Keesokan harinya, Widia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
Agam langsung mengantarnya ke rumah orang tua Widia. Sepanjang perjalanan wanita itu terus menutup mulutnya. Pandangan matanya kosong dan tangannya sibuk meremas-remas ujung dress yang dia kenakan. Agam sedikit cemas, wanita itu pasti akan mengadu kepada orang tuanya tentang hubungan Agam dengan Sarah. Sudah pasti ayah dan ibu Widia akan mengamuk dan meminta Agam untuk menceraikan Widia. "Kamu mau menginap berapa hari di rumah Ibu?" tanya Agam memecah kesunyian. "Aku nggak tahu. Mungkin selamanya," sahut Widia sekenanya. "Aku nggak ngizinin kamu menetap di rumah ibu selamanya. Aku butuh kamu!" protes Agam. "Bukankah Mas sudah punya Sarah? Dia sedang hamil muda sekarang. Mas harus selalu ada untuknya," imbuh Widia sebal. "Apa ibuku yang memberitahumu soal itu?" tebak Agam tepat sasaran. "Iya." Widia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia mencoba menyembunyikan air mata yang hendak menetes dari Agam. "Widia, aku minta maaf soal kebohongan yang udah aku lakukan ke kamu. Tapi kamu harus tahu, aku cinta kamu, Wid. Sampai kapan pun kamu akan menjadi nomor satu di hatiku," tutur Agam panjang lebar. "Aku nggak bakal percaya lagi dengan omongan manismu, Mas! Dulu, Mas janji akan setia padaku! Tapi apa yang terjadi sekarang malah sebaliknya!" sergah Widia keras. Waktu membuat Widia semakin kuat dan tegar dalam menghadapi takdir asmaranya yang begitu pahit. Dia tidak mau menangis untuk Agam lagi, air matanya terlalu berharga untuk dikeluarkan sia-sia. Meski begitu, Widia masih bimbang untuk meminta cerai dari Agam. Rasa sayang di hatinya masih ada, meski sudah ternodai oleh sebuah pengkhianatan. Mobil yang mereka tumpangi tiba di depan sebuah rumah sederhana. Rumah orang tua Widia yang lima puluh persennya masih terbuat dari kayu. Mendengar suara mobil terparkir, Akbar dan Rini—orang tua Widia— keluar dari dalam rumah. Widia dan Agam pun keluar dari dalam mobil bersamaan. Mereka menghampiri dan menyalami dua orang tua itu. "Tumben mau datang nggak kasih kabar dulu ke Ayah sama Ibu?" Rini menyunggingkan senyum kecil. Widia langsung memeluk tubuh ibunya erat, dia menangis tersedu-sedu dan membuat kedua orang tuanya bingung. Sementara Agam hanya menatap pilu, dia tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun dari dalam mulutnya. "Ada apa masalah apa, Widia? Kenapa kamu menangis?" Akbar menepuk pundak putrinya pelan. Bukannya menjawab, tangis widia malah semakin pecah. "Ayo kita masuk ke rumah dulu! Kita cerita di dalam," ajak Rini. Widia memberanikan diri untuk mengungkap segala permasalahan dalam rumah tangganya. Rini yang syok hanya diam sambil menangis, mulutnya seolah kaku tak bisa berbicara. Dia tak menyangka menantu pilihannya yang dianggap baik, pada akhirnya tega menyakiti hati putri kesayangannya. "Ayah sudah pernah bilang padamu Agam, kalau kamu sudah tidak mencintai Widia kembalikan dia kepada Ayah. Jangan sakiti perasaan Widia seperti ini," cicit Akbar. Dia tak terima anak kesayangannya dimadu, padahal Akbar sendiri memiliki dua istri. Tapi istri kedua Akbar telah lama meninggal dunia karena sakit. "Aku masih sangat mencintai Widia, Ayah. Apa yang terjadi di antara kami saat ini semua di luar kendaliku," ucap Agam memelas. "Widia, apa yang kamu inginkan sekarang dari Agam?" Akbar melempar pandangannya ke arah sang putri. "Aku mau kita cerai!" ucap Widia tegas. "Widia, pikir-pikir dulu keinginanmu itu. Bercerai adalah hal yang paling dibenci oleh Allah," sela Rini sembari menyusut air matanya sendiri. "Kalau Ayah setuju dengan Widia. Sejak awal pernikahan, Agam pernah berjanji akan setia kepada Widia seorang. Tapi janji itu nggak bisa dia penuhi sekarang!" Akbar mendukung penuh keinginan Widia. Dia