Hanan baru saja turun dari mobilnya dan sedang berjalan menuju rumahnya. "Han ...!" panggilku dengan perasaan canggung. Hanan menghentikan langkah lalu menatapku. "Gimana?" lanjutku dengan jantung berdebar. Dia tak langsung menjawab, tapi duduk di teras rumahnya. Aku pun memberanikan diri untuk mendekat dan duduk tak jauh darinya. "Sepertinya harus mencairkan deposito dulu. Mobil ini cuma ditawar dua ratus juta. Masih kurang banyak," jawabnya lesu. "Aku kan sudah nawarin rumah, Han. Aku beneran loh. Aku ikhlas," timpalku sungguh-sungguh. "Jual rumah itu gak kayak jual mobil. Butuh waktu lebih lama. Apalagi kalau belum ada pembeli yang cocok. Lebih gampang ngurusin pencairan deposito," balasnya. "Udah deh, masalah ini biar jadi urusanku. Kamu cukup doakan agar semuanya dimudahkan. Oke?" Hanan tersenyum meski tipis. Hatiku terenyuh. Setelah aku mengecewakannya, dia masih bisa bersikap begitu baik padaku. "Aamiin," timpalku sambil membalas senyumnya. "Ilham mana?" tanyanya sambil
Jantungku mendadak berdebar kencang mendapatkan pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka sebelumnya. Meski Mas Ryan memang sempat mengutarakan perasaannya padaku. Saat aku memalingkan pandangan untuk mengindari tatapan Mas Ryan, aku menangkap sekelebat bayangan yang baru saja masuk ke dalam rumah Hanan. Mungkinkah itu Hanan? Bagaimana kalau dia mendengar apa yang dikatakan Mas Ryan? "Ra." Mas Ryan kembali bersuara. "Maaf, Mas, aku—.""Gak perlu dijawab sekarang kalau kamu masih ragu. Aku tau ini terlalu mendadak. Kami pikirkan saja dulu baik-baik. Hanya saja, aku sangat berharap bisa segera membina rumah tangga dengan wanita sepertimu. Aku tak bisa memungkiri, kalau aku butuh pendamping tempat berbagi semua hal. Tempat pulang paling nyaman setelah lelah bekerja seharian. Bercerita banyak hal. Dan saling melengkapi satu sama lain." Mas Ryan keburu memotong ucapanku padahal aku belum selesai berbicara. "Nisya, bilang makasih dulu sama Tante Zara," titah Mas Ryan pada Nisya.
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng