Empat bulan kemudian....
Hari-hari yang Widia lalui tanpa Agam sungguh terasa berat. Semua kenangan manis yang pernah mereka lalui bersama terkadang masih melintas dalam ingatannya. Ternyata mencoba untuk segera move on itu tidak semudah membalikan telapak tangan, jerat rindu terasa sangat menyiksa jiwa dan raga. Sudah waktunya bagi Widia mencari aktifitas lain di luar rumah. Hari itu Widia memutuskan untuk pergi ke restoran milik temannya bernama Varo untuk mencari pekerjaan di sana. Hubungannya dengan Vina memang tidak begitu dekat, tapi Widia tau Varo adalah teman yang bisa diandalkan. Restoran Pesona Alam lumayan ramai siang itu. Wajar saja, Widia datang pas dengan jam makan siang. Widia mematung sejenak mencari keberadaan Vana diantara beberapa pegawai berseragam pink, beberapa menit kemudian akhirnya Widia bisa menemukan sosok pria bertubuh tinggi kurus itu. "Varo....!" panggil Widia sambil melambaikan tangan kanannya. Varo menoleh ke arah Widia, kemudian melempar senyum. "Widia, tumben mampir ke sini?" Varo berjalan pelan menghampiri Widia. "Iya nih, aku mau ada perlu sama kamu. Bisa ngobrol sebentar nggak?" tanya Widia. "Bisa, ayo kita cari tempat duduk yang nyaman," Varo mengajak Widia ke ruang pribadinya yang ada di dalam restoran itu. Selesai basa-basi, Widia menceritakan tentang kehidupannya saat ini. Dia baru saja bercerai dengan suaminya dan Widia sedang membutuhkan pekerjaan. Awalnya Varo iba saat tau Widia dan suaminya bercerai, tapi begitu mendengar nama Sarah disebut Varo tak hanya iba saja tapi juga syok berat. Bagaimana tidak syok? Sarah, Varo dan Widia telah berteman baik sejak masih duduk di bangku sekolah. Varo mengenal Sarah sebagai gadis yang ramah, kalem dan lembut. Dia tak menyangka kalau gadis seperti Sarah bisa menjadi seorang pelakor. "Yang sabar ya Wid, anggap saja jodohmu dengan Agam memang hanya sampai sini," tutur Varo. "Iya, terimakasih atas masukannya. Ngomong-ngomong bisa nggak kamu menerima satu karyawan lagi? Aku sedang butuh pekerjaan," ucap Widia memelas. "Kerja di dapur mau nggak? Bantu-bantu cuci peralatan masak dan makan yang kotor," tawar Varo. "Mau dong, yang penting kan di bayar pakai uang bukan daun," canda Widia. "Kalau begitu kamu bisa kerja mulai besok. Masuk mulai jam sembilan pagi, pulang jam sepuluh malam. Libur dua kali sebulan, gaji tiga juta," "Terimakasih atas bantuannya ya Var, aku akan bekerja dengan rajin dan giat untuk restoran ini," "Iya, sama-sama. Tetap semangat Widia, aku yakin setelah badai ini akan ada pelangi yang indah dalam hidup kamu." Varo menepuk-nepuk pundak Widia pelan. Urusan Widia dan Varo selesai, Widia langsung pamit pulang ke rumah. Saat pergi tadi ibunya sedang pergi keluar rumah, saat ini wanita tua itu pasti sedang mencari keberadaanya. Widia menjalankan sepeda motornya, dia mengukur jalan raya dengan kecepatan sedang. Hatinya saat ini sedang senang karena mendapatkan pekerjaan, walaupun bukan kerja kantoran. Tapi setidaknya Widia punya penghasilan sendiri dan tidak menyusahkan hidup kedua orangtuanya lagi. