan dan beberapa suplemen yang di perlukan oleh Ibu hamil. Junaidi adalah seorang dokter spog.k.feir. Dokter yang memeriksa Agam dan menemukan fakta kalau pria itu mandul, dan tidak ada yang tau termasuk Milla.Junaidi senang melihat Dion terlihat lebih hidup dari sebelumnya, dia ceria dan bersemangat. Disekitarnya di kelilingi oleh aura positif. Dalam hati, Junaidi berdoa semoga hubungan rumah tangga Dion dan istrinya akan langgeng dan berjalan mulus seperti jalan tol.Saat itu week end, Dion memanfaatkan waktunya untuk membantu Widia mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti mencuci, menyapu, bahkan memasak. Dia berjanji akan terus melakukan itu pada Widia hingga dia tua dan tidak bisa melakukan aktifitas lagi.Widia menyuguhkan secangkir teh hangat dan makanan ringan, mertua dan Ayahnya nampak sibuk bercakap-cakap."Kira-kira besok anaknya cowok atau cewek ya," ucap Akbar."Cowok cewek tidak apa lah, yang penting kan se
Dion mengantar Widia dan Surti ke toko, setelah itu dia pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Hari pertama buka pasti belum banyak pelanggan berdatangan, Widia merasa cukup walau hanya memperkerjakan satu orang saja.Semua pakaian yang Widia beli sudah tergantung rapih di rak display, Dion yang mengurusnya kemarin bersama dengan beberapa temannya. Pria itu tidak memperbolehkan Widia bekerja terlalu keras karena takut mengganggu kehamilannya."Kamu sapu lantai lalu pel, yang kering ya, biar nggak licin," perintah Sarah pada Surti."Siap Mbak,"Surti gadis muda yang polos, baru lulus SMA beberapa minggu lalu. Dalam keseharian dia terlihat kalem, penurut sekali pada orangtuanya. Sekali tatap Widia bisa tau kalau Surti gadis yang jujur.Beberapa jam terlewati, mulai ada pelanggan baru berdatangan. Widia dan Surti melayani dengan ramah, sepenuh hati. Tentunya agar mereka tidak kapok dan mau berkunjung untuk belanja kembali.Pundi-pundi uang mulai masuk ke dalam laci meja, Widia mengelus peru
"Aku hamil Mas," ucap Widia sambil meraih tas kerja Dion dari tangannya.Dion sempat kehilangan fokus beberapa detik, sebelum akhirnya dia sadar dengan apa yang istrinya katakan. Widia hamil, sebentar lagi dia akan menjadi seorang Ayah.Dion tak menyangka Tuhan akan memberikan anugerah secepat itu, karena dia dan istrinya baru melakukan hubungan beberapa kali. Usia pernikahan mereka pun belum genap satu bulan.Dion memeluk Widia erat, mencium keningnya sambil menitihkan air mata. Dia terharu, karena dua impiannya terwujud dengan cepat. Pertama, menikah dengan Widia. Kedua, memilik seorang anak dari Widia."Mungkin karena ini kamu jadi sensitif dan cemburuan padaku," Dion melonggarkan pelukannya. dia mengangkat wajah dan menatap istrinya dengan senyum manis."Tapi aku belum siap hamil,""Apa yang membuatmu tidak siap?""Kata orang, melahirkan itu sakit. Taruhannya nyawa, aku takut,""Jangan takut, tubuh wanita sudah dirancang demikian rupa oleh Tuhan agar kuat menerima rasa sakit saat
Akbar baru saja selesai menyiram tanaman, dia melihat Widia kembali sambil menenteng saru plastik buah potong. Ada buah mangga, belimbing, juga buah kedondong. Hampir semua buah yang dia bawa berasa asam, padahal sebelumnya Widia tidak suka makanan yang berasa asam.Melihat perubahan dalam diri Widia, Akbar langsung memiliki filling kalau anak perempuannya mungkin sedang ngidam. Dia segera menyusul Widia ke dapur, wanita itu tengah bersiap untuk membuat bumbu rujak sendiri."Kenapa tadi tidak beli bumbu rujak yang sudah jadi saja Wid?" tanya Akbar."Lebih enak buat sendiri Yah, lebih banyak pula sambalnya,""Tumben sekali kamu pengen makan rujak, lagi ngidam ya?""Ngidam? Ah, enggak kok. Widia lagi kepengen saja,""Kamu sudah telat datang bulan belum?""Idih, Ayah. Apaan si! Timbang kepingin makan rujak saja jadi heboh,""Ya.... Siapa tau gitu kamu lagi ngidam. He.... He....He...."Widia terdiam sejenak, dia mencoba mengingat kapan hari terakhir dia mendapatkan datang bulan. Sepertiny
Widia mengatur janji temu dengan Dion saat jam makan siang di halaman rumah sakit. Dia hendak mengantar makan siang buatannya untuk Suami tercinta.Widia datang sedikit terlambat karena jalanan sedikit macet. Dia melihat Dion sedang duduk di sebuah kursi di temani oleh seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Inggrid temannya."Lama ya," ucap Widia sambil melempar wajah datar. Dion langsung tau kalau istrinya tidak suka dirinya dekat dengan Inggrid, dia pun segera menjaga jarak."Ah, tidak kok. Mau temani aku makan siang?""Tidak perlu, aku sudah kenyang. Lebih baik sekarang Mas kembali ke ruang istirahat dokter saja, nanti jam makan siangnya keburu habis,""Oke."Widia mengulurkan kotak makannya pada Dion, kemudian mengalihkan pandangan matanya pada inggris."Bisa kita bicara sebentar Nona Inggrid? Aku mau membahas tentang toko yang aku sewa darimu," ucap Widia."Bisa, aku ada waktu luang kok," sahut Inggrid.Sebenarnya dion ingin ikut nimbrung dengan obrolan itu, tapi dia takut Widia
