198“Apa yang kamu lakukan, Bas?” Samudra memekik begitu mereka duduk berhadapan. Kekesalan yang sudah ditahan sejak tadi, tidak mungkin diluapkan di sana. Karena mereka berada di kantor polisi saat ini.“Aku tidak melakukan apa-apa, Om.” Bastian menjawab bingung.“Apa maksudmu tidak melakukan apa-apa? Kamu di sini lagi sekarang.” Samudra mendesis. Apa yang ia takutkan sebelum membawa Bastian pulang akhirnya terbukti. Pemuda itu membuat ulah lagi dan harus membuat repot dirinya.“Aku hanya datang ke rumah Mentari, Om. Hanya itu. Bahkan aku hanya sampai di depan pagarnya saja karena mereka tidak mau membukanya, lalu saat aku berusaha memanggil Mentari, datang polisi. Mereka langsung menangkapku.”Samudra memejam mendengar penjelasan Bastian yang terdengar jujur. Dari sorot matanya pun tidak terlihat jika ia sedang berkilah.“Maaf, Om. Tapi aku benar-benar tidak melakukan apa pun. Aku ke sana untuk menemui Mentari. Aku datang dengan cara baik-baik, tapi belum sempat bertemu dan mengatak
199Jangan tanya bagaimana kondisi hati Samudra. Jika ada yang paling kalut saat ini, dialah orangnya. Melihat Mentari yang menangis terus karena Barra yang tak kunjung membuka mata, padahal wanita itu pun terluka di beberapa bagian tubuhnya. Lalu Bulan yang lemah dan tidak mau lepas dari ibunya. Belum lagi Bima, pengasuh anak-anak dan juga laki-laki berbadan tegap yang ternyata seorang pengawal yang disewa Bima, semua terluka.Semua orang yang berada dalam mobil nahas itu terluka. Karena ternyata mobil mereka bergesekkan dengan truk sebelum kendaraan roda empat itu menambrak pembatas jalan dan setengah body mobil mengantung di bibir jurang.Ya, semua terluka karena guncangan dan benturan hebat mobil sebelum benar-benar berhenti. Tapi yang terparah adalah Barra. Bayi laki-laki sepuluh bulan itu kehabisan banyak darah dengan luka serius di beberapa bagian tubuhnya.Bahkan setelah beberapa saat mendapat penanganan dokter, bayi itu belum juga sadarkan diri. Kondisinya yang lemah dan meng
200“Dek, aku minta maaf.”Entah untuk ke berapa kalinya kalimat itu terucap dari mulut Bima. Mentari sampai bosan mendengarnya.“Padahal, aku sudah mengecek semuanya sebelum menjemput kamu.”Mentari memejamkan matanya seraya memeluk tubuh Bulan yang kini tertidur setelah menyusu lama.“Namanya musibah, siapa yang tahu, Kak. Kita semua tidak ada yang mau celaka, bukan?” Mentari mencoba bijak.“Aku malu sama mantan suami kamu, Dek. Ia pasti menyalahkan aku atas musibah ini.”“Sudahlah, Kak. Jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Semua ini musibah. Kakak juga sama terluka. Sopir yang membawa mobil juga sama terluka. Kita semua terluka. Jadi, ini murni kecelakaan. Ini musibah.” Mentari menenangkan Bima, karena sejak di rumah sakit pertama, laki-laki itu terus merasa bersalah atas musibah ini. Mungkin karena sikap Samudra yang tidak bersahabat.Mentari juga sebenarnya berada di posisi serba salah. Tidak mungkin menyalahkan Bima, karena Bima pun pada kenyataannya terluka. Ingin marah pada
201Samudra menatap nanar wanita yang menatapnya tajam. Sungguh, tak menyangka jika kebencian Mentari sampai sebesar itu padanya. Bahkan tuduhan itu lebih buruk dari apa pun. Sang pria mengerjap setelah beberapa lama menikmati rasa perihnya mendapat tuduhan yang tidak manusiawi.“Kamu menuduh Mas mencelakai kalian?” tanyanya sedih.“Pak Samudra duluan yang menuduh Kak Bima. Tuduhan yang tidak masuk akal. Bagaimana ia mau mencelakai kami, sedangkan di mobil itu juga ada dirinya sendiri yang ikut celaka. Lagipula, apa untungnya buat dia mencelakai kami? Dia malah dirugikan dengan mobilnya yang rusak parah.”Samudra mengembus napas, lalu mendudukkan dirinya di kursi bekas Bima tadi. Tatapan nanar masih berpendar di matanya.“Lalu, apa untungnya juga kalau Mas mencelakai kalian?” tanyanya lembut.“Ya, siapa tahu biar bisa dekat-dekat sama anak-anakku terus.” Mentari menjawab ketus, dengan tatapan tak pernah tertuju pria di hadapannya.Lagi sang pria mengembus napas kasar. Sikap ketus dan