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, Widia tiba di rumahnya. Dia mendapati sebuah mobil mewah berwarna hitam terparkir di halaman rumahnya. Mobil siapa itu? Sepertinya Widia belum pernah lihat mobil itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum...." Widia mengucap salam. "Wa'alaikum salam," sahut dua orang pria kompak. Dia adalah Ayah Widia dan seorang temannya yang kebetulan Widia juga kenal. "Om Jun?" ujar Widia. "Kamu masih ingat sama Om?" tanya pria tua berpenampilan nyentrik itu. "Masih dong Om, dulu kan kita pernah jadi tetangga sebelum kami pindah rumah," Widia meringis. "Syukur deh kalau masih ingat. Bagaimana kabarmu Nak?" "Baik, Om. Kabar Om dan keluarga bagaimana?" "Baik, juga alhamdulliah." Juned manggut-manggut. "Nak, bantu Ibumu buat makanan di dapur," Akbar menyela obrolan Juned dan Widia. "Oke, Ayah." Widia mengacungkan kedua jempol tangannya ke atas tanda setuju. Widia berjalan menuju dapur, dua pria tua itu kembali melanjutkan pembicaraan rahasia mereka. Entah apa yang menjadi topik obrolan mereka, tapi wajah mereka nampak sangat serius. Grep.... Widia memeluk tubuh ibunya dari belakang, bau pewangi pakaian tercium lembut di hidung mancungnya. Widia sudah tidak sabar ingin membagi berita bahagia pada sang ibu. "Dari mana saja kamu?" tanya Rini dengan nada setengah sewot. "Dari restoran punya Varo Bu, ngelamar kerjaan," sahut Widia. "Terus keterima nggak?" Rini penasaran. "Alhamdulilah keterima Bu, besok Widia sudah mulai kerja." Sahut Widia sambil melompat-lompat kecil. "Oh.... Iya? Ibu ikut senang buat kamu. Kerjanya yang rajin ya, ingat nabung buat masa depan kamu!" pesan Rini. "Iya, Bu. Ngomong-ngomong, Om Juned tumben main ke sini Bu? Ada acara apa?" tanya Widia. Dia penasaran karena setelah sepuluh tahun mereka pindah ke rumah ini, Om Juned baru datang berkunjung. "Nggak ada acara apa-apa kok, cuma mau silaturahmi saja," Rini menyunggingkan senyum lebar. Senyum yang membuat Widia menaruh sedikit curiga, karena tidak biasanya ibunya senyum selebar itu. "Tapi kok Ibu kelihatannya senang begitu sih Bu?" Widia menaikan alisnya sebelah. "Jangan banyak bicara, mending kamu bantu Ibu masak buat makan malam. Ibu mau ajak Om Juned makan bersama kita nanti," perintah Rini. Jelas sekali wanita itu sedang mengalihkan topik pembicaraan. "Iya, Bu," sahut Widia patuh. Dia malas untuk bertanya lagi walaupun hatinya masih dirundung rasa penasaran yang cukup besar. Bersambung....Widia menyambut paginya dengan ceria dan penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, dia harus melakukan segalanya dengan baik dan sempurna agar tidak mengecewakan teman sekaligus Bosnya. Awalnya Widia mengira berdiri selama tiga belas jam di dapur tidak akan menjadi masalah, tapi yang terjadi baru saja tiga jam berdiri kaki Widia terasa pegal dan kesemutan. Ini bukan faktor usia, tapi memang Widia tidak pernah berdiri dalam waktu lama. Sesekali Widia mengayun-ayunkan kan kakinya ke kanan dan ke kiri secara bergantian agar peredaran darahnya lancarnya. Dia terlihat seperti anak katak yang sedang belajar menari dan memancing tawa orang di sekitarnya. "Sepertinya kamu nggak biasa kerja keras," celetuk pria berseragam koki yang berdiri tak jauh dari widia. Dia berusaha menahan senyum karena ulah lucu Widia sambil membolak balik sayuran yang sedang dimasaknya di atas wajan. "Aku biasa kerja keras kok, hanya saja aku sudah lama nggak melakukannya," Widia meringis. "Oh
