"Gak semua hal harus dijelaskan. Tapi cukup dirasakan." Hanan menimpali. "Kamu ini ngomong apa, sih? Belibet banget. Langsung ke pokoknya, deh. Biar aku ngerti. Maklum, otakku sedikit tumpul." "Udah, gak perlu dibahas. Intinya, aku selalu ingin berusaha melindungimu. Makanya aku minta kamu pergi bareng sama aku sama Fara. Tapi semuanya terserah sama kamu." Hanan terdengar putus asa. "Maaf, aku gak bisa. Aku gak enak. Udah terlanjur janji.""Baiklah kalau kamu maunya seperti itu. Terserah saja." Hanan mendesah pelan. Entah apa yang membuat hembusan napasnya terdengar begitu berat. "Aku masuk dulu," lanjut Hanan. Dia berdiri dengan lesu lalu berjalan seolah hilang semangat masuk ke dalam kamarnya. Ada semacam rasa bersalah yang tiba-tiba menelusup dalam hati. Melihat raut wajah sendu Hanan tadi pun membuat hatiku sedikit tergores. Entah apa yang terjadi pada seonggok daging dalam dadaku. Apa aku mulai merasakan getaran cinta pada teman baikku sendiri? Aku menggeleng kuat. Kata tida
Langkah kaki Mas Ryan terhenti saat menyadari bahwa aku tak mengikutinya berjalan. Dia menoleh. Saat pandangan mata kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan ke arah tangannya yang menggenggam tanganku. Sebagai bentuk keberatan atas apa yang dilakukannya."Sorry," ucapnya sambil melepaskan tangannya.Aku buru-buru menarik tanganku sedikit menjauh darinya. "Aku benar-benar minta maaf. Aku hanya ... terbawa suasana," lanjutnya dengan raut wajah nampak tak enak. "Gak masalah," jawabku agar tak keterusan. "Ayo, masuk!" Mas Ryan menggeser tubuhnya sedikit ke belakang, dengan maksud memberiku jalan lebih dulu. Aku pun masuk ke dalam gedung mewah tersebut diikuti Mas Ryan. Di dalam gedung, sudah riuh para karyawan yang sedang berbincang satu sama lain sambil menikmati jamuan yang disediakan. Aku mengedarkan pandangan. Mencari-cari keberadaan Mbak Lina. Satu-satunya orang yang paling akrab denganku. Tapi nihil, sosoknya belum terlihat sama sekali. "Mau makan apa, Ra? Biar aku baw
"Nisya masuk rumah sakit. Gak apa-apa ya, kita ke rumah sakit dulu?" timpalnya. Aku terdiam. Bingung. Jika aku ikut, itu artinya akan bertemu dengan Anita dan Mas Hilman. "Aku pulang duluan aja kalau gitu. Bisa naik grab, kok," timpalku."Gak bisa. Aku gak tenang kalau biarin kamu pulang sendirian malam-malam gini. Rumah sakitnya gak terlalu jauh dari sini. Aku juga sebentar kok. Habis lihat keadaan Nisya, aku langsung antar kamu pulang. Gimana?" Mas Ryan harus sedikit meninggikan suaranya karena suara riuh dari dalam masih terdengar. Tak ingin malah kelamaan, aku pun mengiyakan. Mengikutinya ke parkiran, lalu naik ke atas mobil. "Nisya sakit apa?" tanyaku saat Mas Ryan sudah mengendarai mobilnya. "Kata Anita panas tinggi," jawab Mas Ryan. Wajahnya begitu tegang menggambarkan bahwa ia sangat khawatir dengan keadaan putrinya itu. Aku tak lagi bertanya. Membiarkan Mas Ryan fokus menyetir dan aku pun fokus menata hati sebelum bertemu mantan suamiku dan istrinya. Sampai di parkiran
Aku yang berdiri tepat di hadapannya merasa heran sampai-sampai kedua alisku saling bertautan. Kenapa dia seolah begitu kesal."Aku udah kasih tau Fara kalau aku mampir ke rumah sakit dulu. Anaknya Mas Ryan masuk rumah sakit. Makanya pulang cukup larut. Lagian kamu malam-malam bukannya tidur malah nangkring di luar. Gak dingin apa?" "Kamu ngasih tau Fara, tapi gak ngasih kabar sama aku. Padahal, dari tadi aku nungguin kamu. Bela-belain minum kopi biar gak ketiduran padahal kamu tau sendiri aku gak suka kopi."Di dekatnya memang ada sebuah cangkir. Mungkin itu memang gelas bekasnya minum kopi. "Loh, mana aku tau kamu bakal nungguin aku sampai pulang. Aku pikir kamu udah tidur," timpalku. Tak terima rasanya disalahkan seperti ini. "Kamu pikir aku bisa tidur nyenyak di saat aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu?" Hanan malah balik bertanya."Kenapa harus khawatir? Aku bukan anak kecil. Aku tau apa yang benar saja salah. Lagian kamu kenapa sih, aneh gini?" "Kamu tanya kenapa? Itu karen
