Kepala bapak sempat menoleh sesaat, mungkin untuk memastikan tak ada orang yang akan mendengar percakapan mereka berdua. Untung saja aku buru-buru bersembunyi dibalik daun pintu. "Menurut bapak, Fara itu menyukai Hanan, Bu." Bapak melanjutkan perkataannya. "Jadi maksud bapak, Fara yang mau dijodohkan sama Hanan?" Ibu kembali bertanya."Iya," jawab bapak singkat. "Hanan itu laki-laki yang baik. Sayang rasanya kalau orang sebaik dia gak dijadiin menantu.""Tapi kalau yang ibu lihat, justru Hanan itu menyukai Zara, Pak. Bukan Fara." Ibu menimpali.Aku masih terdiam. Mematung di belakang daun pintu sambil sesekali memperhatikan sekeliling. Takutnya tiba-tiba ada Fara ataupun Ilham yang suka langsung berteriak memanggil ibunya ini. "Walah ... Iya kah, Bu? Jadi gimana? Kok rumit gini." Suara bapak terdengar bingung. "Gak tau, Pak. Ibu juga bingung. Gimana anak-anak ajalah. Kan mereka yang mau menjalani." Ibu pun terdengar putus asa seperti halnya bapak. Tak terdengar lagi percakapan ant
"Apa yang kamu katakan, Han? Bukankah selama ini kita hanya sebatas teman baik? Gak lebih dari itu. Aku pikir, kebaikan dan perhatian kamu selama ini, karena aku adalah teman baikmu. Tanpa ada perasaan yang lain." Aku berbicara pelan. Tenagaku tiba-tiba berkurang drastis setelah mendengar pengakuannya. "Itu karena kamu gak peka sama perasaanku. Padahal, aku menyukaimu jauh sebelum kamu menikah dengan Bang Hilman. Dan sampai sekarang, perasaan itu gak pernah berubah. Apalagi berkurang." Hanan kembali bersuara. Dan itu semakin membuatku tercengang. Jadi selama bertahun-tahun lamanya dia memendam semua ini?"Kenapa kamu gak pernah mengatakannya, Han? Ke mana aja kamu selama ini? Kamu memilih menjauh dan membiarkan aku menjadi milik orang lain." Aku mulai terisak. Hanan tersenyum getir. "Dulu, siapa lah aku? Aku hanya seorang anak SMA yang tidak punya keberanian apa-apa. Aku hanya punya tekad dan keinginan yang kuat untuk bisa membahagiakan orang yang aku cintai. Jadilah aku berusaha men
Suara Bu Halimah terdengar bergetar. Bagaimana tidak, anaknya ditangkap polisi meski aku sendiri belum mengetahui entah sebab apa. "Baik, Bu. Zara akan sampaikan sekarang," jawabku."Makasih ya, Ra. Ibu tutup dulu. Mau langsung ke kantor polisi," timpalnya buru-buru. Bahkan, aku pun belum sempat menanggapi apapun lagi tapi telepon terlanjur putus. Lekas aku melepas mukena dan melipat sekenanya. Lalu berjalan keluar kamar menuju kamar Hanan. Di depan pintu kamar Hanan aku termenung sesaat. Kejadian tadi sore masih teringat jelas di ingatan. Mungkin saja Hanan juga masih marah padaku. Namun, karena ini adalah masalah yang penting, aku pun memberanikan diri untuk mengetuknya. "Han, ini aku, Zara!" tuturku setelah mengetuk untuk yang kedua kalinya. Suara langkah kaki pun mulai samar terdengar. Hingga pintu itu kini sudah benar-benar terbuka. Hanan menatapku dengan tatapan yang membuatku kembali kikuk bercampur grogi. "Ada apa?" tanyanya datar. "Ibu barusan telepon. Nomor kamu gak a
"Entahlah, Han. Uangnya selalu Abang kasih ke Anita. Dia pakai untuk shoping dan jalan-jalan." Helaan demi helaan napas berat mengiringi setiap perkataan Mas Hilman. "Abang jangan khawatir. Nanti kita cari solusinya sama-sama. Abang sabar aja dulu. Jadikan ini pelajaran untuk lebih baik menata masa depan." Hanan berusaha menenangkan Mas Hilman. Meski mereka sempat bersitegang, tapi lihatlah, keluarga tetaplah keluarga. Yang tak akan membiarkan saudaranya terpuruk sendirian. Sungguh, mulia sekali hati Hanan. "Makasih banyak, ya, Han. Maaf Abang sering mengecewakan kamu. Abang tak pernah mendengar nasihatmu untuk menjauhi Anita. Sekarang Abang sudah merasakan sendiri." Mas Hilman kembali terisak pelan. Kini matanya beralih menatapku. "Mas juga minta maaf sama kamu, Ra. Kalau ini memang karma yang harus Mas terima karena telah menyia-nyiakan istri sebaik dirimu, Mas iklhas menjalaninya. Mudah-mudahan ini bisa menebus dosa-dosa Mas sama kamu.""Mas jangan bilang seperti itu. Aku sudah i
