Hari yang paling ditunggu oleh Widia tiba, hari dimana dia resmi menyandang gelar seorang janda. Proses perceraian keduanya berjalan lancar tanpa hambatan apapun. Widia juga tidak menuntut harta gono-gini pada mantan suaminya untuk menghindari gesekan dengan Sarah dimasa depan.
Berita tentang perceraian Widia dan Agam tersebar, tetangga rumah Widia syok saat mendengarnya. Selama ini rumah tangga Widia terlihat adem ayem tanpa gosip miring dan isu buruk lainnya walaupun Widia belum punya anak setelah sekian lama menikah. "Nggak nyangka ya Bu, Widia bakal cerai sama suaminya," ucap salah seorang tetangga yang sedang belanja sayur pada penjual sayur keliling. Kebetulan penjual sayur itu biasa mangkal di depan gerbang rumah Widia. "Wajar sih Bu mereka berdua cerai, jarang sekali ada suami mau menerima istri mandul," sambung ibu-ibu yang lain. "Jadi Widia mandul?" si tukang sayur melongo tak percaya. "Sepertinya begitu Bang," sahut dua ibu-ibu tukang gosip itu kompak. Sayup-sayup telinga Widia mendengar obrolan para tetangga jahat dari dalam rumahnya. Emosi Widia naik seketika, ingin rasanya Widia pergi keluar dan mengajak mereka berduel. Tapi orang tuanya pasti akan melarangnya, mereka paling tidak suka dengan keributan. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan kalau Widia tidak mandul, semuanya sehat, memang Tuhan belum memberinya rezeki anak saja hingga Widia dan suaminya harus bersabar sedikit. Sayang, Agam lebih memilih menikah lagi dengan wanita lain daripada mencoba untuk bersabar seperti Widia. Sabar memang sulit, karena hadiahnya surga. Coba kalau mudah, mungkin hadiahnya hanya sebuah piring, gelas atau panci berukuran sedang. Makannya banyak manusia yang tidak bisa menerapkan sabar dalam hidupnya termasuk Agam. "Wid, masuk ke kamarmu sana!" perintah Rini. Dia tau Widia telah mendengar obrolan tetangganya yang menyakitkan hati itu. "Bosan Bu di kamar terus," cicit Widia. "Ya.... Mau bagaimana lagi? Masa idah kamu kan belum selesai," lirih Rini. "Bu, boleh nggak Widia kerja kalau masa Idah Widia sudah selesai? Bosan di rumah terus," Widia menatap Ibunya dengan tatapan serius. "Boleh, tapi kamu mau cari kerja dimana?" tanya Rini. "Dimana saja Bu besok, yang penting bisa menghasilkan uang halal," "Tapi kamu harus hati-hati saat berada di luar rumah ya, godaan janda itu banyak," pesan Rini. "Iya Bu, Widia ngerti kok," sahut Widia. Dia sedikit mengerucutkan bibirnya ke depan. Selesai menonton tv, Widia pergi ke kamarnya. Dia berencana tidur siang untuk mengistirahatkan kepala dan hatinya yang sedang panas. Tiba-tiba ponselnya berdering, tertulis nama Sarah di layar ponsel itu. Widia mengerucutkan bibirnya, mau apa Sarah menelponnya? Urusan mereka berdua kan sudah selesai. Malas mengangkat telfon itu, Widia meletakan ponselnya di dalam laci meja rias. Tapi Sarah terus menerus meneleponnya, akhirnya Widia kembali mengambil ponselnya dan mengangkat telfon. "Hallo, Widia," sapa Sarah. "Iya, ada apa meneleponku?" tanya Widia terus terang. "Perut Mas Agam kembung, tolong beri tahu aku resep obat herbal yang biasa kamu buat untuk mengobati perut Mas Agam saat sedang kembung," rengek Sarah. "Cari sendiri saja di internet," ucap Widia ketus. "Aku malas," keluh Sarah dengan nada manja. "Kalau malas ya tinggal beli obat herbal saja di apotik banyak!" omel Widia. "Tapi ....," Sarah tercekat. "Sudah dulu ya Sarah, aku sedang sibuk," sela Widia. Dia mencari alasan agar bisa mengakhiri obrolannya dengan Sarah. "Oh ...., Oke. Maaf ya, aku sudah mengganggumu." Sarah menutup telfon dengan perasaan