206“Bahkan di saat seperti ini saudara Bima masih bicara kontrak iklan?” Samudra masih menatap tajam Bima. Suaranya berusaha ditekan agar Bulan dan Barra tidak kaget. Walaupun seemosi apa pun, tetap kenyamanan anak-anaknya yang utama.“Tidakkah saudara Bima melihat jika anak-anakku masih sangat tertekan dan ketakutan?” lanjutnya pelan tapi sangat dalam. Tidak menyangka jika laki-laki yang selalu dibanggakan Mentari sebagai calon ayah sambung yang baik itu, malah membahas hal yang tidak semestinya.“Demi Tuhan aku tidak suka anak-anakku dieksploitasi. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Mereka masih kecil, bukan masanya harus kerja mencari uang. Tugas mereka saat ini hanya menikmati waktu tumbuh dan berkembang dengan bahagia. Kalau mau, bahkan perusahaan yang mengontrak itu bisa dibeli dengan uang tabungan anak kembar itu. Dan satu lagi saudara Bima, saya bisa melaporkan anda karena sudah mengeksploitasi anak-anak yang bahkan masih bayi.”Bima tersentak mendengar ucapan Samudra, dan Men
207“Dek, ibuku ingin bertemu kamu dan anak-anak. Apa boleh beliau menjenguk kalian di sini?”Mentari tertegun saat kedatangan Bima di hari ketujuh mereka di rumah sakit, menyampaikan sesuatu yang tak terduga. Ia tahu konsekuensi dari hubungan serius memang melibatkan keluarga. Karena penikahan bukan sekadar dua orang, melainkan menyatukan juga dua keluarga. Dan Bima, karena memang ingin serius tentunya juga ingin mengenalkan dirinya pada keluarganya.Namun, Mentari tidak menyangka akan secepat ini. Selain karena anak-anaknya masih belum stabil kondisi kesehatannya, statusnya yang belum resmi bercerai juga menjadi ganjalan.Apa nanti tanggapan keluarga Bima jika tahu dirinya belum resmi menyandang status janda? Apa mereka tidak akan berpikiran negatif? Belum lagi jika mereka tahu setiap harinya kini ia dan mantan suaminya selalu bersama di ruangan yang sama. Apakah itu tidak akan menimbulkan pemikiran semakin buruk akan dirinya?Manusia memang hanya bisa berencana. Kedatangannya ke si
208Wajah Mentari merengut hingga sepasang alisnya saling bertaut. Jangan lumapan kulitnya yang bak terbakar saking merahnya. Juga tubuh yang bergetar hebat menahan amarah. Jika saja di sana tidak ada dua anaknya, niscaya ia sudah berteriak. Meraung marah terhadap paman dan keponakan itu.Marah terhadap Samudra yang lancang membawa Bastian ke sana tanpa meminta izinnya lebih dulu. Dan tentu marah terhadap Bastian yang masih punya muka menampakkan diri di hadapannya setelah apa yang diperbuat padanya. Padahal, kemarin ia sudah melaporkan Bastian karena kedatangannya ke rumahnya. Tapi sekarang laki-laki itu ada di sini. Sudah pasti Samudra yang membebaskannya. Mereka punya uang, tentulah semudah itu mempermainkan hukum.Dengan menahan dada yang seakan ingin meledak, Mentari berjalan mendekati Samudra, kemudian mengambil alih Bulan walaupun anak itu menolak. Matanya menatap tajam Samudra yang keberatan Mentari memaksa Bulan.“Suruh orang itu pergi dari sini.” Mentari mendesis di depan wa
209Bastian berlari menjauhi mobil, saat melihat seseorang berjalan melewati pelataran parkir rumah sakit. Sebenarnya Samudra memintanya untuk pulang karena percuma ia tetap di sana, toh Mentari tidak mau menemuinya. Namun, Bastian tidak serta-merta menuruti perintah Samudra. Laki-laki dua puluh tujuh tahun itu memutuskan menunggu seseorang di sana setelah Samudra kembali masuk.Ia sangat yakin jika orang yang ditunggunya akan keluar. Dan benar saja, orang yang ia tunggu akhirnya muncul tak lama sejak Samudra masuk.“Tunggu, Bung!” serunya saat orang yang ia tunggu hendak membuka pintu mobil. Beberapa lipatan langsung tercipta di kening orang yang baru datang itu saat melihat Bastian menghampirinya.“Aku mau bicara,” lanjut Bastian lagi begitu berdiri di hadapan laki-laki itu.“Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan di antara kita. Kita tidak ada urusan, bukan?” Laki-laki itu merespon cepat.“Siapa bilang tidak ada urusan? Kamu sudah merecoki pernikahan pamanku dan istrinya.”Laki