Pulang kerja, Widia merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Dia menutup matanya sebentar sambil menikmati sensasi pegal libu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Susahnya cari uang, tapi lebih susah lagi kalau tidak punya uang. Pikiran Widia teringat pada omongan teman kerjanya tadi, nampak jelas kalau dia merasa iri dan dengki pada Widia. Padahal, Widia tidak melakukan apapun yang merugikan orang lain selama bekerja di sana. Sepertinya Widia harus banyak bersabar, dia juga tidak bisa memuaskan semua orang untuk suka padanya bukan? Merasa cukup beristirahat, Widia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia berganti pakaian, menunaikan solat isya lalu pergi ke dapur untuk mencari camilan. Widia sudah makan di tempat kerja, tapi saat ini mulutnya ingin ngemil makanan manis-manis. "Belum tidur Nak?" Rini muncul sambil menenteng gelas kosong. "Belum, aku lapar pengen ngemil," sahut Widia. "Di kulkas ada biskuit, Ibu baru beli tadi," "Kok Ibu belum tidur?" tanya Wid
Ting .... Tong .... Bel berdering, Widia meninggalkan dapur untuk membuka pintu dan melihat siapa tamu yang datang. Alangkah terkejutnya Widia saat tau yang datang adalah Dokter Dion. 'Dari mana dia tau alamat rumahku? Mau apa dia datang kemari?' batin Widia. "Hallo, Wid. Kita bertemu lagi," Dion menyunggingkan senyum kecil. "Pak Dokter tau rumahku dari mana?" "Dari Bapakku lah, aku kesini mau ambil kacamata punya Bapak yang ketinggalan," "Bapak? Oh ..... Jadi Pak Dokter ini anaknya ...." "Iya, betul sekali. Pangling ya sama aku?" Widia memperhatikan Dion dari ujung kepala sampai ujung kaki, dia yang dulu berbeda sekali dengan dia yang sekarang. Wajar jika Widia tidak mengenali Dion, pria itu berubah begitu banyak. Ibarat kata, dulu Dion seperti burung hantu, sekarang berubah jadi burung merpati. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?" "Ah, nggak kok, nggak ada yang salah. Ayo masuk, aku ambilkan kacamatanya dulu," Dion masuk ke dal
Widia bersiap melakukan pekerjaannya dengan baik, dia sangat berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin. Selesai melakukan pekerjaannya, Widia mendekati koki yang biasa dipanggil Om Oby untuk membantunya menyiapkan bahan makanan. Widia harus memiliki teman dekat agar aman dan tidak ada yang mengganggunya tempat kerja, dia harus mulai dengan mendekati orang yang paling berpengaruh di tempat itu dulu yaitu si koki. "Siapa pria yang mengantarmu tadi? Pacar kah?" tanya Oby sambil menyunggingkan senyum. "Bukan Om, dia temanku," sahut Widia. "Yakin hanya teman? Dia menatapmu dengan mata berbinar, sepertinya dia naksir kamu," goda Oby. "Om pengalaman sekali, dari mana Om belajar menilai orang dalam sekali pandang?" Widia berkerut dahi. "Waktu akan mengajarimu banyak hal, aku nggak belajar dari siapa-siapa. Biasanya pria kalau naksir cewek pasti tatapan matanya begitu," "Dia memang naksir sama aku Om, tapi aku belum siap buat memulai hubungan baru. Aku
Widia tiba di kantor milik mantan suaminya, dua temannya yang lain langsung kembali ke cafe dan memasrahkan urusan makanan pada Widia. Widia sedikit kikuk, terlebih saat tau yang keluar untuk menemuinya adalah Agam. "Widia, apa kabar? Lama nggak ketemu, kamu jadi semakin cantik," Agam memperhatikan mantan istrinya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Widia jadi sedikit kurus, entah karena diet atau karena beban pikiran. "Kabarku baik, terimakasih atas pujiannya," "Tapi sayang, cantik-cantik begitu kerja jadi pegawai cafe. Masih enak waktu jadi istriku bukan?" "Ha .... Ha .... Ha .... Aku lebih suka bekerja sebagai pegawai cafe daripada jadi istrimu Mas. Makan hati!" "Pedas sekali mulutmu!" "Maaf, tapi aku bermulut pedas hanya saat mengobrol denganmu Mas. Ini makanan pesanan kantormu, aku sisa pembayarannya harap segera ditransfer. Aku pamit dulu," "Tunggu!" "Ada apa lagi Mas?" "Apa gosip itu benar, kamu sedang dekat dengan Dion teman kecilmu itu?" "Bukan urusanmu!
