195“Sudah sampai, Bos.”Samudra membuka matanya saat terdengar suara sang sopir disertai laju mobil yang berhenti. Pria itu selama perjalanan memejamkan matanya meski tidak tidur.Tidur menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan belakangan ini. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai permasalahan. Maka, tidak heran jika lingkar hitam sangat jelas menghiasi sekitar matanya.Pria itu menegakkan tubuh, lalu mengendarkan pandangan lewat kaca mobil yang sengaja ia buka. Tempat ini masih sama seperti terakhir kali ia ke sini. Mungkin beberapa bulan lalu.Samudra turun saat sang sopir sudah membukakan pintu untuknya.“Mau dibawa pulang, Bos?” tanya sang sopir lagi setelah majikannya turun.Samudra mengembus napas, lalu mengendikkan bahunya. “Belum tahu, harus konsultasi dulu dengan dokternya.”Sang sopir hanya mengangguk, lalu menatap bosnya yang mulai berjalan menjauhinya menuju bangunan utama gedung yang bernuansa serab putih itu. Ia ikut mengembus napas sebelum kembali ke dalam mobil. Me
196Bastian masih sesenggukan di kaki Samudra. Bahkan saat Samudra mencoba melepaskan kakinya, pemuda itu malah menambah keras tangisnya.“Tolong pertemukan aku dengan Mentari, Om. Aku mau bersujud dan minta maaf padanya. Atau kalau dia mau membunuhku sekali pun, aku pasrah asalkan dosaku termaafkan.” Pelukan di kaki Samudra semakin erat.“Aku memang terkutuk. Laknat. Aku sudah menghancurkan wanita yang aku sangat tahu menjaga dirinya. Sumpah demi apa pun aku tidak pernah menyentuhnya, Om. Sebejat apa pun aku, tidak tega sampai merusak wanita baik-baik sepertinya.”Samudra memejam. Dadanya mendadak sesak. Semakin banyak Bastian berkata, semakin besar penyesalan yang dirasakannya. Penyesalan yang sama dengan kata maaf Bastian. Tidak berguna sama sekali karena semua sudah terjadi.Samudra menggerakkan kakinya. Meminta Bastian melepaskannya. Bukan ia tidak marah dengan pemuda itu, tapi semua memang sudah terjadi. Bahkan jika ia membunuh pemuda itu pun, tidak akan merubah apa-apa. Pernika
197“Aku ikut, Om.” Bastian mengejar Samudra saat berpapasan di lorong depan kamarnya. Kebetulan ia baru kelur kamar, dan Samudra yang sudah rapi dengan stelan kantor, melintas.“Kamu istirahat saja, Bas. Kamu pasti masih lelah.” Tanpa melirik atau menghentikan langkah, Samudra menjawab. Langah-langkah panjangnya dibawa menuju tangga di ujung lorong.“Aku tidak lelah, Om. Aku bahkan sudah istirahat beberapa hari ini seperti permintaan Om Sam. Aku ingin punya kegiatan, bosan di rumah terus. Bolehkah aku ke kantor lagi?” Bastian terus mengekori Samudra. Bukan mengada-ngada jika ia mengatakan bosan di rumah. Sejak dibawa pulang lagi ke rumah itu, Samudra belum mengizinkannya untuk pergi ke mana pun. Tidak ada kegiatan apa-apa selain tiduran di kamar. Padahal ia sangat ingin diajak ke mana pun Samudra pergi. Termasuk ke kantor dan yang terpenting menemui Mentari.“Aku tidak pergi ke Hanggara Enterprise.” Samudra menjawab masih dengan kaki yang bergerak.“Tidak apa, Om. Aku mau ikut Om ke
198“Apa yang kamu lakukan, Bas?” Samudra memekik begitu mereka duduk berhadapan. Kekesalan yang sudah ditahan sejak tadi, tidak mungkin diluapkan di sana. Karena mereka berada di kantor polisi saat ini.“Aku tidak melakukan apa-apa, Om.” Bastian menjawab bingung.“Apa maksudmu tidak melakukan apa-apa? Kamu di sini lagi sekarang.” Samudra mendesis. Apa yang ia takutkan sebelum membawa Bastian pulang akhirnya terbukti. Pemuda itu membuat ulah lagi dan harus membuat repot dirinya.“Aku hanya datang ke rumah Mentari, Om. Hanya itu. Bahkan aku hanya sampai di depan pagarnya saja karena mereka tidak mau membukanya, lalu saat aku berusaha memanggil Mentari, datang polisi. Mereka langsung menangkapku.”Samudra memejam mendengar penjelasan Bastian yang terdengar jujur. Dari sorot matanya pun tidak terlihat jika ia sedang berkilah.“Maaf, Om. Tapi aku benar-benar tidak melakukan apa pun. Aku ke sana untuk menemui Mentari. Aku datang dengan cara baik-baik, tapi belum sempat bertemu dan mengatak