sedih dan tak enak hati. Jelas sekali Widia tidak mau berhubungan dengannya atau Agam lagi. Mulai detik ini Sarah dan Agam harus bisa menjauh dari kehidupan Widia selamanya. Sarah mengambil dompet, dia memakai jaket dan topi di kepalanya. Terpaksa Sarah harus pergi ke apotik untuk membeli obat, walaupun sebenarnya dia sedang malas keluar rumah. "Kamu mau kemana malam-malam begini?" tanya Agam. "Aku mau ke apotik Mas beli obat buat kamu," sahut Sarah. "Memangnya Widia nggak mau ngasih tau kamu resep obat herbal yang biasa dia bikin?" tanya Agam lagi. "Dia minta aku nyari resep sendiri di internet Mas, tapi aku malas mau buatnya mending beli jadi," jelas Sarah. "Kamu ini apa yang nggak malas, masak buat sendiri saja malas apa lagi meracik obat herbal buat aku," sindir Agam pedas. Secara tidak langsung, Agam telah membandingkan Sarah dengan mantan istrinya. Tentu saja Sarah merasa tersinggung, apa lagi saat ini Sarah adalah satu-satunya istri dari Agam. Sarah menangis, dia meletakan dompet, jaket dan topinya ke tempat semula kemudian melarikan diri kedalam kamarnya. "Loh, kok dia nangis? Memangnya ada yang salah dengan kata-kataku?" gumam Agam lirih. Bersambung ....Empat bulan kemudian.... Hari-hari yang Widia lalui tanpa Agam sungguh terasa berat. Semua kenangan manis yang pernah mereka lalui bersama terkadang masih melintas dalam ingatannya. Ternyata mencoba untuk segera move on itu tidak semudah membalikan telapak tangan, jerat rindu terasa sangat menyiksa jiwa dan raga. Sudah waktunya bagi Widia mencari aktifitas lain di luar rumah. Hari itu Widia memutuskan untuk pergi ke restoran milik temannya bernama Varo untuk mencari pekerjaan di sana. Hubungannya dengan Vina memang tidak begitu dekat, tapi Widia tau Varo adalah teman yang bisa diandalkan. Restoran Pesona Alam lumayan ramai siang itu. Wajar saja, Widia datang pas dengan jam makan siang. Widia mematung sejenak mencari keberadaan Vana diantara beberapa pegawai berseragam pink, beberapa menit kemudian akhirnya Widia bisa menemukan sosok pria bertubuh tinggi kurus itu. "Varo....!" panggil Widia sambil melambaikan tangan kanannya. Varo menoleh ke arah Widia, kemudian melempar senyum.
Widia menyambut paginya dengan ceria dan penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, dia harus melakukan segalanya dengan baik dan sempurna agar tidak mengecewakan teman sekaligus Bosnya. Awalnya Widia mengira berdiri selama tiga belas jam di dapur tidak akan menjadi masalah, tapi yang terjadi baru saja tiga jam berdiri kaki Widia terasa pegal dan kesemutan. Ini bukan faktor usia, tapi memang Widia tidak pernah berdiri dalam waktu lama. Sesekali Widia mengayun-ayunkan kan kakinya ke kanan dan ke kiri secara bergantian agar peredaran darahnya lancarnya. Dia terlihat seperti anak katak yang sedang belajar menari dan memancing tawa orang di sekitarnya. "Sepertinya kamu nggak biasa kerja keras," celetuk pria berseragam koki yang berdiri tak jauh dari widia. Dia berusaha menahan senyum karena ulah lucu Widia sambil membolak balik sayuran yang sedang dimasaknya di atas wajan. "Aku biasa kerja keras kok, hanya saja aku sudah lama nggak melakukannya," Widia meringis. "Oh
