Keesokan harinya, Widia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
Agam langsung mengantarnya ke rumah orang tua Widia. Sepanjang perjalanan wanita itu terus menutup mulutnya. Pandangan matanya kosong dan tangannya sibuk meremas-remas ujung dress yang dia kenakan. Agam sedikit cemas, wanita itu pasti akan mengadu kepada orang tuanya tentang hubungan Agam dengan Sarah. Sudah pasti ayah dan ibu Widia akan mengamuk dan meminta Agam untuk menceraikan Widia. "Kamu mau menginap berapa hari di rumah Ibu?" tanya Agam memecah kesunyian. "Aku nggak tahu. Mungkin selamanya," sahut Widia sekenanya. "Aku nggak ngizinin kamu menetap di rumah ibu selamanya. Aku butuh kamu!" protes Agam. "Bukankah Mas sudah punya Sarah? Dia sedang hamil muda sekarang. Mas harus selalu ada untuknya," imbuh Widia sebal. "Apa ibuku yang memberitahumu soal itu?" tebak Agam tepat sasaran. "Iya." Widia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia mencoba menyembunyikan air mata yang hendak menetes dari Agam. "Widia, aku minta maaf soal kebohongan yang udah aku lakukan ke kamu. Tapi kamu harus tahu, aku cinta kamu, Wid. Sampai kapan pun kamu akan menjadi nomor satu di hatiku," tutur Agam panjang lebar. "Aku nggak bakal percaya lagi dengan omongan manismu, Mas! Dulu, Mas janji akan setia padaku! Tapi apa yang terjadi sekarang malah sebaliknya!" sergah Widia keras. Waktu membuat Widia semakin kuat dan tegar dalam menghadapi takdir asmaranya yang begitu pahit. Dia tidak mau menangis untuk Agam lagi, air matanya terlalu berharga untuk dikeluarkan sia-sia. Meski begitu, Widia masih bimbang untuk meminta cerai dari Agam. Rasa sayang di hatinya masih ada, meski sudah ternodai oleh sebuah pengkhianatan. Mobil yang mereka tumpangi tiba di depan sebuah rumah sederhana. Rumah orang tua Widia yang lima puluh persennya masih terbuat dari kayu. Mendengar suara mobil terparkir, Akbar dan Rini—orang tua Widia— keluar dari dalam rumah. Widia dan Agam pun keluar dari dalam mobil bersamaan. Mereka menghampiri dan menyalami dua orang tua itu. "Tumben mau datang nggak kasih kabar dulu ke Ayah sama Ibu?" Rini menyunggingkan senyum kecil. Widia langsung memeluk tubuh ibunya erat, dia menangis tersedu-sedu dan membuat kedua orang tuanya bingung. Sementara Agam hanya menatap pilu, dia tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun dari dalam mulutnya. "Ada apa masalah apa, Widia? Kenapa kamu menangis?" Akbar menepuk pundak putrinya pelan. Bukannya menjawab, tangis widia malah semakin pecah. "Ayo kita masuk ke rumah dulu! Kita cerita di dalam," ajak Rini. Widia memberanikan diri untuk mengungkap segala permasalahan dalam rumah tangganya. Rini yang syok hanya diam sambil menangis, mulutnya seolah kaku tak bisa berbicara. Dia tak menyangka menantu pilihannya yang dianggap baik, pada akhirnya tega menyakiti hati putri kesayangannya. "Ayah sudah pernah bilang padamu Agam, kalau kamu sudah tidak mencintai Widia kembalikan dia kepada Ayah. Jangan sakiti perasaan Widia seperti ini," cicit Akbar. Dia tak terima anak kesayangannya dimadu, padahal Akbar sendiri memiliki dua istri. Tapi istri kedua Akbar telah lama meninggal dunia karena sakit. "Aku masih sangat mencintai Widia, Ayah. Apa yang terjadi di antara kami saat ini semua di luar kendaliku," ucap Agam memelas. "Widia, apa yang kamu inginkan sekarang dari Agam?" Akbar melempar pandangannya ke arah sang putri. "Aku mau kita cerai!" ucap Widia tegas. "Widia, pikir-pikir dulu keinginanmu itu. Bercerai adalah hal yang paling dibenci oleh Allah," sela Rini sembari menyusut air matanya sendiri. "Kalau Ayah setuju dengan Widia. Sejak awal pernikahan, Agam pernah berjanji akan setia kepada Widia seorang. Tapi janji itu nggak bisa dia penuhi sekarang!" Akbar mendukung penuh keinginan Widia. Dia