masih muda, masih ada kesempatan untuk mendapatkan pasangan lain yang jauh lebih baik dari Agam, begitu pikir orang tua itu. "Ayah, Ibu ... apa pun yang terjadi aku nggak mau menceraikan Widia!" Agam bersikukuh. Obrolan keluarga hari itu sama sekali tidak menghasilkan titik temu. Widia dan Agam sama-sama teguh dengan pendiriannya. Hasilnya, Rini meminta Agam untuk pulang ke rumah dan membiarkan Widia tinggal bersama mereka sementara waktu. Menurutnya, Widia butuh ketenangan untuk berpikir dan mengambil keputusan yang tepat pada hubungan rumah tangga mereka. *** Rini menyarankan Widia untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan meminta ampun atas kesalahan yang pernah dia perbuat semasa hidup. Siapa tahu, hal buruk yang sedang menimpanya saat ini adalah teguran halus dari Sang Pencipta. Widia seorang muslim, tapi untuk ibadah seperti sholat dan puasa dia masih bolong-bolong. Apa lagi pria yang menjadi imamnya juga belum bisa memberikan contoh dan bimbingan yang baik soal beribadah. Selesai sholat Isya, Widia pergi ke dapur. Dia membuat secangkir teh manis dan berjalan ke luar menuju halaman belakang. Widia merenung, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kenangan indah yang pernah dia dan suaminya lalui bersama. Sangat disayangkan jika hubungan tujuh tahun terakhir harus berakhir begitu saja karena orang ketiga. Apa lagi Widia tahu kalau seorang pria diperbolehkan menikah lebih dari satu kali. Akan tetapi, rasa cemburu dan ego yang bersarang di hati Widia begitu besar, hingga dia tetap memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan Agam daripada bertahan. "Widia, ada telepon." Rini menghampiri Widia dan menyerahkan ponsel anaknya itu. "Dari siapa, Bu?" tanya Widia penasaran. "Dari Sarah, istri kedua suamimu," sahut Rini. Widia menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. Dia mencoba untuk menahan diri agar tidak marah-marah lewat di telepon. "Ada apa kamu menelepon aku, Sarah?" tanya Widia ketus. "Ayo kita ketemuan, Wid," ajak Sarah. "Aku nggak mau! Saat ini aku sedang berada di rumah orangtuaku," tolak Widia mentah-mentah. "Mari kita selesaikan masalah kita agar nggak terus berkepanjangan, Widia. Aku butuh kita bertemu," paksa Sarah. Widia tampak terdiam sejenak. "Baiklah kalau itu maumu. Ayo kita bertemu di cafe DMD jam sepuluh pagi besok!" ujar wanita itu akhirnya. "Oke, aku akan tiba di sana sepuluh menit lebih awal," janji Sarah. "Jangan ajak Mas Agam. Aku lagi nggak mau lihat wajahnya yang menyebalkan itu!" "Oke." Klik! Widia mematikan telepon secara sepihak. Dia tidak mau berlama-lama bicara dengan Sarah. Selain membuang waktu, hal itu juga bisa memancing emosinya yang sudah mulai menurun untuk kembali naik ke permukaan. "Dia mengajakmu bertemu?" tanya Rini. "Iya, Bu." Widia menyandarkan kepala dan punggungnya yang terasa berat ke tembok. "Sepertinya dia wanita baik-baik. Tolong pikirkan lagi soal rencanamu untuk bercerai dari Agam. Apalagi madumu itu sepertinya bisa diajak hidup berdampingan," nasehat Rini. "Bu, aku bukanlah Ibu yang bisa menerima poligami dengan mudah demi mendapat jaminan surga di akhirat kelak. Aku hanya wanita yang imannya setipis tisu dibagi tujuh, yang masih mengutamakan kewarasan mental dan kebahagiaan diri sendiri. Jadi, tolong berhenti memaksaku untuk bertahan dengan alasan apapun!" ucap Widia tegas. Wajahnya memerah, jelas sekali dia sangat marah pada ibunya. Kalau sudah seperti itu, Rini lebih memilih pergi meninggalkan Widia sendirian dan kembali mengajaknya berbicara jika sudah tenang. Bersambung....Cafe DMD, pukul 10.00 pagi. Widia melihat ke segala penjuru cafe, mencari keberadaan Sarah, mantan sahabatnya. Rupanya wanita cantik itu sudah berada di sana, sedang duduk manis di kursi paling belakang dekat jendela sambil melamun. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya, yang jelas Widia tak lagi menaruh kepercayaan dan simpati terhadapnya. Widia menghampiri Sarah, dia menarik kursi dan duduk menghadap wanita berambut panjang itu. Sarah melempar senyum kecil, dia memasang wajah ramah seolah-olah tidak ada masalah dalam hubungan persahabatan mereka. "Hal apa yang mau kamu bicarakan denganku?" tanya Widia terus terang. "Aku mau minta maaf sama kamu. Aku harap hubungan persahabatan kita bisa kembali baik seperti dulu," ucap Sarah. "Aku sudah memaafkan kamu. Dalam kasus ini, suamiku yang paling bersalah. Tapi jangan harap hubungan kita bisa kembali harmonis seperti dulu," tegas Widia. Sarah menggigit ujung bibirnya, dia menangis tanpa suara. Jelas sekali ada penyesalan yang
Rini memperhatikan Widia yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Dia nampak serius memotong sayur dan bahan makanan lainnya. Rasa iba muncul di hati Rini pada Widia, baru saja berumur dua puluh delapan tahun sudah mau jadi janda. Padahal, teman-temannya yang lain sudah memiliki anak dua atau bahkan tiga. Nasib orang memang tidak ada yang tahu, dan segala hal yang terjadi pada mahluk hidup di muka bumi ini sudah ada yang mengaturnya. Sebagai manusia, kita hanya bisa menjalaninya serta menerima dengan lapang dada. Tak terasa air mata Rini jatuh membasahi pipi, dia segera menyekanya sebelum Widia melihatnya menangis. "Mau Ibu bantu nggak, Wid?" tanya Rini sambil berjalan menghampiri putrinya. "Mau Bu, biar cepat selesai," sahut Widia. "Mau masak apa hari ini?" "Sup ayam, tahu goreng dan sambal tomat," "Di kulkas ada ikan bawal, kenapa nggak sekalian dimasak?" "Nggak Bu, Widia kesal kalo lihat ikan bawal. Jadi ingat sama Mas Agam Bu," ujar Widia. Karena memang Ag
Hari yang paling ditunggu oleh Widia tiba, hari dimana dia resmi menyandang gelar seorang janda. Proses perceraian keduanya berjalan lancar tanpa hambatan apapun. Widia juga tidak menuntut harta gono-gini pada mantan suaminya untuk menghindari gesekan dengan Sarah dimasa depan. Berita tentang perceraian Widia dan Agam tersebar, tetangga rumah Widia syok saat mendengarnya. Selama ini rumah tangga Widia terlihat adem ayem tanpa gosip miring dan isu buruk lainnya walaupun Widia belum punya anak setelah sekian lama menikah. "Nggak nyangka ya Bu, Widia bakal cerai sama suaminya," ucap salah seorang tetangga yang sedang belanja sayur pada penjual sayur keliling. Kebetulan penjual sayur itu biasa mangkal di depan gerbang rumah Widia. "Wajar sih Bu mereka berdua cerai, jarang sekali ada suami mau menerima istri mandul," sambung ibu-ibu yang lain. "Jadi Widia mandul?" si tukang sayur melongo tak percaya. "Sepertinya begitu Bang," sahut dua ibu-ibu tukang gosip itu kompak. Sayup-sayu
Empat bulan kemudian.... Hari-hari yang Widia lalui tanpa Agam sungguh terasa berat. Semua kenangan manis yang pernah mereka lalui bersama terkadang masih melintas dalam ingatannya. Ternyata mencoba untuk segera move on itu tidak semudah membalikan telapak tangan, jerat rindu terasa sangat menyiksa jiwa dan raga. Sudah waktunya bagi Widia mencari aktifitas lain di luar rumah. Hari itu Widia memutuskan untuk pergi ke restoran milik temannya bernama Varo untuk mencari pekerjaan di sana. Hubungannya dengan Vina memang tidak begitu dekat, tapi Widia tau Varo adalah teman yang bisa diandalkan. Restoran Pesona Alam lumayan ramai siang itu. Wajar saja, Widia datang pas dengan jam makan siang. Widia mematung sejenak mencari keberadaan Vana diantara beberapa pegawai berseragam pink, beberapa menit kemudian akhirnya Widia bisa menemukan sosok pria bertubuh tinggi kurus itu. "Varo....!" panggil Widia sambil melambaikan tangan kanannya. Varo menoleh ke arah Widia, kemudian melempar senyum.