Pulang kerja, Widia merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Dia menutup matanya sebentar sambil menikmati sensasi pegal libu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Susahnya cari uang, tapi lebih susah lagi kalau tidak punya uang. Pikiran Widia teringat pada omongan teman kerjanya tadi, nampak jelas kalau dia merasa iri dan dengki pada Widia. Padahal, Widia tidak melakukan apapun yang merugikan orang lain selama bekerja di sana. Sepertinya Widia harus banyak bersabar, dia juga tidak bisa memuaskan semua orang untuk suka padanya bukan? Merasa cukup beristirahat, Widia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia berganti pakaian, menunaikan solat isya lalu pergi ke dapur untuk mencari camilan. Widia sudah makan di tempat kerja, tapi saat ini mulutnya ingin ngemil makanan manis-manis. "Belum tidur Nak?" Rini muncul sambil menenteng gelas kosong. "Belum, aku lapar pengen ngemil," sahut Widia. "Di kulkas ada biskuit, Ibu baru beli tadi," "Kok Ibu belum tidur?" tanya Wid
Ting .... Tong .... Bel berdering, Widia meninggalkan dapur untuk membuka pintu dan melihat siapa tamu yang datang. Alangkah terkejutnya Widia saat tau yang datang adalah Dokter Dion. 'Dari mana dia tau alamat rumahku? Mau apa dia datang kemari?' batin Widia. "Hallo, Wid. Kita bertemu lagi," Dion menyunggingkan senyum kecil. "Pak Dokter tau rumahku dari mana?" "Dari Bapakku lah, aku kesini mau ambil kacamata punya Bapak yang ketinggalan," "Bapak? Oh ..... Jadi Pak Dokter ini anaknya ...." "Iya, betul sekali. Pangling ya sama aku?" Widia memperhatikan Dion dari ujung kepala sampai ujung kaki, dia yang dulu berbeda sekali dengan dia yang sekarang. Wajar jika Widia tidak mengenali Dion, pria itu berubah begitu banyak. Ibarat kata, dulu Dion seperti burung hantu, sekarang berubah jadi burung merpati. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?" "Ah, nggak kok, nggak ada yang salah. Ayo masuk, aku ambilkan kacamatanya dulu," Dion masuk ke dal
Widia bersiap melakukan pekerjaannya dengan baik, dia sangat berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin. Selesai melakukan pekerjaannya, Widia mendekati koki yang biasa dipanggil Om Oby untuk membantunya menyiapkan bahan makanan. Widia harus memiliki teman dekat agar aman dan tidak ada yang mengganggunya tempat kerja, dia harus mulai dengan mendekati orang yang paling berpengaruh di tempat itu dulu yaitu si koki. "Siapa pria yang mengantarmu tadi? Pacar kah?" tanya Oby sambil menyunggingkan senyum. "Bukan Om, dia temanku," sahut Widia. "Yakin hanya teman? Dia menatapmu dengan mata berbinar, sepertinya dia naksir kamu," goda Oby. "Om pengalaman sekali, dari mana Om belajar menilai orang dalam sekali pandang?" Widia berkerut dahi. "Waktu akan mengajarimu banyak hal, aku nggak belajar dari siapa-siapa. Biasanya pria kalau naksir cewek pasti tatapan matanya begitu," "Dia memang naksir sama aku Om, tapi aku belum siap buat memulai hubungan baru. Aku
Widia tiba di kantor milik mantan suaminya, dua temannya yang lain langsung kembali ke cafe dan memasrahkan urusan makanan pada Widia. Widia sedikit kikuk, terlebih saat tau yang keluar untuk menemuinya adalah Agam. "Widia, apa kabar? Lama nggak ketemu, kamu jadi semakin cantik," Agam memperhatikan mantan istrinya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Widia jadi sedikit kurus, entah karena diet atau karena beban pikiran. "Kabarku baik, terimakasih atas pujiannya," "Tapi sayang, cantik-cantik begitu kerja jadi pegawai cafe. Masih enak waktu jadi istriku bukan?" "Ha .... Ha .... Ha .... Aku lebih suka bekerja sebagai pegawai cafe daripada jadi istrimu Mas. Makan hati!" "Pedas sekali mulutmu!" "Maaf, tapi aku bermulut pedas hanya saat mengobrol denganmu Mas. Ini makanan pesanan kantormu, aku sisa pembayarannya harap segera ditransfer. Aku pamit dulu," "Tunggu!" "Ada apa lagi Mas?" "Apa gosip itu benar, kamu sedang dekat dengan Dion teman kecilmu itu?" "Bukan urusanmu!