masih muda, masih ada kesempatan untuk mendapatkan pasangan lain yang jauh lebih baik dari Agam, begitu pikir orang tua itu. "Ayah, Ibu ... apa pun yang terjadi aku nggak mau menceraikan Widia!" Agam bersikukuh. Obrolan keluarga hari itu sama sekali tidak menghasilkan titik temu. Widia dan Agam sama-sama teguh dengan pendiriannya. Hasilnya, Rini meminta Agam untuk pulang ke rumah dan membiarkan Widia tinggal bersama mereka sementara waktu. Menurutnya, Widia butuh ketenangan untuk berpikir dan mengambil keputusan yang tepat pada hubungan rumah tangga mereka. *** Rini menyarankan Widia untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan meminta ampun atas kesalahan yang pernah dia perbuat semasa hidup. Siapa tahu, hal buruk yang sedang menimpanya saat ini adalah teguran halus dari Sang Pencipta. Widia seorang muslim, tapi untuk ibadah seperti sholat dan puasa dia masih bolong-bolong. Apa lagi pria yang menjadi imamnya juga belum bisa memberikan contoh dan bimbingan yang baik soal beribadah. Selesai sholat Isya, Widia pergi ke dapur. Dia membuat secangkir teh manis dan berjalan ke luar menuju halaman belakang. Widia merenung, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kenangan indah yang pernah dia dan suaminya lalui bersama. Sangat disayangkan jika hubungan tujuh tahun terakhir harus berakhir begitu saja karena orang ketiga. Apa lagi Widia tahu kalau seorang pria diperbolehkan menikah lebih dari satu kali. Akan tetapi, rasa cemburu dan ego yang bersarang di hati Widia begitu besar, hingga dia tetap memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan Agam daripada bertahan. "Widia, ada telepon." Rini menghampiri Widia dan menyerahkan ponsel anaknya itu. "Dari siapa, Bu?" tanya Widia penasaran. "Dari Sarah, istri kedua suamimu," sahut Rini. Widia menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. Dia mencoba untuk menahan diri agar tidak marah-marah lewat di telepon. "Ada apa kamu menelepon aku, Sarah?" tanya Widia ketus. "Ayo kita ketemuan, Wid," ajak Sarah. "Aku nggak mau! Saat ini aku sedang berada di rumah orangtuaku," tolak Widia mentah-mentah. "Mari kita selesaikan masalah kita agar nggak terus berkepanjangan, Widia. Aku butuh kita bertemu," paksa Sarah. Widia tampak terdiam sejenak. "Baiklah kalau itu maumu. Ayo kita bertemu di cafe DMD jam sepuluh pagi besok!" ujar wanita itu akhirnya. "Oke, aku akan tiba di sana sepuluh menit lebih awal," janji Sarah. "Jangan ajak Mas Agam. Aku lagi nggak mau lihat wajahnya yang menyebalkan itu!" "Oke." Klik! Widia mematikan telepon secara sepihak. Dia tidak mau berlama-lama bicara dengan Sarah. Selain membuang waktu, hal itu juga bisa memancing emosinya yang sudah mulai menurun untuk kembali naik ke permukaan. "Dia mengajakmu bertemu?" tanya Rini. "Iya, Bu." Widia menyandarkan kepala dan punggungnya yang terasa berat ke tembok. "Sepertinya dia wanita baik-baik. Tolong pikirkan lagi soal rencanamu untuk bercerai dari Agam. Apalagi madumu itu sepertinya bisa diajak hidup berdampingan," nasehat Rini. "Bu, aku bukanlah Ibu yang bisa menerima poligami dengan mudah demi mendapat jaminan surga di akhirat kelak. Aku hanya wanita yang imannya setipis tisu dibagi tujuh, yang masih mengutamakan kewarasan mental dan kebahagiaan diri sendiri. Jadi, tolong berhenti memaksaku untuk bertahan dengan alasan apapun!" ucap Widia tegas. Wajahnya memerah, jelas sekali dia sangat marah pada ibunya. Kalau sudah seperti itu, Rini lebih memilih pergi meninggalkan Widia sendirian dan kembali mengajaknya berbicara jika sudah tenang. Bersambung....Cafe DMD, pukul 10.00 pagi. Widia melihat ke segala penjuru cafe, mencari keberadaan Sarah, mantan sahabatnya. Rupanya wanita cantik itu sudah berada di sana, sedang duduk manis di kursi paling belakang dekat jendela sambil melamun. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya, yang jelas Widia tak lagi menaruh kepercayaan dan simpati terhadapnya. Widia menghampiri Sarah, dia menarik kursi dan duduk menghadap wanita berambut panjang itu. Sarah melempar senyum kecil, dia memasang wajah ramah seolah-olah tidak ada masalah dalam hubungan persahabatan mereka. "Hal apa yang mau kamu bicarakan denganku?" tanya Widia terus terang. "Aku mau minta maaf sama kamu. Aku harap hubungan persahabatan kita bisa kembali baik seperti dulu," ucap Sarah. "Aku sudah memaafkan kamu. Dalam kasus ini, suamiku yang paling bersalah. Tapi jangan harap hubungan kita bisa kembali harmonis seperti dulu," tegas Widia. Sarah menggigit ujung bibirnya, dia menangis tanpa suara. Jelas sekali ada penyesalan yang
Rini memperhatikan Widia yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Dia nampak serius memotong sayur dan bahan makanan lainnya. Rasa iba muncul di hati Rini pada Widia, baru saja berumur dua puluh delapan tahun sudah mau jadi janda. Padahal, teman-temannya yang lain sudah memiliki anak dua atau bahkan tiga. Nasib orang memang tidak ada yang tahu, dan segala hal yang terjadi pada mahluk hidup di muka bumi ini sudah ada yang mengaturnya. Sebagai manusia, kita hanya bisa menjalaninya serta menerima dengan lapang dada. Tak terasa air mata Rini jatuh membasahi pipi, dia segera menyekanya sebelum Widia melihatnya menangis. "Mau Ibu bantu nggak, Wid?" tanya Rini sambil berjalan menghampiri putrinya. "Mau Bu, biar cepat selesai," sahut Widia. "Mau masak apa hari ini?" "Sup ayam, tahu goreng dan sambal tomat," "Di kulkas ada ikan bawal, kenapa nggak sekalian dimasak?" "Nggak Bu, Widia kesal kalo lihat ikan bawal. Jadi ingat sama Mas Agam Bu," ujar Widia. Karena memang Ag
Hari yang paling ditunggu oleh Widia tiba, hari dimana dia resmi menyandang gelar seorang janda. Proses perceraian keduanya berjalan lancar tanpa hambatan apapun. Widia juga tidak menuntut harta gono-gini pada mantan suaminya untuk menghindari gesekan dengan Sarah dimasa depan. Berita tentang perceraian Widia dan Agam tersebar, tetangga rumah Widia syok saat mendengarnya. Selama ini rumah tangga Widia terlihat adem ayem tanpa gosip miring dan isu buruk lainnya walaupun Widia belum punya anak setelah sekian lama menikah. "Nggak nyangka ya Bu, Widia bakal cerai sama suaminya," ucap salah seorang tetangga yang sedang belanja sayur pada penjual sayur keliling. Kebetulan penjual sayur itu biasa mangkal di depan gerbang rumah Widia. "Wajar sih Bu mereka berdua cerai, jarang sekali ada suami mau menerima istri mandul," sambung ibu-ibu yang lain. "Jadi Widia mandul?" si tukang sayur melongo tak percaya. "Sepertinya begitu Bang," sahut dua ibu-ibu tukang gosip itu kompak. Sayup-sayu
Empat bulan kemudian.... Hari-hari yang Widia lalui tanpa Agam sungguh terasa berat. Semua kenangan manis yang pernah mereka lalui bersama terkadang masih melintas dalam ingatannya. Ternyata mencoba untuk segera move on itu tidak semudah membalikan telapak tangan, jerat rindu terasa sangat menyiksa jiwa dan raga. Sudah waktunya bagi Widia mencari aktifitas lain di luar rumah. Hari itu Widia memutuskan untuk pergi ke restoran milik temannya bernama Varo untuk mencari pekerjaan di sana. Hubungannya dengan Vina memang tidak begitu dekat, tapi Widia tau Varo adalah teman yang bisa diandalkan. Restoran Pesona Alam lumayan ramai siang itu. Wajar saja, Widia datang pas dengan jam makan siang. Widia mematung sejenak mencari keberadaan Vana diantara beberapa pegawai berseragam pink, beberapa menit kemudian akhirnya Widia bisa menemukan sosok pria bertubuh tinggi kurus itu. "Varo....!" panggil Widia sambil melambaikan tangan kanannya. Varo menoleh ke arah Widia, kemudian melempar senyum.