Roda kehidupan benar-benar berputar. Dulu Agam sangat menyepelekan Widia, kini wanita itu bisa mandiri membuka usaha sendiri tentunya dibantu oleh dukungan sang suami. Tak hanya soal ekonomi, cerita cinta Widia dan sang suami terlihat sangat mulus seperti jalan tol.Agam memandangi mantan istrinya dari jauh, dia sedang asyik makan bersama dengan Dion sang suami. saat ini Agam sedang berada di sebuah rumah makan untuk membeli lauk kesukaan Ibunya.Ada sedikit rasa nyeri di hati Agam melihat mantan istrinya hidup damai dan bahagia. Kenapa Widia bisa mengalami hal-hal baik? Sementara Agam selalu apes dalam segala hal. Perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, dia di pecat dan jadi pengangguran. Ibunya sakit parah, istrinya berselingkuh dan putra semata wayangnya ternyata adalah anak dari pria lain."Karmaku benar-benar di bayar dengan tunai," lirih Agam dengan mata berkaca-kaca.Selesai makan, Dion pamit pergi ke rumah sakit untuk kembali bekerja. Sementara Widia masih asyik menyantap makan
Malam hari, Widia mengajak Dion menjenguk mantan mertuanya. Mereka hanya berdiri di depan sebuah pintu kaca dan tidak berani masuk karena takut mengganggu acara pertengkaran keluarga di dalam sana. Samar-samar Widya mendengar kalau Agam di pecat dari kantor, dia jatuh miskin dan istrinya meminta cerai. Mungkin karena stres memikirkan masalah itu Ibu Renata jadi jatuh sakit. "Bagaimana ini? Apa kita balik saja ke rumah?" "Tanggung Mas, sudah sampai sini masa nggak masuk sih?" "Mas nggak enak, mereka sedang bertengkar," Widia dan Dion ikut-ikutan ribut, mereka beradu pendapat hingga tidak sadar pintu kamar telah terbuka dan ada sesosok pria berdiri di sana memperhatikan mereka berdua. "Widia," panggil Agam. "Eh, Mas Agam," Widia meringis. "Kapan datang?" "Baru saja. Kami kesini mau jenguk Ibu, boleh?" "Tentu saja boleh, silahkan masuk," Widia dan Dion masuk ke kamar rawat, Sarah langsung keluar kamar tanpa bicara dengan mata sembab. Dia bahkan tidak menyapa Widia apa lagi mel
Selesai sarapan, Widia mengutarakan niatnya untuk membuka usaha sendiri. Dia ingin membuka toko pakaian khusus anak-anak dari 0 sampai tujuh tahun. Dia juga berterus terang belum memiliki modal untuk mewujudkan impian kecilnya itu. Tak disangka, Dion mau mendukung keinginan Widia. Dia juga siap memberikan widia modal usaha berapapun jumlah uangnya. Widia melompat kegirangan, dia memeluk Dion dan menghujaninya dengan ciuman di pipi. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Dion selain melihat senyum dan mata berbinar istrinya saat sedang bersamanya. Oleh karena itu Dion akan melakukan apapun asal Widia bisa bahagia. Dion memutuskan untuk segera membawa Widia melihat ruko kosong milik temannya yang ada di dekat rumah sakit tempat Dion bekerja. Widia terus menebar senyum dengan tindakan Dion yang cepat. Jarang sekali ada pria yang seperti Dion, Widia benar-benar beruntung bisa menikahinya. "Kalau sudah dapat tempat buat jualan, temani aku mencari seller pakaian anak-anak yang harganya
Dion menyalakan laptop, dia memutar film kesukaannya dan mengajak Widia untuk nonton bersama. Dengan penuh semangat, Widia mempersiapkan segalanya. Minuman manis, aneka camilan, untuk mendukung kenyamanan saat menonton film bersama suaminya. Sebenarnya Widia kurang suka menonton film action, tapi melihat pemeran utamanya adalah aktor favoritnya makan semngat Widia untuk menonton jadi berkobar. "Matikan lampu kamarnya ya," "Kok dimatikan Mas? Apa matanya nggak sakit nonton film gelap-gelapan?" "Udah, matiin aja. Biar lebih seru kaya di bioskop," "Ya udah, aku matikan lampunya," Widia mematikan lampu kamar, seketika ruangan jadi gelap. Penerangan hanya bersumber dari cahaya laptop yang menyala saja. Setengah jam berlalu, adegan demi adegan menegangkan terlewati. Tibalah adegan dewasa muncul yang membuat hati Widia ketar ketir, sekarang Widia tau kenapa Dion memintanya untuk mematikan lampu, pasti karena ingin lebih menikmati adegan ini. "Wid," Dion berbisik di telinga is