210“Masih ingat aku?” tanya laki-laki kurus yang terlihat lebih tua dari usianya. Tatapannya sengaja dibuat tajam. Sementara wanita yang kini berdiri di balik mejanya, hanya menanggapi dengan datar. Seperti kebiasaannya.“Tentu saja,” jawab sang wanita tenang, lalu mempersilakan laki-laki itu untuk duduk di kursi di hadapannya.“Kita pernah tinggal di rumah yang sama semala puluhan tahun, bagaimana saya tidak ingat anda, Tuan Muda Bastian Hanggara yang ….” Wanita itu seolah sengaja menggantung kalimat.“Yang apa?” Laki-laki yang tidak lain Bastian, mengerutkan kening. Ratri sekarang terlihat berbeda di matanya. Meski masih dengan style yang sama seperti dulu yang selalu menggunakan pakaian berwarna gelap, tetapi sikapnya jauh berbeda dengan Ratri saat masih menjadi asisten Widya. Jika dulu selalu menunduk dan tidak banyak bicara karena selalu berada di belakang Widya, kini wanita itu terlihat sangat percaya diri. Mungkin pekerjaan yang berbeda yang membuatnya tampak lain.Bastian seb
211Samudra berjalan lunglai melewati koridor rumah sakit yang entah berapa kali dalam sehari dilaluinya. Bila biasanya ia akan sangat bersemangat datang ke sana karena bisa dekat dengan anak-anaknya, berbeda untuk kali ini.Tangan pria tersebut menenteng sebuah tas di mana di dalamnya terdapat berkas untuk kelengkapan perceraian. Tak ada pilihan untuknya selain mengabulkan permintaan Mentari. Meski perih, tapi itu harus dilakukan asal Mentari bahagia. Yang penting baginya akses untuk menemui anak-anak tetap terbuka lebar.Samudra mengetuk pintu dan kemudian membukanya tanpa menunggu tanggapan dari dalam. Seperti biasa pemandangan yang membuat hatinya teriris, tersaji di depan mata. Bima duduk di sebuah kursi di dekat ranjang Barra. Sementara Mentari duduk di tepi ranjang sisi berbeda. Bulan tidur di ranjangnya.Awalnya Samudra tak ingin berkata apa pun dan memilih menunggu Bima pulang untuk bicara dengan Mentari. Namun, melihat ada pemandangan yang berbeda kali ini, tak ayal membuat
212Keadaan berbalik. Kini, Bima yang mundur teratur dengan perasaan tersisih sangat kuat setelah Barra tidak ingin disentuh sedikit pun olehnya. Laki-laki itu menatap nanar Samudra yang tengah asik melepas rindu dengan anak laki-lakinya.Tadi, Bima berusaha menarik perhatian Barra lagi, tetapi anak itu menolaknya. Bahkan menepis tangan Bima yang menyentuh tangannya.Bima menarik napas dalam sebelum membalikkan tubuhnya. Lalu, melirik Mentari yang merasa tidak enak hati.“Dek, bisa kita bicara dulu?” tanya Bima lirih. Tatapannya terlihat sendu. Sebenarnya, bukan hanya kali ini Mentari melihat tatapan Bima berbeda. Dalam beberapa pertemuan terakhir, ia melihat seolah Bima ingin menyampai sesuatu. Namun, tak kunjung bicara.Mentari melirik Samudra yang masih asik melepas rindu dengan Barra. Bahkan hingga tak peduli dengan sekeliling. Terlihat kebahagiaan Samudra yang natural. Tidak dibuat-buat. Mengerti apa yang dipikirkan Mentari, Bima mengalihkan pandangan searah tatapan wanita itu.“P
213“Jalan yang ditunjukkan Tuhan justru semakin mendekatkan kalian dengan Pak Samudra, Dek,” ujar Bima lagi serius.Kepala Mentari semakin menggeleng. Bibirnya bahkan kini digigit kuat. Matanya memanas.“Dek, maaf kalau aku lancang menasihatimu.” Bima memperbaiki posisi duduk agar menghadap tepat ke arah Mentari. “Saranku, Dek, cobalah berdamai dengan masa lalu agar hatimu lebih tenang menjalani masa yang akan datang. Ingat, kamu seorang ibu dua anak yang masih sangat kecil. Mereka punya hak untuk mereguk kebahagiaan dengan orang tua yang utuh. Mereka butuh seorang ayah, Dek. Dan sebaik-baik seorang ayah untuk anak-anak adalah ayah kandungnya.”“Cukup, Kak!” Mentari tidak tahan mendengar rentetan kalimat Bima yang terlontar dengan lancar itu. Entah kenapa laki-laki itu tiba-tiba bicara hal seperti ini.“Kakak bicara apa? Aku sama sekali tidak mengerti.” Suara Mentari timbul tenggelam karena menahan sesak di dadanya. Ia mencoba menyangkal jika Bima tidak sedang bicara demikian.Lagi,