199Jangan tanya bagaimana kondisi hati Samudra. Jika ada yang paling kalut saat ini, dialah orangnya. Melihat Mentari yang menangis terus karena Barra yang tak kunjung membuka mata, padahal wanita itu pun terluka di beberapa bagian tubuhnya. Lalu Bulan yang lemah dan tidak mau lepas dari ibunya. Belum lagi Bima, pengasuh anak-anak dan juga laki-laki berbadan tegap yang ternyata seorang pengawal yang disewa Bima, semua terluka.Semua orang yang berada dalam mobil nahas itu terluka. Karena ternyata mobil mereka bergesekkan dengan truk sebelum kendaraan roda empat itu menambrak pembatas jalan dan setengah body mobil mengantung di bibir jurang.Ya, semua terluka karena guncangan dan benturan hebat mobil sebelum benar-benar berhenti. Tapi yang terparah adalah Barra. Bayi laki-laki sepuluh bulan itu kehabisan banyak darah dengan luka serius di beberapa bagian tubuhnya.Bahkan setelah beberapa saat mendapat penanganan dokter, bayi itu belum juga sadarkan diri. Kondisinya yang lemah dan meng
200“Dek, aku minta maaf.”Entah untuk ke berapa kalinya kalimat itu terucap dari mulut Bima. Mentari sampai bosan mendengarnya.“Padahal, aku sudah mengecek semuanya sebelum menjemput kamu.”Mentari memejamkan matanya seraya memeluk tubuh Bulan yang kini tertidur setelah menyusu lama.“Namanya musibah, siapa yang tahu, Kak. Kita semua tidak ada yang mau celaka, bukan?” Mentari mencoba bijak.“Aku malu sama mantan suami kamu, Dek. Ia pasti menyalahkan aku atas musibah ini.”“Sudahlah, Kak. Jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Semua ini musibah. Kakak juga sama terluka. Sopir yang membawa mobil juga sama terluka. Kita semua terluka. Jadi, ini murni kecelakaan. Ini musibah.” Mentari menenangkan Bima, karena sejak di rumah sakit pertama, laki-laki itu terus merasa bersalah atas musibah ini. Mungkin karena sikap Samudra yang tidak bersahabat.Mentari juga sebenarnya berada di posisi serba salah. Tidak mungkin menyalahkan Bima, karena Bima pun pada kenyataannya terluka. Ingin marah pada
201Samudra menatap nanar wanita yang menatapnya tajam. Sungguh, tak menyangka jika kebencian Mentari sampai sebesar itu padanya. Bahkan tuduhan itu lebih buruk dari apa pun. Sang pria mengerjap setelah beberapa lama menikmati rasa perihnya mendapat tuduhan yang tidak manusiawi.“Kamu menuduh Mas mencelakai kalian?” tanyanya sedih.“Pak Samudra duluan yang menuduh Kak Bima. Tuduhan yang tidak masuk akal. Bagaimana ia mau mencelakai kami, sedangkan di mobil itu juga ada dirinya sendiri yang ikut celaka. Lagipula, apa untungnya buat dia mencelakai kami? Dia malah dirugikan dengan mobilnya yang rusak parah.”Samudra mengembus napas, lalu mendudukkan dirinya di kursi bekas Bima tadi. Tatapan nanar masih berpendar di matanya.“Lalu, apa untungnya juga kalau Mas mencelakai kalian?” tanyanya lembut.“Ya, siapa tahu biar bisa dekat-dekat sama anak-anakku terus.” Mentari menjawab ketus, dengan tatapan tak pernah tertuju pria di hadapannya.Lagi sang pria mengembus napas kasar. Sikap ketus dan
202Samudra mengangkat sebelah tangannya. Menahan agar Mentari tidak turun dan tetap tenang. Ia sendiri kembali mengangkat tubuh Bulan dan membawanya dalam pelukan. Menimang dan menenangkan sang anak semampu yang ia bisa.Dengan berjalan pelan ke sana ke mari, Samudra menenangkan bayi itu dengan cara ditepuk lembut bokongnya. Belaian juga sesekali ia berikan di sepanjang tubuh bagian belakang sang anak.Samudra belum berpengalaman mengurus anak. Belum pernah menggendong bayi mana pun. Barra dab Bulan adalah bayi pertama yang pernah ia gendong seumur hidupnya. Ia juga tidak tahu bagaimana cara menenangkan bayi yang rewel, tetapi nalurinya bekerja keras di sini. Naluri ayah yang mengkhawatirkan anak-anaknya.Samudra tidak tahu apa pun mengurus bayi, tapi yang ia tahu, dirinya ingin Barra selamat dan Bulan tenang. Karenanya segala cara ia lakukan untuk anak kembarnya itu.Ajaib memang, Bulan yang terbangun lagi karena dibaringkan di ranjangnya, kembali tenang dan tertidur setelah Samudra