Hidup Sarah mulai terasa hampa karena kehilangan sahabat baiknya Widia. Biasanya tiap week end mereka akan menghabiskan waktu bersama, sekedar untuk jalan jalan santai atau nonton film. Kali ini dia harus melakukannya sendiri, terlebih suaminya juga tidak mau menemani. Perut sudah semakin besar, harusnya Agam makin perhatian. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Agam jadi cuek dan dingin. Bahkan hanya sekedar mengelus pun Sarah harus memintanya, kalau pun mau Agam melakukannya dengan malas seperti terpaksa. Apakah itu karena Agam belum bisa move on dari Widia? Agam sendiri yang menyetujui ajakan Widia untuk bercerai, tapi setelahnya dia nampak sangat menyesal. Sarah cemburu, bahkan saat Widia kecewa dan tidak menginginkan Agam lagi pria itu masih saja mencintainya. "Berhenti merokok, ada Ibu hamil dirumah ini!" Sarah mengambil sebatang rokok di mulut Agam yang baru saja dinyalakan. "Kamu cerewet sekali!" keluh Agam lirih. "Aku cerewet untuk kesehatanmu, untuk kesehatan anak kita
Widia baru saja selesai mengantar pesanan kue dari sahabatnya, dalam perjalanan pulang dia mampir ke rumah makan padang untuk membeli tiga bungkus makanan enak khas Nusantara itu. Widia memarkir sepeda motornya, mencopot helm dan bersiap masuk ke dalam rumah makan. Tiba-tiba saja Agam muncul, dia menahan langkah kaki Widia dengan menarik tangannya. Widia yang panik langsung berontak, tapi cengkraman Agam begitu kuat hingga tidak bisa di lepaskan. "Mas, lepaskan aku!" "Nggak, aku mau kita bicara," "Mau bicara soal apa Mas? Sampai-sampai Mas perlu mencengkram lenganku sekuat ini? Tolong lepaskan aku Mas," "Berjanjilah kamu nggak akan kabur," "Iya, aku janji nggak akan kabur," Agam melepaskan cengkraman tangannya, Widia menggerakkan lengannya ke kanan dan ke kiri untuk menghempas rasa linu yang tadi hinggap. Keduanya masuk ke dalam rumah makan, menarik kursi dan duduk berhadapan. Widia tau bicara dengan jarak sedekat itu dengan suami orang adalah sebuah kesalahan, tapi di
Dion tidak bisa tidur semalaman, dia terus membayangkan kejadian tadi siang saat dirinya mencium pipi Widia. Janda cantik itu terpaku, wajahnya memerah karena malu. Banyak pengunjung yang melihat kejadian tadi, wajar saja kalau Widia merasa malu. Saat cemburu, seorang pria bisa melakukan hal gila. Tapi Dion tak menyangka dirinya akan segila itu, mencium seorang janda ditempat umum. Beruntung Widia mau memaafkannya, tapi mungkin mulai detik ini dia akan menjaga jarak dengan Dion. "Sebaiknya besok aku datang saja ke sana dan melamarnya, takut keduluan mantan suaminya datang minta rujuk," ucap Dion. Dion mengambil ponselnya, dia mengirim pesan singkat pada Widia. "Besok malam, aku akan datang ke rumahmu bersama dengan Ayahku. Aku mau melamar mu," tulis Dion di ponsel dan mengirimkannya pada nomor wisuda. Tring... Bunyi pesan masuk di ponsel Widia. Widia yang sudah bersiap pergi tidur langsung bangun dan memeriksa ponselnya. "Hah? Dion besok mau kesini untuk melamar ku? Baga