Hidup Sarah mulai terasa hampa karena kehilangan sahabat baiknya Widia. Biasanya tiap week end mereka akan menghabiskan waktu bersama, sekedar untuk jalan jalan santai atau nonton film. Kali ini dia harus melakukannya sendiri, terlebih suaminya juga tidak mau menemani. Perut sudah semakin besar, harusnya Agam makin perhatian. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Agam jadi cuek dan dingin. Bahkan hanya sekedar mengelus pun Sarah harus memintanya, kalau pun mau Agam melakukannya dengan malas seperti terpaksa. Apakah itu karena Agam belum bisa move on dari Widia? Agam sendiri yang menyetujui ajakan Widia untuk bercerai, tapi setelahnya dia nampak sangat menyesal. Sarah cemburu, bahkan saat Widia kecewa dan tidak menginginkan Agam lagi pria itu masih saja mencintainya. "Berhenti merokok, ada Ibu hamil dirumah ini!" Sarah mengambil sebatang rokok di mulut Agam yang baru saja dinyalakan. "Kamu cerewet sekali!" keluh Agam lirih. "Aku cerewet untuk kesehatanmu, untuk kesehatan anak kita
Widia baru saja selesai mengantar pesanan kue dari sahabatnya, dalam perjalanan pulang dia mampir ke rumah makan padang untuk membeli tiga bungkus makanan enak khas Nusantara itu. Widia memarkir sepeda motornya, mencopot helm dan bersiap masuk ke dalam rumah makan. Tiba-tiba saja Agam muncul, dia menahan langkah kaki Widia dengan menarik tangannya. Widia yang panik langsung berontak, tapi cengkraman Agam begitu kuat hingga tidak bisa di lepaskan. "Mas, lepaskan aku!" "Nggak, aku mau kita bicara," "Mau bicara soal apa Mas? Sampai-sampai Mas perlu mencengkram lenganku sekuat ini? Tolong lepaskan aku Mas," "Berjanjilah kamu nggak akan kabur," "Iya, aku janji nggak akan kabur," Agam melepaskan cengkraman tangannya, Widia menggerakkan lengannya ke kanan dan ke kiri untuk menghempas rasa linu yang tadi hinggap. Keduanya masuk ke dalam rumah makan, menarik kursi dan duduk berhadapan. Widia tau bicara dengan jarak sedekat itu dengan suami orang adalah sebuah kesalahan, tapi di
Sarah mencoba untuk menghibur Agam, dia membeli alat pancing baru berharga mahal agar Agam semangat menyalurkan hobinya itu saat sedang libur. Reaksi dari Agam diluar dugaan, begitu datar dan dingin. Tidak ada senyum apa lagi kata terimakasih.Kehilangan orang yang paling dicintai memang menyedihkan, tapi dulu Agam juga pernah berkata akan mencintai Sarah dan menyayangi Sarah sama seperti Widia. Tapi yang terjadi kini malah kebalikannya, Sarah kecewa pada Agam."Apa Mas sudah nggak cinta sama aku lagi?" Tanya Sarah pada Agam."Tentu saja aku masih cinta sama kamu," ucap Agam tanpa menoleh kearah Sarah."Bohong! Mas hanya mencintai Widia seorang, aku bisa lihat itu dari duka mendalam-mu saat ini. Ditinggal nikah oleh Widia seperti ditinggal mati saja," celetuk Sarah kesal."Sarah, jaga ucapanmu!""Jangan marah, memang itu kenyataanya. Mas nggak bisa move on dari Widia, atau lebih tepatnya menolak untuk move on. Mas, jika Mas nggak bisa mencintai aku seperti dulu maka ceraikan saja aku,
Widia dan Dion akhirnya sah menjadi pasangan suami istri, keduanya melangsungkan acara pernikahan secara sederhana agar terkesan lebih sakral. Hanya kerabat dan sahabat dekat saja yang diundang, termasuk Bu Endah dan Agam mantan suami Widia. Agam tidak datang ke acara itu, Endah datang seorang diri sekaligus mewakili anaknya untuk mengucapkan selamat. Endah merasa sedikit iri saat itu, Widia terlihat sangat bahagia dengan suami barunya. Sementara Agam? Meski dia sudah punya anak, Agam belum sepenuhnya bisa merasakan bahagia. "Selamat menempuh hidup baru, semoga samawa," ucap Endah sambil menyalami Widia dan Dion. "Terimakasih Bu. Sarah dan Mas Agam mana? Nggak ikut datang?" Widia basa-basi. Padahal dia sudah tau kalau dua orang itu tidak akan datang ke acaranya. "Maaf, mereka tidak bisa datang karena sedang sibuk mengurus si kecil. Sarah juga belum terlalu fit untuk keluar rumah," sahut Endah. "Ah, iya. Tidak apa apa, sampaikan salamku padanya," "Nanti Ibu sampaikan pada m
