Share

Bukan Kesayanganmu Lagi

Cafe DMD, pukul 10.00 pagi.

Widia melihat ke segala penjuru cafe, mencari keberadaan Sarah, mantan sahabatnya. Rupanya wanita cantik itu sudah berada di sana, sedang duduk manis di kursi paling belakang dekat jendela sambil melamun. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya, yang jelas Widia tak lagi menaruh kepercayaan dan simpati terhadapnya.

Widia menghampiri Sarah, dia menarik kursi dan duduk menghadap wanita berambut panjang itu. Sarah melempar senyum kecil, dia memasang wajah ramah seolah-olah tidak ada masalah dalam hubungan persahabatan mereka.

"Hal apa yang mau kamu bicarakan denganku?" tanya Widia terus terang.

"Aku mau minta maaf sama kamu. Aku harap hubungan persahabatan kita bisa kembali baik seperti dulu," ucap Sarah.

"Aku sudah memaafkan kamu. Dalam kasus ini, suamiku yang paling bersalah. Tapi jangan harap hubungan kita bisa kembali harmonis seperti dulu," tegas Widia.

Sarah menggigit ujung bibirnya, dia menangis tanpa suara. Jelas sekali ada penyesalan yang mendalam di wajahnya meskipun Sarah tidak mengatakannya secara gamblang.

"Berhenti menangis! Nasi sudah menjadi bubur, tangisanmu itu nggak bisa mengembalikan apa pun. Apalagi memutarbalikan waktu," lanjut Widia.

"Aku sedang hamil anak Mas Agam," tutur Sarah.

"Aku sudah tahu, Ibu mertuaku sudah mengatakannya kepadaku tempo hari." Widia melipat kedua tangannya di bawah dada. Dia menyandarkan punggungnya pada bahu kursi.

"Aku berharap, kamu mau menerima kehadiran anak ini sebagai anakmu juga," ucap Sarah penuh harap.

"Jangan berharap terlalu jauh Sarah. Sampai kapan pun aku nggak akan mengakui anak itu sebagai anakku juga. Aku sudah memutuskan untuk bercerai dengan Mas Agam, jadi jangan sangkut pautkan anak itu denganku lagi!" Widia melebarkan kedua matanya dan memasang wajah kesal.

"Tolong jangan minta cerai, Wid. Mas Agam sangat mencintaimu," bujuk Sarah.

"Cinta macam apa itu? Diam-diam menikah dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku. Pokoknya keputusanku sudah bulat dan nggak bisa diganggu gugat. Aku bakal minta cerai dari Mas Agam. Sudah nggak ada yang mau dibicarakan lagi kan? Aku pamit pulang dulu." Widia beranjak dari kursi. Dia pergi meninggalkan Sarah dengan langkah pelan.

"Tunggu ...!" cegah Sarah.

Widia tak peduli dengan teriakan wanita itu, dia tetap saja berjalan tanpa menoleh ke belakang. Hingga akhirnya suara jerit beberapa orang mengagetkan Widia dan memaksanya untuk membalikkan badan.

"Awh ...!" Sarah terpeleset dan terjatuh saat berlari mengejar Widia. Dia memegangi perutnya yang sudah terlihat sedikit menonjol. Widia yang sadar Sarah sedang hamil muda langsung berlari menghampiri Sarah untuk menolongnya.

"Kamu baik-baik aja, Sarah?" tanya Widia cemas.

"Perutku sakit," keluh Sarah.

"Ayo, aku akan mengantarmu pergi ke rumah sakit terdekat." Widia memapah Sarah dan membawanya ke dalam taxi yang kebetulan sedang mangkal di depan cafe.

Bau obat begitu menyengat, itu kenapa Widia benci dengan rumah sakit. Belum lagi bayang-bayang rasa nyeri saat jarum menusuk kulit. Kalau bukan karena terpaksa demi keselamatan Sarah dan anaknya, Widia tidak akan pernah mau kembali ke rumah sakit.

Dokter selesai memeriksa Sarah, keduanya terlihat berbincang dengan ekspresi wajah tenang. Widia mengamati dari jarak cukup jauh agar tidak mengganggu proses pemeriksaan, tapi dilihat dari ekspresi wajah mereka sepertinya kandungan Sarah baik-baik saja.

Tidak mungkin jika Widia harus mengantar Sarah pulang ke apartemennya, di sana ada Agam dan dia enggan bertemu dengan pria itu lagi. Widia memutuskan untuk menghubungi Agam dan memintanya untuk menjemput Sarah. Baru saja ia memegang ponsel, sosok Agam sudah masuk ke dalam ruang pemeriksaan itu.

