Malam ini, Hanan mengajakku dan seluruh keluargaku makan malam di sebuah rumah makan yang terletak persis di pinggir pantai. Lampu warna-warni memenuhi rumah makan yang terbuat dari bambu tersebut. Aneka makanan olahan laut sudah tersaji di meja makan. Kami menikmatinya ditemani deburan ombak yang sesekali terdengar. Wajah bapak dan ibu terlihat begitu bahagia. Sampai-sampai aku dibuat haru sekaligus merasa bersalah pada keduanya. Aku lupa, entah kapan mengajak mereka menikmati liburan seperti ini. Kesibukan sebagai istri sekaligus ibu, melupakan kewajiban untuk tetap membahagiakan mereka berdua. Apalagi Mas Hilman memang tipe suami yang tidak pernah memintaku untuk mengajak kedua orang tuaku saat liburan. Karena memang kami pun sangat jarang liburan. Namun kini, kedua orang tuaku justru dibahagiakan oleh orang lain yang tak mempunyai ikatan apapun dengan mereka. "Pak, Bu, gimana hotelnya? Nyaman gak?" tanya Hanan saat kami dalam perjalanan pulang dari rumah makan. "Enak banget Na
Bukannya terdiam, Fara malah senyum-senyum gak jelas. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku memilih meletakkan ponsel itu di atas nakas, kemudian tidur menyamping membelakangi adikku itu. "Tetangga depan rumah juga laki-laki yang baik loh, Mbak. Mapan juga. Satu pekerjaan lagi sama Mbak. Kenapa gak diterima aja?" Bukannya ikutan tidur, gadis itu malah terduduk persis di belakangku. Ia mengguncang tubuhku pelan seolah masih ingin berbincang. "Tetangga depan rumah itu punya nama," timpalku tanpa menoleh ke arahnya."Cie cie ... yang ngebelain." Fara menggelitik pinggangku hingga aku merasa geli. "Stop, Far, stop!" pintaku. Tubuhku hampir saja terjatuh dari ranjang karena menghindari gelitikan Fara."Bayangkan deh, Mbak. Kalau suatu saat kita nikahnya barengan, kayaknya seru deh. Terus kita bulan madu. Double date gitu." Mata Fara menerawang. Mungkin sedang membayangkan apa yang dikatakannya. "Ngaco, kamu, Far. Ada-ada saja. Udah sana tidur. Mbak juga mau tidur. Biar besok bisa l
Aku berlari menghampiri Hanan yang berhasil menggendong Fara dan meletakkannya di pinggir pantai. Pun dengan bapak yang mengikutiku. "Fara, bangun, Far!" Aku berjongkok. Menepuk-nepuk pipinya pelan agar ia terbangun. Bapak pun sama. Dia memijit jempol kaki Fara lalu mengusap-usap telapak kakinya. Sementara Hanan menekan-nekan dada Fara pelan. Beberapa saat kemudian, ia tersadar dan langsung batuk-batuk. Setelah melihat Hanan di hadapannya, Fara yang nampak masih ketakutan langsung memeluk tubuh Hanan sambil menangis. Kedua tangan Fara melingkar erat di leher Hanan. Meski Hanan sama sekali tak membalas pelukan itu. Aku mengusap-usap kepala Fara lembut. Ketakutan-ketakutan yang tadi menghantui, hampir saja terjadi pada salah seorang yang begitu ku sayangi. Setelah beberapa saat, Fara melepaskan pelukannya dari Hanan dengan wajah kikuk. Mungkin kini kesadarannya mulai pulih. "Terima kasih ya, Kak," tuturnya malu-malu. "Kamu sebenarnya kenapa, Far?" tanyaku penasaran dengan apa yang
Kepala bapak sempat menoleh sesaat, mungkin untuk memastikan tak ada orang yang akan mendengar percakapan mereka berdua. Untung saja aku buru-buru bersembunyi dibalik daun pintu. "Menurut bapak, Fara itu menyukai Hanan, Bu." Bapak melanjutkan perkataannya. "Jadi maksud bapak, Fara yang mau dijodohkan sama Hanan?" Ibu kembali bertanya."Iya," jawab bapak singkat. "Hanan itu laki-laki yang baik. Sayang rasanya kalau orang sebaik dia gak dijadiin menantu.""Tapi kalau yang ibu lihat, justru Hanan itu menyukai Zara, Pak. Bukan Fara." Ibu menimpali.Aku masih terdiam. Mematung di belakang daun pintu sambil sesekali memperhatikan sekeliling. Takutnya tiba-tiba ada Fara ataupun Ilham yang suka langsung berteriak memanggil ibunya ini. "Walah ... Iya kah, Bu? Jadi gimana? Kok rumit gini." Suara bapak terdengar bingung. "Gak tau, Pak. Ibu juga bingung. Gimana anak-anak ajalah. Kan mereka yang mau menjalani." Ibu pun terdengar putus asa seperti halnya bapak. Tak terdengar lagi percakapan ant