Rasanya, mataku baru terpejam beberapa saat. Tapi adzan subuh sudah berkumandang. Dengan kedua mata yang masih lengket, aku memaksakan diri untuk bangun lalu mengambil air wudhu. Apapun keadaannya, sebagai seorang muslim, aku wajib melaksanakan solat. Dengan khusuk aku berdiri, mendirikan solat dua rakaat dan ditutup dengan doa. Rasa kantuk yang tak tertahankan, membuatku kembali menghambur ke atas ranjang tanpa melepas mukena yang masih melekat. Aku melanjutkan tidurku yang tadi sempat terganggu. Beruntung ini hari libur. Jadi aku bisa bangun lebih siang. Suara riuh dari arah depan membuatku membuka mata. Jam dinding ternyata sudah menunjuk ke angka delapan pagi. Aku pun bangun. Meregangkan otot-otot yang terasa kaku, lalu melepaskan mukena yang masih dikenakan. "Kenapa sudah bangun? Hari ini kan libur. Semalam kamu kurang tidur," tutur ibu saat melihatku yang hendak ke kamar mandi. "Gak apa-apa, Bu. Sudah cukup kok tidurnya," jawabku. "Ilham di mana?" "Di depan. Tadi habis ik
Melihat kedekatan Fara dengan Hanan, entah kenapa dadaku terasa sesak. Mata memanas dengan cairan bening yang berdesakan ingin ditumpahkan. Aku menggigit bibir kuat-kuat, menahan agar buliran itu tak sampai menetes. Bukankah ini yang aku inginkan? Fara mendapatkan laki-laki sebaik Hanan. Tapi kenapa justru hatiku kesakitan?Langkah kakiku terhenti saat tangan mungil Ilham yang dari tadi dituntun, tiba-tiba tak ikut bergerak. Aku menoleh. "Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil menahan suara agar tak bergetar. "Kenapa kita balik lagi? Kata Bunda kita mau ke pantai?" "Kita ke hotel aja, ya. Di sini anginnya kencang," jawabku. "Yah ... padahal kan Ilham mau lihat laut. Mau main pasir." Ilham menunduk pilu. "Besok pagi kan kita bisa main pasir, main air. Kalau sekarang sudah sore." Aku mencoba memberi pengertian. "Iya, deh," jawab Ilham diakhiri embusan napas berat. Baru saja kami akan melanjutkan langkah, tiba-tiba sebuah suara terdengar. "Ya ampun, Ra. Baru aja aku mau nyusulin kamu. T
Malam ini, Hanan mengajakku dan seluruh keluargaku makan malam di sebuah rumah makan yang terletak persis di pinggir pantai. Lampu warna-warni memenuhi rumah makan yang terbuat dari bambu tersebut. Aneka makanan olahan laut sudah tersaji di meja makan. Kami menikmatinya ditemani deburan ombak yang sesekali terdengar. Wajah bapak dan ibu terlihat begitu bahagia. Sampai-sampai aku dibuat haru sekaligus merasa bersalah pada keduanya. Aku lupa, entah kapan mengajak mereka menikmati liburan seperti ini. Kesibukan sebagai istri sekaligus ibu, melupakan kewajiban untuk tetap membahagiakan mereka berdua. Apalagi Mas Hilman memang tipe suami yang tidak pernah memintaku untuk mengajak kedua orang tuaku saat liburan. Karena memang kami pun sangat jarang liburan. Namun kini, kedua orang tuaku justru dibahagiakan oleh orang lain yang tak mempunyai ikatan apapun dengan mereka. "Pak, Bu, gimana hotelnya? Nyaman gak?" tanya Hanan saat kami dalam perjalanan pulang dari rumah makan. "Enak banget Na
Bukannya terdiam, Fara malah senyum-senyum gak jelas. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku memilih meletakkan ponsel itu di atas nakas, kemudian tidur menyamping membelakangi adikku itu. "Tetangga depan rumah juga laki-laki yang baik loh, Mbak. Mapan juga. Satu pekerjaan lagi sama Mbak. Kenapa gak diterima aja?" Bukannya ikutan tidur, gadis itu malah terduduk persis di belakangku. Ia mengguncang tubuhku pelan seolah masih ingin berbincang. "Tetangga depan rumah itu punya nama," timpalku tanpa menoleh ke arahnya."Cie cie ... yang ngebelain." Fara menggelitik pinggangku hingga aku merasa geli. "Stop, Far, stop!" pintaku. Tubuhku hampir saja terjatuh dari ranjang karena menghindari gelitikan Fara."Bayangkan deh, Mbak. Kalau suatu saat kita nikahnya barengan, kayaknya seru deh. Terus kita bulan madu. Double date gitu." Mata Fara menerawang. Mungkin sedang membayangkan apa yang dikatakannya. "Ngaco, kamu, Far. Ada-ada saja. Udah sana tidur. Mbak juga mau tidur. Biar besok bisa l