"Bagaimana keadaan istri dan anakku, Dok?" tanya Agam. Dia nampak cemas dan sedikit panik.

Widia tersenyum miris melihat ekspresi wajah suaminya itu. Jelas sekali Agam memiliki rasa cinta kepada Sarah, dan sepertinya jauh lebih besar daripada rasa cinta yang ada untuk Widia.

"Dia dan bayinya baik-baik saja. Tapi lain kali, tolong hati-hati kalau sedang berjalan," pesan sang dokter.

Sarah melirik ke arah Widia, Agam mengikuti gerak mata istri keduanya itu. Dia syok saat melihat Widia tengah duduk sambil menatapnya di samping pintu.

"Widia!" seru Agam.

"Mas sudah datang. Antar dia pulang ke apartemennya." Widia bangkit dari bangku plastik dan bersiap untuk pergi meninggalkan mereka berdua.

"Tunggu ...!" cegah Agam.

Widia menahan langkah kakinya sejenak.

"Kalian baru saja bertemu?" tanya Agam.

"Iya. Kami baru makan siang bersama di cafe," sahut Widia.

"Lalu kenapa Sarah bisa terjatuh? Apa kamu melakukan sesuatu padanya?" tuduh Agam asal.

"Aku memang galak, Mas. Tapi aku bukan orang jahat! Dia terjatuh karena berlarian di cafe, dan itu bukan karena ulahku!" Widia mengomel. Dia kesal karena Agam telah berburuk sangka padanya.

"Apa benar begitu, Sarah?" Agam melempar pandangannya pada Sarah.

"Iya, betul, Mas," sahut Sarah singkat.

"Kalau begitu aku minta maaf karena sempat berburuk sangka padamu. Terima kasih juga karena kamu sudah mau membawa Sarah periksa ke dokter," lirih Agam. Dia sedikit merasa tak enak hati pada Widia.

"Tidak perlu sungkan, Mas. Urusan kita sudah selesai, aku mau pulang," pamit Widia.

"Biar aku antar," ucap Agam.

"Tidak perlu! Mas antar aja istri kesayangan Mas itu ke apartemennya," sindir Widia.

"Cukup, Widia! Berhenti menyudutkan aku! Kalian berdua sama-sama kesayanganku."

"Sayangnya aku sudah nggak mau jadi kesayanganmu lagi, Mas. Aku ingin kita bercerai secepatnya!" dengus Widia kesal.

Widia buru-buru pergi meninggalkan Sarah dan Agam. Agam ingin mengejarnya tapi Sarah menahannya. Sementara itu sang dokter kandungan hanya diam mengamati pasangan suami-istri bertengkar dalam ruangannya.

'Jadi wanita itu adalah istri pertama pria ini? Menarik sekali,' batin sang dokter.

Di dalam mobil, Agam terus menyesali kebodohannya karena telah berprasangka buruk pada Widia. Dia pasti sangat kecewa saat ini dan semakin menaruh benci pada Agam. Apa yang bisa Agam lakukan sekarang? Mengabulkan keinginan wanita itu untuk bercerai? Ah, tidak bisa. Agam masih sangat mencintai Widia, istri pertamanya.

"Mas, Widia sangat tersiksa dengan hubungan rumit ini. Apa sebaiknya aku saja yang mengalah? Kembalilah pada Widia dan ceraikan aku," celetuk Sarah.

"Nggak! Aku nggak akan menceraikan kamu!" sentak agam.

"Tapi aku merasa bersalah pada Widia, Mas. Dia sangat kecewa melihat hubungan kita. Aku nggak mau terus-terusan menyiksanya dengan rasa sakit, biarkan aku pergi,"

"Nggak, Sarah. Aku nggak akan melepaskan kamu pergi!" bentak Agam.

Sarah membisu, untuk pertama kalinya setelah menikah pria itu membentaknya. Selama ini Agam selalu bersikap lembut dan baik padanya, satu per satu tabiat buruk dari Agam mulai muncul ke permukaan.

Apa yang dikatakan oleh Sarah benar, Widia sudah tidak memiliki hasrat untuk mempertahankan rumah tangganya dengan Agam. Lebih baik Agam merelakan wanita itu pergi, terus bersama juga tidak menjamin mereka akan hidup berdampingan dengan harmonis.

"Widia sudah mantap ingin bercerai denganku. Aku akan mengabulkan keinginannya itu," ucap Agam dengan nada berat.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status