Berkali-kali Endah menasehati Agam agar bisa melupakan mantan istrinya, tapi nyatanya nasihat itu tidak dipakai. Agam tetap saja menginginkan wanita itu kembali, bahkan saat wanita itu telah menjadi tunangan pria lain.Walaupun hidup Widia kini terlihat jauh lebih beruntung daripada hidup Agam, setidaknya Agam bisa memiliki keturunan dari Sarah. Sampai detik ini Endah yakin kalau Widia mandul, oleh karena itu dia tidak kunjung hamil saat menjadi istri dari Agam."Ayo temui anak dan istrimu di dalam," ajak Endah pada Agam."Ibu saja yang masuk duluan, nanti aku nyusul," sahut Agam lesu."Mau sampai kapan kamu melamun disini? Apa kamu sedang meratapi Widia? Sudahlah, lupakan wanita mandul itu!""Dia nggak mandul Bu, aku sendiri yang membaca hasil pemeriksaannya,""Kalau dia nggak mandul, lalu siapa yang mandul? Kamu? Pasti Widia yang mandul, buktinya kamu bisa punya anak setelah menikah dengan Sarah,""Berhenti menjelekan Widia Bu!" bentak Agam."Sudah lah, jangan bahas dia lagi. Ayo ce
Pagi buta, pinggang Sarah terasa pegal dan perut bagian bawahnya terasa panas. Mungkin ini sudah waktunya melahirkan, dia segera menghampiri suaminya di ruang tamu. Seperti biasa kalau ada bola, Agam suka nonton sampai ketiduran di atas sofa. "Mas, bangun," Sarah menggoyang-goyangkan tubuh suaminya. "Hem...." lirih Agam. Dia malas membuka mata dan memilih untuk mengabaikan istrinya. "Mas, bangun. Punggung dan perutku sakit, sepertinya aku mau melahirkan," ucap Sarah sambil merintih. Agam membuka mata, dia duduk dan mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih ada di dalam mimpi. Dia memperhatikan istrinya, keringat keluar sebesar biji jagung, juga nampak sedikit pucat. "Ayo kita ke rumah sakit sekarang," "Ayo, aku kabari Ibuku dulu," Agam mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Ibunya. Setelah itu dia pergi ke rumah sakit. *** Tiba di rumah sakit, Sarah makin kuat menangis. Karena sakit yang dia rasakan makin sering dan semakin sakit. Pembukaan sudah menuju lengkap, tap
Tit... Tit... Tit...Terdengar suara klakson mobil beberapa kali di halaman rumah Widia, Akbar membuka pintu dan keluar dari rumah. Dia syok melihat sebuah mobil mewah berwarna ngejreng terparkir disana.'Mobil siapa itu? Bagus sekali,' gumam Akbar dalam hati.Widia menyusul Akbar, dia penasaran dengan tamu yang berkunjung ke rumahnya pagi itu. Tak lama, pintu mobil terbuka, Dion dan seorang pria asing seperti supir pribadi keluar dari dalam mobil itu.Widia ternganga, Dion benar-benar membelikannya mobil baru. Bahkan bentuknya bagus juga cantik. Cocok sekali jika dikendarai oleh perempuan. Ternyata Dion menepati janji yang baru dia buat semalam, Widia merasa tersentuh."Pagi Wid, pak" sapa Dion ramah."Pagi, mobil baru nih," ucap Akbar."Iya pak, aku beli buat Widia,""Oh.... Apa? Buat Widia?""Iya, sekalian aku kasih supir satu, namanya Edi.""Baik sekali kamu ya, baru jadi tunangan sudah kasih mobil. Anakku benar benar beruntung punya calon suami royal,""Jangan berlebihan mujinya
