Share

Permohonan Cerai Dikabulkan

Rini memperhatikan Widia yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Dia nampak serius memotong sayur dan bahan makanan lainnya.

Rasa iba muncul di hati Rini pada Widia, baru saja berumur dua puluh delapan tahun sudah mau jadi janda. Padahal, teman-temannya yang lain sudah memiliki anak dua atau bahkan tiga. Nasib orang memang tidak ada yang tahu, dan segala hal yang terjadi pada mahluk hidup di muka bumi ini sudah ada yang mengaturnya. Sebagai manusia, kita hanya bisa menjalaninya serta menerima dengan lapang dada.

Tak terasa air mata Rini jatuh membasahi pipi, dia segera menyekanya sebelum Widia melihatnya menangis.

"Mau Ibu bantu nggak, Wid?" tanya Rini sambil berjalan menghampiri putrinya.

"Mau Bu, biar cepat selesai," sahut Widia.

"Mau masak apa hari ini?"

"Sup ayam, tahu goreng dan sambal tomat,"

"Di kulkas ada ikan bawal, kenapa nggak sekalian dimasak?"

"Nggak Bu, Widia kesal kalo lihat ikan bawal. Jadi ingat sama Mas Agam Bu," ujar Widia. Karena memang Agam suaminya sangat menyukai ikan bawal.

Rini terdiam, dia tau masih ada cinta di hati Widia untuk Agam. Tapi rasa cinta itu terkubur oleh rasa kecewa dan rasa sakit hati yang begitu besar.

"Ngomong-ngomong apa yang kamu bicarakan dengan Sarah kemarin?" Tanya Rini. Dia penasaran dengan obrolan istri pertama dan istri kedua saat sedang bertemu, apa lagi sebelumnya mereka bertengkar hebat.

"Biasa Bu, dia minta maaf sama aku. Aku sih sudah mau maafin dia tapi kalau untuk berteman dengan dia lagi aku nggak mau Bu." Sahut Widia jujur sambil mencuci sayuran yang telah selesai dia potong.

"Kamu jadi minta cerai sama Agam?" tanya Rina lagi.

"Jadi Bu, kemarin aku juga ketemu sama Mas Agam di sana," ekspresi wajah Widia berubah. Dia tidak suka ibunya mengulang pertanyaan yang sama, padahal dia sudah tau jawabannya dari kemarin.

"Kamu sudah pikir dengan mantap?" Rini mencoba memeriksa apakah ada keraguan di hati Widia.

"Sudah," sahut Widia penuh keyakinan.

"Ya sudah kalau begitu, Ibu dan Ayah akan dukung semua keputusan kamu. Semoga saja Allah segera memberimu jodoh pengganti yang jauh lebih baik dari Agam," doa Rini.

"Amin ...." ucap Widia.

Selesai memasak, Widia makan malam bersama keluarganya. Tiba-tiba saja telfon rumah berdering, Widia segera beranjak dari kursi untuk mengangkat telfon itu. Perasaan Widia berubah jadi tidak enak, seolah dia bisa menebak siapa orang yang sedang menelfon ke rumah saat ini.

"Hallo .... Assalamu'alaikum," sapa Widia sesaat setelah mengangkat telfon.

"Wa'alaikum salam. Wid, ini aku Mas Agam,"

"Iya, ada apa Mas?" tanya Widia penasaran karena tiba-tiba pria itu menelfon nya.

"Aku akan mengabulkan permintaanmu untuk bercerai dariku," ucap Agam.

Hati Widia terasa sakit saat mendengar kalimat itu, tapi ada perasaan lega juga di sana. Meski sakit, Widia merasa kalau pilihannya itu adalah yang terbaik untuk untuknya, Agam dan Sarah kedepannya.

Tidak akan ada lagi perasaan cemburu, iri, dan merasa paling tersakiti diantara mereka bertiga. Widia bisa membuka lembaran baru dalam hidupnya, menuliskan kisah-kisah baru yang menyenangkan walaupun tanpa sosok Agam di sisinya.

"Terimakasih, Mas sudah mau mengabulkan permintaanku. Jadi kapan Mas akan mengurus proses perceraian kita?"

"Minggu ini juga aku akan mengurusnya," janji Agam.

"Oke Mas. Emh .... Mas, aku sedang makan malam sekarang. Sudah dulu telfonnya ya, kita sambung lain kali," Widia mengalihkan topik pembicaraan agar bisa segera mengakhiri percakapan mereka.

"Oh, oke," ucap Agam lesu.

Klak....!

Widia menaruh telfon itu ke tempat semula. Widia menangis tanpa suara, dia buru-buru menyeka air matanya sebelum kembali duduk di meja makan bersama dengan keluarganya.

"Siapa yang telfon?" Tanya Rini.

"Mas Agam Bu. Dia bilang mau menyetujui permintaan cerai dariku," sahut Widia jujur.

Akbar dan Rini saling melempar pandangan mata, keduanya diam dan membuat suasana sekitar jadi hening. Setelahnya, Widia hanya fokus menghabiskan makanan yang ada di atas piring dan tidak mau membahas soal rencana perceraiannya lagi.

***

Di apartemen Sarah ....

Agam menjambak rambut cepaknya, dia merasa stres dan frustasi karena keputusannya untuk mengabulkan permintaan Widia. Padahal, dia sendiri ragu apakah bisa hidup tanpa Widia di sisinya.

Selama ini, Widia selalu ada untuknya dalam suka maupun duka. Bahkan Widia lah orang yang selalu memberikan semangat dan dukungan saat Agam sedang berada di bawah.

"Diminum dulu tehnya Mas," Sarah meletakan secangkir teh hangat di atas meja.

"Iya, nanti," lirih Agam.

"Mas kenapa? Wajah Mas kok pucat? Mas sakit ya?" Sarah cemas memasang wajah cemas.

"Mas nggak sakit, cuma sedikit sakit kepala saja mungkin karena mau flu. Bisa buatkan air herbal pereda flu dan sakit kepala nggak?" Tanya Agam.

"Aduh, maaf Mas. Aku nggak ngerti sama sekali soal membuat ramuan herbal, biasanya kan yang suka buat ramuan herbal buat Mas si Widia," celetuk Sarah.

Agam terdiam, dia merasa kepalanya bertambah sakit. Selain urusan ranjang, Sarah memang tidak bisa melakukan apapun. Bahkan membuat secangkir teh untuknya pun selalu kemanisan, tidak seperti Widia.

'Semoga saja aku tidak menyesal dikemudian hari karena telah menceraikan Widia,' batin Agam.

"Jangan melamun, ayo kita makan malam. Aku sudah pesankan makanan kesukaan Mas tadi di aplikasi online," ajak Sarah.

"Baik, ayo kita makan." Agam beranjak dari tempat duduk dan Sarah mengikuti dari belakang.

Agam memperhatikan lauk yang ada di atas meja makannya, ada berbagai jenis masakan seafood di sana. Mulai dari cumi goreng tepung, ikan bakar, cah kangkung udang sampai sambal terasi. Semua adalah makanan favorit Widia.

Batin Agam terasa nyeri ketika melihat semua masakan itu, dia sampai kehilangan nafsu makan seketika.

"Kok cuma dilihatin Mas? Makan dong!" Ujar Sarah.

"Iya, ini Mas juga mau makan," ucap Agam terbata.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status