Widia menyambut paginya dengan ceria dan penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, dia harus melakukan segalanya dengan baik dan sempurna agar tidak mengecewakan teman sekaligus Bosnya. Awalnya Widia mengira berdiri selama tiga belas jam di dapur tidak akan menjadi masalah, tapi yang terjadi baru saja tiga jam berdiri kaki Widia terasa pegal dan kesemutan. Ini bukan faktor usia, tapi memang Widia tidak pernah berdiri dalam waktu lama. Sesekali Widia mengayun-ayunkan kan kakinya ke kanan dan ke kiri secara bergantian agar peredaran darahnya lancarnya. Dia terlihat seperti anak katak yang sedang belajar menari dan memancing tawa orang di sekitarnya. "Sepertinya kamu nggak biasa kerja keras," celetuk pria berseragam koki yang berdiri tak jauh dari widia. Dia berusaha menahan senyum karena ulah lucu Widia sambil membolak balik sayuran yang sedang dimasaknya di atas wajan. "Aku biasa kerja keras kok, hanya saja aku sudah lama nggak melakukannya," Widia meringis. "Oh
Pulang kerja, Widia merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Dia menutup matanya sebentar sambil menikmati sensasi pegal libu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Susahnya cari uang, tapi lebih susah lagi kalau tidak punya uang. Pikiran Widia teringat pada omongan teman kerjanya tadi, nampak jelas kalau dia merasa iri dan dengki pada Widia. Padahal, Widia tidak melakukan apapun yang merugikan orang lain selama bekerja di sana. Sepertinya Widia harus banyak bersabar, dia juga tidak bisa memuaskan semua orang untuk suka padanya bukan? Merasa cukup beristirahat, Widia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia berganti pakaian, menunaikan solat isya lalu pergi ke dapur untuk mencari camilan. Widia sudah makan di tempat kerja, tapi saat ini mulutnya ingin ngemil makanan manis-manis. "Belum tidur Nak?" Rini muncul sambil menenteng gelas kosong. "Belum, aku lapar pengen ngemil," sahut Widia. "Di kulkas ada biskuit, Ibu baru beli tadi," "Kok Ibu belum tidur?" tanya Wid
Ting .... Tong .... Bel berdering, Widia meninggalkan dapur untuk membuka pintu dan melihat siapa tamu yang datang. Alangkah terkejutnya Widia saat tau yang datang adalah Dokter Dion. 'Dari mana dia tau alamat rumahku? Mau apa dia datang kemari?' batin Widia. "Hallo, Wid. Kita bertemu lagi," Dion menyunggingkan senyum kecil. "Pak Dokter tau rumahku dari mana?" "Dari Bapakku lah, aku kesini mau ambil kacamata punya Bapak yang ketinggalan," "Bapak? Oh ..... Jadi Pak Dokter ini anaknya ...." "Iya, betul sekali. Pangling ya sama aku?" Widia memperhatikan Dion dari ujung kepala sampai ujung kaki, dia yang dulu berbeda sekali dengan dia yang sekarang. Wajar jika Widia tidak mengenali Dion, pria itu berubah begitu banyak. Ibarat kata, dulu Dion seperti burung hantu, sekarang berubah jadi burung merpati. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?" "Ah, nggak kok, nggak ada yang salah. Ayo masuk, aku ambilkan kacamatanya dulu," Dion masuk ke dal