Widia keluar rumah untuk mengantarkan kue pesanan sahabatnya, dia kaget dengan tatapan para tetangga yang berubah pada dirinya. Padahal tidak ada yang salah dengan penampilannya hari ini, busana bebas tapi sopan. Apa karena statusnya yang kini menjadi tunangan seorang dokter? Mana bujang pula. "Mau kemana Neng?" tanya tetangga rumah Widia "Antar pesanan kue Bu," sahut Widia singkat. "Sekarang jadi tampil cantik terus ya, bawaanya ceria," sambung tetangga satunya lagi. "Ya... iya lah, calon suaminya kan dokter. Biar nggak ke banting nanti. Ha.... Ha.... Ha...." celetuk yang satunya lagi tanpa dosa. Widia kesal, dia memilih untuk diam dan segera pergi dari tempat itu. Padahal bisa saja Widia menanggapinya, tapi dia tidak mau ribut dan bertengkar dengan tetangga sendiri. Hidup punya tetangga julid memang membuat hati dan pikiran pusing. Widia harus punya banyak stok sabar dan membuat telinganya tuli dari omongan tetangga kanan kiri. Kalau tidak, dia bisa mati muda karena terke
Malam itu, Widia tampil cantik dengan mengenakan baju kurung khas Melayu dan make up sedikit menor. Jangankan orang tuanya, Varo, dan Celine pangling dengan penampilan Widia saat itu. Bisa dipastikan Dion dan Ayahnya akan pangling juga."Alhamdulillah, anak ibu cepat dapat calon suami. Mudah mudahan sama yang ini bisa langgeng sampai tua ya," Rini menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipi. Rasa sedih bercampur haru menyelimuti hati wanita paruh baya itu.Tak hanya Rini, Akbar juga ikut menahan haru. Pasalnya dia dan Juned yang memiliki rencana menjodohkan Dion dengan Widia. Baru mau lamaran saja sudah begini apa lagi menikah nanti? Mungkin Akbar akan menangis sesenggukan.Rini dan Akbar telah membesarkan Widia dari bayi hingga dewasa, mereka tak rela anaknya disakiti oleh pria manapun. Siang malam mereka berdoa semoga Widia diberi pengganti yang jauh lebih baik dari Agam dan Tuhan malah memberinya lebih. Dion, bujang tampan, pintar, baik dan juga seorang dokter tajir.Ingin rasany
Dion tidak bisa tidur semalaman, dia terus membayangkan kejadian tadi siang saat dirinya mencium pipi Widia. Janda cantik itu terpaku, wajahnya memerah karena malu. Banyak pengunjung yang melihat kejadian tadi, wajar saja kalau Widia merasa malu. Saat cemburu, seorang pria bisa melakukan hal gila. Tapi Dion tak menyangka dirinya akan segila itu, mencium seorang janda ditempat umum. Beruntung Widia mau memaafkannya, tapi mungkin mulai detik ini dia akan menjaga jarak dengan Dion. "Sebaiknya besok aku datang saja ke sana dan melamarnya, takut keduluan mantan suaminya datang minta rujuk," ucap Dion. Dion mengambil ponselnya, dia mengirim pesan singkat pada Widia. "Besok malam, aku akan datang ke rumahmu bersama dengan Ayahku. Aku mau melamar mu," tulis Dion di ponsel dan mengirimkannya pada nomor wisuda. Tring... Bunyi pesan masuk di ponsel Widia. Widia yang sudah bersiap pergi tidur langsung bangun dan memeriksa ponselnya. "Hah? Dion besok mau kesini untuk melamar ku? Baga
Widia baru saja selesai mengantar pesanan kue dari sahabatnya, dalam perjalanan pulang dia mampir ke rumah makan padang untuk membeli tiga bungkus makanan enak khas Nusantara itu. Widia memarkir sepeda motornya, mencopot helm dan bersiap masuk ke dalam rumah makan. Tiba-tiba saja Agam muncul, dia menahan langkah kaki Widia dengan menarik tangannya. Widia yang panik langsung berontak, tapi cengkraman Agam begitu kuat hingga tidak bisa di lepaskan. "Mas, lepaskan aku!" "Nggak, aku mau kita bicara," "Mau bicara soal apa Mas? Sampai-sampai Mas perlu mencengkram lenganku sekuat ini? Tolong lepaskan aku Mas," "Berjanjilah kamu nggak akan kabur," "Iya, aku janji nggak akan kabur," Agam melepaskan cengkraman tangannya, Widia menggerakkan lengannya ke kanan dan ke kiri untuk menghempas rasa linu yang tadi hinggap. Keduanya masuk ke dalam rumah makan, menarik kursi dan duduk berhadapan. Widia tau bicara dengan jarak sedekat itu dengan suami orang adalah sebuah kesalahan, tapi di