Setelah mendirikan solat, tak lupa aku memanjatkan doa atas masalah yang sedang menimpa Mas Hilman agar diberi jalan keluar. Aku juga meminta jalan terbaik untuk masa depanku dan Ilham. Setelahnya, aku langsung merebahkan tubuh di atas ranjang. Tubuhku terasa begitu lelah. Bahkan bukan hanya ragaku, tapi juga jiwaku. Saking lelahnya hari yang dijalani, mataku pun tak butuh waktu lama untuk terpejam dan berlayar ke alam mimpi. ***Pagi ini, saat sedang menyiapkan sarapan, aku dikejutkan dengan suara salam dari arah depan. Saat dihampiri, keningku mengernyit menatap orang di depan sana. Mas Ryan bersama Nisya."Mas Ryan?" sapaku. "Nisya, sudah sembuh, Sayang?" Aku beralih menatap Nisya. Mengusap pipinya sekilas."Aku ... mau minta tolong sama kamu, Ra. Ini juga kalau kamu gak keberatan," tutur Mas Ryan seolah ragu untuk mengatakannya. "Apa, Mas? Insyaallah aku akan membantu sebisa mungkin," jawabku sambil tersenyum. "Aku, titip Nisya di sini, boleh?" tanyanya. "Loh, memangnya Anit
Aku masih berdiri dengan pipi yang mulai basah. Menatap ke arah mobil Hanan yang kian lama kian menjauh. Dadaku masih berdenyut nyeri mendengar penuturannya tadi. "Bunda .... Ayo main sama Ilham!" Teriakan Ilham membuatku buru-buru mengusap kedua sudut mata. Aku menghampiri kedua anak yang usianya tak berbeda jauh tersebut dengan senyum yang dipaksakan. "Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil berjongkok. "Kak Nisya, Bun. Dia gak bisa gowes sepedanya. Ilham capek kalau harus dorong," jawab Ilham. "Owalah. Nisya gak bisa gowes?" Aku berganti menatap anak berwajah mirip ibunya tersebut. Dia menggeleng. "Gak bisa, Tante. Biasanya Nisya pakai sepeda yang rodanya tiga. Biar gak jatuh kata mama.""Oh ... gitu. Ya udah. Biar Tante bantu, ya!" Aku pun membantu Nisya mendorong sepeda itu dengan hati-hati. Mas Ryan menitipkan Nisya padaku, jadi aku harus bisa menjaganya dengan baik. Cukup lama aku menemani kedua anak itu bermain. Hingga matahari kian lama kian menyorot. Keringatku juga sudah cuku
Hanan baru saja turun dari mobilnya dan sedang berjalan menuju rumahnya. "Han ...!" panggilku dengan perasaan canggung. Hanan menghentikan langkah lalu menatapku. "Gimana?" lanjutku dengan jantung berdebar. Dia tak langsung menjawab, tapi duduk di teras rumahnya. Aku pun memberanikan diri untuk mendekat dan duduk tak jauh darinya. "Sepertinya harus mencairkan deposito dulu. Mobil ini cuma ditawar dua ratus juta. Masih kurang banyak," jawabnya lesu. "Aku kan sudah nawarin rumah, Han. Aku beneran loh. Aku ikhlas," timpalku sungguh-sungguh. "Jual rumah itu gak kayak jual mobil. Butuh waktu lebih lama. Apalagi kalau belum ada pembeli yang cocok. Lebih gampang ngurusin pencairan deposito," balasnya. "Udah deh, masalah ini biar jadi urusanku. Kamu cukup doakan agar semuanya dimudahkan. Oke?" Hanan tersenyum meski tipis. Hatiku terenyuh. Setelah aku mengecewakannya, dia masih bisa bersikap begitu baik padaku. "Aamiin," timpalku sambil membalas senyumnya. "Ilham mana?" tanyanya sambil
Jantungku mendadak berdebar kencang mendapatkan pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka sebelumnya. Meski Mas Ryan memang sempat mengutarakan perasaannya padaku. Saat aku memalingkan pandangan untuk mengindari tatapan Mas Ryan, aku menangkap sekelebat bayangan yang baru saja masuk ke dalam rumah Hanan. Mungkinkah itu Hanan? Bagaimana kalau dia mendengar apa yang dikatakan Mas Ryan? "Ra." Mas Ryan kembali bersuara. "Maaf, Mas, aku—.""Gak perlu dijawab sekarang kalau kamu masih ragu. Aku tau ini terlalu mendadak. Kami pikirkan saja dulu baik-baik. Hanya saja, aku sangat berharap bisa segera membina rumah tangga dengan wanita sepertimu. Aku tak bisa memungkiri, kalau aku butuh pendamping tempat berbagi semua hal. Tempat pulang paling nyaman setelah lelah bekerja seharian. Bercerita banyak hal. Dan saling melengkapi satu sama lain." Mas Ryan keburu memotong ucapanku padahal aku belum selesai berbicara. "Nisya, bilang makasih dulu sama Tante Zara," titah Mas Ryan pada Nisya.
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,