Widia bersiap melakukan pekerjaannya dengan baik, dia sangat berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin. Selesai melakukan pekerjaannya, Widia mendekati koki yang biasa dipanggil Om Oby untuk membantunya menyiapkan bahan makanan. Widia harus memiliki teman dekat agar aman dan tidak ada yang mengganggunya tempat kerja, dia harus mulai dengan mendekati orang yang paling berpengaruh di tempat itu dulu yaitu si koki. "Siapa pria yang mengantarmu tadi? Pacar kah?" tanya Oby sambil menyunggingkan senyum. "Bukan Om, dia temanku," sahut Widia. "Yakin hanya teman? Dia menatapmu dengan mata berbinar, sepertinya dia naksir kamu," goda Oby. "Om pengalaman sekali, dari mana Om belajar menilai orang dalam sekali pandang?" Widia berkerut dahi. "Waktu akan mengajarimu banyak hal, aku nggak belajar dari siapa-siapa. Biasanya pria kalau naksir cewek pasti tatapan matanya begitu," "Dia memang naksir sama aku Om, tapi aku belum siap buat memulai hubungan baru. Aku
Sarah mencoba untuk menghibur Agam, dia membeli alat pancing baru berharga mahal agar Agam semangat menyalurkan hobinya itu saat sedang libur. Reaksi dari Agam diluar dugaan, begitu datar dan dingin. Tidak ada senyum apa lagi kata terimakasih.Kehilangan orang yang paling dicintai memang menyedihkan, tapi dulu Agam juga pernah berkata akan mencintai Sarah dan menyayangi Sarah sama seperti Widia. Tapi yang terjadi kini malah kebalikannya, Sarah kecewa pada Agam."Apa Mas sudah nggak cinta sama aku lagi?" Tanya Sarah pada Agam."Tentu saja aku masih cinta sama kamu," ucap Agam tanpa menoleh kearah Sarah."Bohong! Mas hanya mencintai Widia seorang, aku bisa lihat itu dari duka mendalam-mu saat ini. Ditinggal nikah oleh Widia seperti ditinggal mati saja," celetuk Sarah kesal."Sarah, jaga ucapanmu!""Jangan marah, memang itu kenyataanya. Mas nggak bisa move on dari Widia, atau lebih tepatnya menolak untuk move on. Mas, jika Mas nggak bisa mencintai aku seperti dulu maka ceraikan saja aku,
Widia dan Dion akhirnya sah menjadi pasangan suami istri, keduanya melangsungkan acara pernikahan secara sederhana agar terkesan lebih sakral. Hanya kerabat dan sahabat dekat saja yang diundang, termasuk Bu Endah dan Agam mantan suami Widia. Agam tidak datang ke acara itu, Endah datang seorang diri sekaligus mewakili anaknya untuk mengucapkan selamat. Endah merasa sedikit iri saat itu, Widia terlihat sangat bahagia dengan suami barunya. Sementara Agam? Meski dia sudah punya anak, Agam belum sepenuhnya bisa merasakan bahagia. "Selamat menempuh hidup baru, semoga samawa," ucap Endah sambil menyalami Widia dan Dion. "Terimakasih Bu. Sarah dan Mas Agam mana? Nggak ikut datang?" Widia basa-basi. Padahal dia sudah tau kalau dua orang itu tidak akan datang ke acaranya. "Maaf, mereka tidak bisa datang karena sedang sibuk mengurus si kecil. Sarah juga belum terlalu fit untuk keluar rumah," sahut Endah. "Ah, iya. Tidak apa apa, sampaikan salamku padanya," "Nanti Ibu sampaikan pada m
Berkali-kali Endah menasehati Agam agar bisa melupakan mantan istrinya, tapi nyatanya nasihat itu tidak dipakai. Agam tetap saja menginginkan wanita itu kembali, bahkan saat wanita itu telah menjadi tunangan pria lain.Walaupun hidup Widia kini terlihat jauh lebih beruntung daripada hidup Agam, setidaknya Agam bisa memiliki keturunan dari Sarah. Sampai detik ini Endah yakin kalau Widia mandul, oleh karena itu dia tidak kunjung hamil saat menjadi istri dari Agam."Ayo temui anak dan istrimu di dalam," ajak Endah pada Agam."Ibu saja yang masuk duluan, nanti aku nyusul," sahut Agam lesu."Mau sampai kapan kamu melamun disini? Apa kamu sedang meratapi Widia? Sudahlah, lupakan wanita mandul itu!""Dia nggak mandul Bu, aku sendiri yang membaca hasil pemeriksaannya,""Kalau dia nggak mandul, lalu siapa yang mandul? Kamu? Pasti Widia yang mandul, buktinya kamu bisa punya anak setelah menikah dengan Sarah,""Berhenti menjelekan Widia Bu!" bentak Agam."Sudah lah, jangan bahas dia lagi. Ayo ce