"Apa yang kamu katakan, Han? Bukankah selama ini kita hanya sebatas teman baik? Gak lebih dari itu. Aku pikir, kebaikan dan perhatian kamu selama ini, karena aku adalah teman baikmu. Tanpa ada perasaan yang lain." Aku berbicara pelan. Tenagaku tiba-tiba berkurang drastis setelah mendengar pengakuannya. "Itu karena kamu gak peka sama perasaanku. Padahal, aku menyukaimu jauh sebelum kamu menikah dengan Bang Hilman. Dan sampai sekarang, perasaan itu gak pernah berubah. Apalagi berkurang." Hanan kembali bersuara. Dan itu semakin membuatku tercengang. Jadi selama bertahun-tahun lamanya dia memendam semua ini?"Kenapa kamu gak pernah mengatakannya, Han? Ke mana aja kamu selama ini? Kamu memilih menjauh dan membiarkan aku menjadi milik orang lain." Aku mulai terisak. Hanan tersenyum getir. "Dulu, siapa lah aku? Aku hanya seorang anak SMA yang tidak punya keberanian apa-apa. Aku hanya punya tekad dan keinginan yang kuat untuk bisa membahagiakan orang yang aku cintai. Jadilah aku berusaha men
Suara Bu Halimah terdengar bergetar. Bagaimana tidak, anaknya ditangkap polisi meski aku sendiri belum mengetahui entah sebab apa. "Baik, Bu. Zara akan sampaikan sekarang," jawabku."Makasih ya, Ra. Ibu tutup dulu. Mau langsung ke kantor polisi," timpalnya buru-buru. Bahkan, aku pun belum sempat menanggapi apapun lagi tapi telepon terlanjur putus. Lekas aku melepas mukena dan melipat sekenanya. Lalu berjalan keluar kamar menuju kamar Hanan. Di depan pintu kamar Hanan aku termenung sesaat. Kejadian tadi sore masih teringat jelas di ingatan. Mungkin saja Hanan juga masih marah padaku. Namun, karena ini adalah masalah yang penting, aku pun memberanikan diri untuk mengetuknya. "Han, ini aku, Zara!" tuturku setelah mengetuk untuk yang kedua kalinya. Suara langkah kaki pun mulai samar terdengar. Hingga pintu itu kini sudah benar-benar terbuka. Hanan menatapku dengan tatapan yang membuatku kembali kikuk bercampur grogi. "Ada apa?" tanyanya datar. "Ibu barusan telepon. Nomor kamu gak a
"Entahlah, Han. Uangnya selalu Abang kasih ke Anita. Dia pakai untuk shoping dan jalan-jalan." Helaan demi helaan napas berat mengiringi setiap perkataan Mas Hilman. "Abang jangan khawatir. Nanti kita cari solusinya sama-sama. Abang sabar aja dulu. Jadikan ini pelajaran untuk lebih baik menata masa depan." Hanan berusaha menenangkan Mas Hilman. Meski mereka sempat bersitegang, tapi lihatlah, keluarga tetaplah keluarga. Yang tak akan membiarkan saudaranya terpuruk sendirian. Sungguh, mulia sekali hati Hanan. "Makasih banyak, ya, Han. Maaf Abang sering mengecewakan kamu. Abang tak pernah mendengar nasihatmu untuk menjauhi Anita. Sekarang Abang sudah merasakan sendiri." Mas Hilman kembali terisak pelan. Kini matanya beralih menatapku. "Mas juga minta maaf sama kamu, Ra. Kalau ini memang karma yang harus Mas terima karena telah menyia-nyiakan istri sebaik dirimu, Mas iklhas menjalaninya. Mudah-mudahan ini bisa menebus dosa-dosa Mas sama kamu.""Mas jangan bilang seperti itu. Aku sudah i
Meski sekuat tenaga ingin menyembunyikan perasaanku, tapi tetap saja laju air mata ini tak bisa ditahan. Ia tetap saja meluncur bebas melewati pipiku. Tak terbayang hari-hari kelabu yang akan aku dan Ilham lewati tanpa kehadiran Hanan. Hanan terlanjur menjadi sosok pengganti ayahnya untuk Ilham. "Kenapa kamu menangis?" Hanan menoleh sekilas. Meski ia tetap melajukan mobilnya pelan."Aku ... aku." Aku memalingkan wajah. Melemparkan pandangan ke arah jendela mobil. Berat sekali bibir ini mengatakan yang sejujurnya bahwa aku tak ingin jauh darinya. "Bukannya kamu sendiri yang mengatakan kalau kamu gak mencintai aku? Kenapa harus menangis saat mengetahui aku akan pergi? Bukankah dari dulu kamu sudah terbiasa tanpa kehadiranku?" Hanan terus berbicara seolah ia ingin mendesakku. "Sekarang keadaannya sudah berubah, Han. Gak seperti dulu lagi," jawabku. "Apanya yang berubah? Katakan!" "Aku ... maksudku Ilham sangat membutuhkan kehadiranmu. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau dia sudah