Share

Hamil Dua Bulan

Cahaya mentari menerobos masuk lewat celah jendela kamar. Silaunya membuat ketenangan mata Widia yang tertutup jadi terusik.

"Aduh, kepalaku sakit ...," keluh Widia sambil membuka mata dengan perlahan. Dia memperhatikan lingkungan sekitar sejenak dan tersadar kalau dirinya kini sedang berada di dalam kamar sebuah rumah sakit.

Semalam Widia pingsan, suhu tubuhnya turun dan membuat Agam panik. Agam segera membawa Widia ke rumah sakit terdekat karena tidak mau terjadi apa-apa pada istri pertamanya itu.

Agam sangat mencintai Widia, dia menikahi Sarah karena terpaksa atas desakan ibunya yang ingin segera memiliki cucu. Akan tetapi, pada akhirnya Agam jatuh hati juga pada Sarah, wanita kalem yang ternyata pandai menarik hati Agam dengan servis plus-plus-nya.

"Akhirnya kamu bangun juga," ucap seseorang yang berjalan masuk ruangan menghampiri Widia. Meski lemah, Widia mencoba untuk bangkit dan duduk di atas ranjang saat melihat sosok ibu mertuanya datang.

"Bu," lirih Widia menyapa.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Masih sedikit pusing, Bu. Mana Mas Agam?" Widia mencari-cari ke setiap sudut ruangan.

"Dia sedang pergi ke luar beli kopi."

"Bu, Mas Agam punya istri lain selain aku, Bu," tutur Widia mengadu. Air mata kembali jatuh membasahi pipinya. Wanita itu tak bisa menahan emosi yang meluap dari hatinya.

Widia berharap ibu mertuanya akan memihak padanya. Hanya wanita itu satu-satunya harapan yang Widia punya saat ini untuk menasihati Agam agar mau mengakhiri hubungannya dengan Sarah.

Anehnya, perempuan tua berumur lima puluh tahunan itu hanya diam saja saat mendapat aduan dari menantunya. Wajahnya datar tanpa ekspresi yang berarti.

Widia jadi menaruh curiga pada Ibu mertuanya. Jangan-jangan dia sudah tahu segalanya.

"Apa Ibu sudah tahu tentang pernikahan kedua Mas Agam?" tanya Widia penasaran.

Lagi, Bu Endah hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Jawab pertanyaan aku, Bu! Jangan diam aja," desak Widia.

"Ibu sudah tahu, Nak. Maafkan Ibu karena tidak memberi tahu kamu, " sahut Endah jujur.

Widia terdiam sejenak. Sungguh ia tidak menyangka. "Apa anggota keluarga Ibu yang lain juga sudah tahu?" lanjut Widia.

Ibu mertuanya menjawab dengan anggukan beberapa kali.

Sakit itu rasanya menjalar dari hati ke seluruh tubuh Widia. Bahkan ia seperti sedang dikuliti hidup-hidup. Bagaimana bisa keluarga suaminya memperlakukan Widia seperti orang asing, juga membantu Agam merahasiakan perbuatan busuknya?

"Kalian semua jahat!" maki Widia. Dia menangis histeris sambil melempar bantal ke lantai. Widia yang awalnya berusaha untuk bersikap tenang pun gagal, dia kembali seperti orang yang sedang kesurupan.

"Tenanglah, Widia! Kamu tahu 'kan, Agam itu anak semata wayang Ibu? Apa jadinya kalau dia nggak memiliki keturunan? Kalian sudah lama menikah, tapi kamu belum juga hamil!" Endah memberikan pernyataan yang menohok tentang Widia.

"Jadi, Ibu merestui Mas Agam menikah lagi karena aku belum bisa hamil?"

"Iya," jawab Endah to the point.

"Tak bisakah kalian menunggu? Aku juga sedang berobat ke dokter spesialis agar bisa segera hamil," protes Widia tak terima.

"Menunggu? Sampai kapan? Sampai Ibu sekarat dan meninggal dunia?" Endah menatap Widia dengan tatapan kesal. "Dengar ini، Widia! Terimalah takdirmu dan bersikap baiklah pada Sarah. Saat ini dia sedang hamil dua bulan, dia calon anak pertama Agam, calon anakmu juga."

Kenyataan yang barusan didengarnya membuat Widia merasa kalah sebelum bertarung. Bagaimana bisa dia merebut hati dan cinta Agam dari Sarah, sementara wanita itu telah memiliki apa yang selama ini diidam-idamkan oleh Agam dan keluarga besarnya?

Haruskan Widia mengalah dan menerima nasib saja?

Tidak, Widia tidak mau dimadu walaupun jaminannya adalah surga sekali pun. Widia hanya manusia biasa yang penuh dengan emosi, amarah, dan hawa nafsu. Bukan manusia istimewa berhati malaikat!

'Ayah, Ibu, aku ingin pulang. Aku ingin menceritakan semua ini pada kalian dan meminta sedikit saran,' keluh Widia dalam hati.

Agam kembali ke dalam ruangan. Dia membawa secangkir kopi hangat serta satu plastik buah naga kesukaan Widia. Dia meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di samping istrinya.

Agam menatap wajah sang istri dan juga ibunya bergiliran. Sesuatu pasti telah terjadi selama dia pergi, terlihat jelas dari raut wajah kedua wanita itu.

"Ada apa? Kenapa matamu sembab?" Agam meraih wajah sang istri dengan kedua tangannya.

Widia melempar pandangan ke arah lain. Dia enggan menatap wajah seorang pembohong yang telah membuat hatinya kecewa dan hancur.

"Mas, tolong antar aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku rindu sama mereka berdua," lirih Widia.

"Baik, aku akan mengantarmu ke sana setelah dokter memperbolehkan kamu keluar dari rumah sakit," janji Agam.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status