Pagi buta, pinggang Sarah terasa pegal dan perut bagian bawahnya terasa panas. Mungkin ini sudah waktunya melahirkan, dia segera menghampiri suaminya di ruang tamu. Seperti biasa kalau ada bola, Agam suka nonton sampai ketiduran di atas sofa. "Mas, bangun," Sarah menggoyang-goyangkan tubuh suaminya. "Hem...." lirih Agam. Dia malas membuka mata dan memilih untuk mengabaikan istrinya. "Mas, bangun. Punggung dan perutku sakit, sepertinya aku mau melahirkan," ucap Sarah sambil merintih. Agam membuka mata, dia duduk dan mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih ada di dalam mimpi. Dia memperhatikan istrinya, keringat keluar sebesar biji jagung, juga nampak sedikit pucat. "Ayo kita ke rumah sakit sekarang," "Ayo, aku kabari Ibuku dulu," Agam mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Ibunya. Setelah itu dia pergi ke rumah sakit. *** Tiba di rumah sakit, Sarah makin kuat menangis. Karena sakit yang dia rasakan makin sering dan semakin sakit. Pembukaan sudah menuju lengkap, tap
Tit... Tit... Tit...Terdengar suara klakson mobil beberapa kali di halaman rumah Widia, Akbar membuka pintu dan keluar dari rumah. Dia syok melihat sebuah mobil mewah berwarna ngejreng terparkir disana.'Mobil siapa itu? Bagus sekali,' gumam Akbar dalam hati.Widia menyusul Akbar, dia penasaran dengan tamu yang berkunjung ke rumahnya pagi itu. Tak lama, pintu mobil terbuka, Dion dan seorang pria asing seperti supir pribadi keluar dari dalam mobil itu.Widia ternganga, Dion benar-benar membelikannya mobil baru. Bahkan bentuknya bagus juga cantik. Cocok sekali jika dikendarai oleh perempuan. Ternyata Dion menepati janji yang baru dia buat semalam, Widia merasa tersentuh."Pagi Wid, pak" sapa Dion ramah."Pagi, mobil baru nih," ucap Akbar."Iya pak, aku beli buat Widia,""Oh.... Apa? Buat Widia?""Iya, sekalian aku kasih supir satu, namanya Edi.""Baik sekali kamu ya, baru jadi tunangan sudah kasih mobil. Anakku benar benar beruntung punya calon suami royal,""Jangan berlebihan mujinya
Widia keluar rumah untuk mengantarkan kue pesanan sahabatnya, dia kaget dengan tatapan para tetangga yang berubah pada dirinya. Padahal tidak ada yang salah dengan penampilannya hari ini, busana bebas tapi sopan. Apa karena statusnya yang kini menjadi tunangan seorang dokter? Mana bujang pula. "Mau kemana Neng?" tanya tetangga rumah Widia "Antar pesanan kue Bu," sahut Widia singkat. "Sekarang jadi tampil cantik terus ya, bawaanya ceria," sambung tetangga satunya lagi. "Ya... iya lah, calon suaminya kan dokter. Biar nggak ke banting nanti. Ha.... Ha.... Ha...." celetuk yang satunya lagi tanpa dosa. Widia kesal, dia memilih untuk diam dan segera pergi dari tempat itu. Padahal bisa saja Widia menanggapinya, tapi dia tidak mau ribut dan bertengkar dengan tetangga sendiri. Hidup punya tetangga julid memang membuat hati dan pikiran pusing. Widia harus punya banyak stok sabar dan membuat telinganya tuli dari omongan tetangga kanan kiri. Kalau tidak, dia bisa mati muda karena terke