202Samudra mengangkat sebelah tangannya. Menahan agar Mentari tidak turun dan tetap tenang. Ia sendiri kembali mengangkat tubuh Bulan dan membawanya dalam pelukan. Menimang dan menenangkan sang anak semampu yang ia bisa.Dengan berjalan pelan ke sana ke mari, Samudra menenangkan bayi itu dengan cara ditepuk lembut bokongnya. Belaian juga sesekali ia berikan di sepanjang tubuh bagian belakang sang anak.Samudra belum berpengalaman mengurus anak. Belum pernah menggendong bayi mana pun. Barra dab Bulan adalah bayi pertama yang pernah ia gendong seumur hidupnya. Ia juga tidak tahu bagaimana cara menenangkan bayi yang rewel, tetapi nalurinya bekerja keras di sini. Naluri ayah yang mengkhawatirkan anak-anaknya.Samudra tidak tahu apa pun mengurus bayi, tapi yang ia tahu, dirinya ingin Barra selamat dan Bulan tenang. Karenanya segala cara ia lakukan untuk anak kembarnya itu.Ajaib memang, Bulan yang terbangun lagi karena dibaringkan di ranjangnya, kembali tenang dan tertidur setelah Samudra
203“Aku ikut!” Dengan melepaskan paksa payudara yang tengah dihisap Bulan, Mentari beringsut ke tepi ranjang. Lalu menurunkan kakinya hingga menjuntai di lantai.Samudra yang berniat keluar ruangan, membalikkan tubuhnya dengan cepat. Lalu kembali menghampiri Mentari dengan kecemasan yang sudah menguasai dirinya.“Kamu di sini saja, kasihan Bulan.” Sang pria menunjuk bayi perempuan yang menangis dan menyibak kerudung yang menutupi dada sang ibu. Mencari sumber kehidupannya lagi.“Aku juga ingin melihat Barra. Aku takut terjadi sesuatu dengannya.” Mentari tetap dengan pendiriannya, padahal di pangkuannya, Bulan menangis seolah memprotes ulah sang ibu yang mengakhiri aktivitas menyusunya dengan paksa.“Biar Mas yang urus Barra, kamu urus Bulan saja.” Samudra bernego karena kasihan melihat Bulan yang terus menangis. Namu, Mentari tetap memaksa.“Aku mau melihat Barra. Aku tidak akan memaafkan diriku jika sampai terjadi sesuatu dengannya dan aku sama sekali belum melakukan apa pun untukny
204“Bukan waktunya bicara hal begitu, Mbak.” Mentari melepaskan diri dari pelukan pengasuh anaknya. Mulai tidak nyaman dengan ucapan Rumi.“Jangan membuat pusing kepalaku. Aku mikirin Barra saja sudah setakut ini.”“Ya, maaf, Bu. Mbak cuma menyampaikan pandangan aja setelah lihat sendiri bagaimana Pak Samudra paniknya mengurus Mas Barra. Semua nggak ada rekayasa. Sebenarnya, Mbak yakin kalau Pak Samudra itu orang baik. Baik banget malah. Mungkin malam itu, hanya emosinya sedang tidak stabil aja. Mungkin faktor kelelahan, atau banyak pikiran, atau apa pun itu yang membuatnya melakukan kesalahan besar. Mbak yakin kalau penyesalannya itu sungguh-sungguh. Kan, semua orang pasti pernah berbuat salah. Apa pintu maaf itu nggak ada sama sekali, Bu?”Mentari memejam. Sungguh, ia tidak mau membahas hal ini di saat seperti ini. Fokusnya hanya kondisi Barra. Baginya, pengasuh anaknya itu sok tahu dengan berkata seperti itu. Ya, memang ia sudah terbuka semua perihal kejadian malam itu dengan Rumi
205Lima hari kemudian ….Mentari menoleh ke arah pintu saat seseorang membukanya. Namun, gegas wanita itu kembali berpaling saat tahu siapa yang datang.Sementara seseorang yang baru saja datang, langsung berjalan menuju meja tak jauh dari ranjang pasien. Meletakkan barang-barang yang tadi memenuhi tangannya di kiri dan kanan ke atas meja. Raut tidak suka tergambar jelas di wajahnya demi pemandangan yang tersaji begitu ia masuk ke dalam ruangan itu.Di sana, di dekat ranjang pasien anak, duduk laki-laki usia awal tiga puluhan yang sedang memangku bayi perempuan. Senda gurau yang dihiasi tawa renyah bayi perempuan itu terdengar memenuhi ruangan. Menandakan jika bayi perempuan itu senang digoda.“Tari, apa Bulan sudah minum obat?” Pertanyaan dari seseorang yang baru datang, membuat ruangan hening beberapa saat. Laki-laki tiga puluhan yang sedang menggoda bayi perempuan, sejenak menghentikan aksinya. Terlebih lirikan tidak suka dari pria yang baru datang sedikit mengganggunya.Mentari y