Meski sekuat tenaga ingin menyembunyikan perasaanku, tapi tetap saja laju air mata ini tak bisa ditahan. Ia tetap saja meluncur bebas melewati pipiku. Tak terbayang hari-hari kelabu yang akan aku dan Ilham lewati tanpa kehadiran Hanan. Hanan terlanjur menjadi sosok pengganti ayahnya untuk Ilham. "Kenapa kamu menangis?" Hanan menoleh sekilas. Meski ia tetap melajukan mobilnya pelan."Aku ... aku." Aku memalingkan wajah. Melemparkan pandangan ke arah jendela mobil. Berat sekali bibir ini mengatakan yang sejujurnya bahwa aku tak ingin jauh darinya. "Bukannya kamu sendiri yang mengatakan kalau kamu gak mencintai aku? Kenapa harus menangis saat mengetahui aku akan pergi? Bukankah dari dulu kamu sudah terbiasa tanpa kehadiranku?" Hanan terus berbicara seolah ia ingin mendesakku. "Sekarang keadaannya sudah berubah, Han. Gak seperti dulu lagi," jawabku. "Apanya yang berubah? Katakan!" "Aku ... maksudku Ilham sangat membutuhkan kehadiranmu. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau dia sudah
Setelah mendirikan solat, tak lupa aku memanjatkan doa atas masalah yang sedang menimpa Mas Hilman agar diberi jalan keluar. Aku juga meminta jalan terbaik untuk masa depanku dan Ilham. Setelahnya, aku langsung merebahkan tubuh di atas ranjang. Tubuhku terasa begitu lelah. Bahkan bukan hanya ragaku, tapi juga jiwaku. Saking lelahnya hari yang dijalani, mataku pun tak butuh waktu lama untuk terpejam dan berlayar ke alam mimpi. ***Pagi ini, saat sedang menyiapkan sarapan, aku dikejutkan dengan suara salam dari arah depan. Saat dihampiri, keningku mengernyit menatap orang di depan sana. Mas Ryan bersama Nisya."Mas Ryan?" sapaku. "Nisya, sudah sembuh, Sayang?" Aku beralih menatap Nisya. Mengusap pipinya sekilas."Aku ... mau minta tolong sama kamu, Ra. Ini juga kalau kamu gak keberatan," tutur Mas Ryan seolah ragu untuk mengatakannya. "Apa, Mas? Insyaallah aku akan membantu sebisa mungkin," jawabku sambil tersenyum. "Aku, titip Nisya di sini, boleh?" tanyanya. "Loh, memangnya Anit
Aku masih berdiri dengan pipi yang mulai basah. Menatap ke arah mobil Hanan yang kian lama kian menjauh. Dadaku masih berdenyut nyeri mendengar penuturannya tadi. "Bunda .... Ayo main sama Ilham!" Teriakan Ilham membuatku buru-buru mengusap kedua sudut mata. Aku menghampiri kedua anak yang usianya tak berbeda jauh tersebut dengan senyum yang dipaksakan. "Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil berjongkok. "Kak Nisya, Bun. Dia gak bisa gowes sepedanya. Ilham capek kalau harus dorong," jawab Ilham. "Owalah. Nisya gak bisa gowes?" Aku berganti menatap anak berwajah mirip ibunya tersebut. Dia menggeleng. "Gak bisa, Tante. Biasanya Nisya pakai sepeda yang rodanya tiga. Biar gak jatuh kata mama.""Oh ... gitu. Ya udah. Biar Tante bantu, ya!" Aku pun membantu Nisya mendorong sepeda itu dengan hati-hati. Mas Ryan menitipkan Nisya padaku, jadi aku harus bisa menjaganya dengan baik. Cukup lama aku menemani kedua anak itu bermain. Hingga matahari kian lama kian menyorot. Keringatku juga sudah cuku
Hanan baru saja turun dari mobilnya dan sedang berjalan menuju rumahnya. "Han ...!" panggilku dengan perasaan canggung. Hanan menghentikan langkah lalu menatapku. "Gimana?" lanjutku dengan jantung berdebar. Dia tak langsung menjawab, tapi duduk di teras rumahnya. Aku pun memberanikan diri untuk mendekat dan duduk tak jauh darinya. "Sepertinya harus mencairkan deposito dulu. Mobil ini cuma ditawar dua ratus juta. Masih kurang banyak," jawabnya lesu. "Aku kan sudah nawarin rumah, Han. Aku beneran loh. Aku ikhlas," timpalku sungguh-sungguh. "Jual rumah itu gak kayak jual mobil. Butuh waktu lebih lama. Apalagi kalau belum ada pembeli yang cocok. Lebih gampang ngurusin pencairan deposito," balasnya. "Udah deh, masalah ini biar jadi urusanku. Kamu cukup doakan agar semuanya dimudahkan. Oke?" Hanan tersenyum meski tipis. Hatiku terenyuh. Setelah aku mengecewakannya, dia masih bisa bersikap begitu baik padaku. "Aamiin," timpalku sambil membalas senyumnya. "Ilham mana?" tanyanya sambil
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u