Malam itu, Widia tampil cantik dengan mengenakan baju kurung khas Melayu dan make up sedikit menor. Jangankan orang tuanya, Varo, dan Celine pangling dengan penampilan Widia saat itu. Bisa dipastikan Dion dan Ayahnya akan pangling juga."Alhamdulillah, anak ibu cepat dapat calon suami. Mudah mudahan sama yang ini bisa langgeng sampai tua ya," Rini menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipi. Rasa sedih bercampur haru menyelimuti hati wanita paruh baya itu.Tak hanya Rini, Akbar juga ikut menahan haru. Pasalnya dia dan Juned yang memiliki rencana menjodohkan Dion dengan Widia. Baru mau lamaran saja sudah begini apa lagi menikah nanti? Mungkin Akbar akan menangis sesenggukan.Rini dan Akbar telah membesarkan Widia dari bayi hingga dewasa, mereka tak rela anaknya disakiti oleh pria manapun. Siang malam mereka berdoa semoga Widia diberi pengganti yang jauh lebih baik dari Agam dan Tuhan malah memberinya lebih. Dion, bujang tampan, pintar, baik dan juga seorang dokter tajir.Ingin rasany
Dion tidak bisa tidur semalaman, dia terus membayangkan kejadian tadi siang saat dirinya mencium pipi Widia. Janda cantik itu terpaku, wajahnya memerah karena malu. Banyak pengunjung yang melihat kejadian tadi, wajar saja kalau Widia merasa malu. Saat cemburu, seorang pria bisa melakukan hal gila. Tapi Dion tak menyangka dirinya akan segila itu, mencium seorang janda ditempat umum. Beruntung Widia mau memaafkannya, tapi mungkin mulai detik ini dia akan menjaga jarak dengan Dion. "Sebaiknya besok aku datang saja ke sana dan melamarnya, takut keduluan mantan suaminya datang minta rujuk," ucap Dion. Dion mengambil ponselnya, dia mengirim pesan singkat pada Widia. "Besok malam, aku akan datang ke rumahmu bersama dengan Ayahku. Aku mau melamar mu," tulis Dion di ponsel dan mengirimkannya pada nomor wisuda. Tring... Bunyi pesan masuk di ponsel Widia. Widia yang sudah bersiap pergi tidur langsung bangun dan memeriksa ponselnya. "Hah? Dion besok mau kesini untuk melamar ku? Baga
Widia baru saja selesai mengantar pesanan kue dari sahabatnya, dalam perjalanan pulang dia mampir ke rumah makan padang untuk membeli tiga bungkus makanan enak khas Nusantara itu. Widia memarkir sepeda motornya, mencopot helm dan bersiap masuk ke dalam rumah makan. Tiba-tiba saja Agam muncul, dia menahan langkah kaki Widia dengan menarik tangannya. Widia yang panik langsung berontak, tapi cengkraman Agam begitu kuat hingga tidak bisa di lepaskan. "Mas, lepaskan aku!" "Nggak, aku mau kita bicara," "Mau bicara soal apa Mas? Sampai-sampai Mas perlu mencengkram lenganku sekuat ini? Tolong lepaskan aku Mas," "Berjanjilah kamu nggak akan kabur," "Iya, aku janji nggak akan kabur," Agam melepaskan cengkraman tangannya, Widia menggerakkan lengannya ke kanan dan ke kiri untuk menghempas rasa linu yang tadi hinggap. Keduanya masuk ke dalam rumah makan, menarik kursi dan duduk berhadapan. Widia tau bicara dengan jarak sedekat itu dengan suami orang adalah sebuah kesalahan, tapi di