Widia menyambut paginya dengan ceria dan penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, dia harus melakukan segalanya dengan baik dan sempurna agar tidak mengecewakan teman sekaligus Bosnya. Awalnya Widia mengira berdiri selama tiga belas jam di dapur tidak akan menjadi masalah, tapi yang terjadi baru saja tiga jam berdiri kaki Widia terasa pegal dan kesemutan. Ini bukan faktor usia, tapi memang Widia tidak pernah berdiri dalam waktu lama. Sesekali Widia mengayun-ayunkan kan kakinya ke kanan dan ke kiri secara bergantian agar peredaran darahnya lancarnya. Dia terlihat seperti anak katak yang sedang belajar menari dan memancing tawa orang di sekitarnya. "Sepertinya kamu nggak biasa kerja keras," celetuk pria berseragam koki yang berdiri tak jauh dari widia. Dia berusaha menahan senyum karena ulah lucu Widia sambil membolak balik sayuran yang sedang dimasaknya di atas wajan. "Aku biasa kerja keras kok, hanya saja aku sudah lama nggak melakukannya," Widia meringis. "Oh
Pulang kerja, Widia merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Dia menutup matanya sebentar sambil menikmati sensasi pegal libu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Susahnya cari uang, tapi lebih susah lagi kalau tidak punya uang. Pikiran Widia teringat pada omongan teman kerjanya tadi, nampak jelas kalau dia merasa iri dan dengki pada Widia. Padahal, Widia tidak melakukan apapun yang merugikan orang lain selama bekerja di sana. Sepertinya Widia harus banyak bersabar, dia juga tidak bisa memuaskan semua orang untuk suka padanya bukan? Merasa cukup beristirahat, Widia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia berganti pakaian, menunaikan solat isya lalu pergi ke dapur untuk mencari camilan. Widia sudah makan di tempat kerja, tapi saat ini mulutnya ingin ngemil makanan manis-manis. "Belum tidur Nak?" Rini muncul sambil menenteng gelas kosong. "Belum, aku lapar pengen ngemil," sahut Widia. "Di kulkas ada biskuit, Ibu baru beli tadi," "Kok Ibu belum tidur?" tanya Wid
Ting .... Tong .... Bel berdering, Widia meninggalkan dapur untuk membuka pintu dan melihat siapa tamu yang datang. Alangkah terkejutnya Widia saat tau yang datang adalah Dokter Dion. 'Dari mana dia tau alamat rumahku? Mau apa dia datang kemari?' batin Widia. "Hallo, Wid. Kita bertemu lagi," Dion menyunggingkan senyum kecil. "Pak Dokter tau rumahku dari mana?" "Dari Bapakku lah, aku kesini mau ambil kacamata punya Bapak yang ketinggalan," "Bapak? Oh ..... Jadi Pak Dokter ini anaknya ...." "Iya, betul sekali. Pangling ya sama aku?" Widia memperhatikan Dion dari ujung kepala sampai ujung kaki, dia yang dulu berbeda sekali dengan dia yang sekarang. Wajar jika Widia tidak mengenali Dion, pria itu berubah begitu banyak. Ibarat kata, dulu Dion seperti burung hantu, sekarang berubah jadi burung merpati. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?" "Ah, nggak kok, nggak ada yang salah. Ayo masuk, aku ambilkan kacamatanya dulu," Dion masuk ke dal
Widia bersiap melakukan pekerjaannya dengan baik, dia sangat berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin. Selesai melakukan pekerjaannya, Widia mendekati koki yang biasa dipanggil Om Oby untuk membantunya menyiapkan bahan makanan. Widia harus memiliki teman dekat agar aman dan tidak ada yang mengganggunya tempat kerja, dia harus mulai dengan mendekati orang yang paling berpengaruh di tempat itu dulu yaitu si koki. "Siapa pria yang mengantarmu tadi? Pacar kah?" tanya Oby sambil menyunggingkan senyum. "Bukan Om, dia temanku," sahut Widia. "Yakin hanya teman? Dia menatapmu dengan mata berbinar, sepertinya dia naksir kamu," goda Oby. "Om pengalaman sekali, dari mana Om belajar menilai orang dalam sekali pandang?" Widia berkerut dahi. "Waktu akan mengajarimu banyak hal, aku nggak belajar dari siapa-siapa. Biasanya pria kalau naksir cewek pasti tatapan matanya begitu," "Dia memang naksir sama aku Om, tapi aku belum siap buat memulai hubungan baru. Aku