"Om..… "
Jenala menelan ludah susah payah. Jadi suami istri? Dirinya dan Abimana? Yang benar saja! Bisa-bisa dia disidang tujuh hari tujuh malam oleh orang tuanya.
"Om tau sendiri kalau umur kita jauh berbeda. Dan Papa pasti akan shock berat jika tau om yang akan menjadi-" Jenala mengusap wajah frustasi, dia tak bisa melanjutkan kata-katanya.
Abimana tersenyum tipis melihat wajah perempuan muda di hadapannya, wajah mungil dengan ekspresi pias itu sangat membuatnya tertarik.
Jenala Lovina, gadis kecil yang dulu senantiasa mengekorinya ke mana pun dirinya pergi, kini sudah tumbuh menjadi perempuan yang sangat menarik. Rambut sebahu dengan bentuk tubuh mungil, akan membuat siapa pun gemas melihatnya. Tak terkecuali Abimana sendiri.
"Perbedaan umur kita, ya?” Abimana menganggukkan kepalanya pelan dan tenang. “Saya tau, dan tentu saja semua ini juga tidak akan mudah karena Papa kamu adalah sahabat saya sendiri. Lalu, apakah yang kamu khawatirkan hanya itu?"
Jenala semakin dibuat mati kutu, sebenarnya mengapa Abimana terlihat sedang main-main dengannya. Dan apakah pria itu tidak takut jika papa Jenala murka?
Jenala menghembuskan napas berat, dia terus melafalkan kata-kata penenang untuk dirinya sendiri. ‘Jangan sampai dia terprovokasi dengan sikap tenang Abimana.’
"Love... "
Wajah Jenala semakin memerah mendengar Abimana memanggilnya demikian. Love adalah panggilan kecil Jenala dari Abimana sendiri. Dulu, Jenala tidak suka jika Abimana memanggilnya sama dengan yang lain. Alhasil pria itu memanggil Jenala dengan nama belakangnya, Love dari kata Lovina.
"Memangnya kamu tidak mau jadi istri saya? Bukankah dulu kamu pernah mengatakan, jika sudah dewasa akan menjadikan saya sebagai suami kamu?"
Jenala menganga dengan mata melotot. Dia menggeleng kuat sembari menatap Abimana horor. "Sa-saya tidak mungkin mengatakan hal yang mustahil seperti itu. Dan kalaupun iya, itu hanya bualan anak kecil!" Jenala menolak mempercayai itu semua, pasti semua ini hanya akal-akalan Abimana.
"Oh ya? Perlu bukti?" Abimana mengeluarkan ponselnya, lalu mengotak-atik sebentar sebelum menyerahkannya pada Jenala.
Jenala menerima dengan ragu-ragu, netranya bergetar ketika melihat wajahnya yang saat itu menduduki prasekolah. Dan, oh God. Bukankah itu Abimana sewaktu remaja? Tanpa sadar Jenala mengusap layar benda pipih itu perlahan. Tampan dan menawan, kata itulah yang telintas dalam benak Jenala.
Namun, sedetik kemudian bola mata perempuan itu melotot karena menyadari dirinya sangat agresif sewaktu kecil. Bahkan dalam rekaman itu, Jenala terus mencium pipi Abimana seraya merengek meminta untuk dinikahi.
Ya Tuhan... Jenala ingin mengubur dirinya ke dalam palung mariana sekarang juga!
Abimana mencondongkan badannya ke depan, lalu berbisik pelan ke arah Jenala. "Saya penasaran, apakah kamu masih seagresif dulu?"
"Om!"
Abimana terkekeh melihat wajah memerah Jenala. "Jadi, bagaimana jawaban kamu soal pertanyaan saya di awal?"
Jenala menggeleng, perbedaan usia mereka empat belas tahun. Apa kata orang jika Jenala dan Abimana bersama? Apalagi keluarga besarnya yang mulutnya tak bisa direm. "Om, saya... "
Abimana yang melihat ketakutan serta kebimbangan dari perempuan manis itu langsung menuju kursi di samping Jenala. Tangan kekar beruratnya terangkat ke arah pucuk kepala Jenala, lalu mengusapnya lembut. “Apa yang membuatmu ragu?”
Jenala menggigit bibir bawahnya, dia ingin melambaikan tangan pada kamera. Jenala menyerah, dia mengaku kalah. Jantungnya seakan ingin meledak ketika menerima sikap lembut dari Abimana.
Sikap manis dari pria di hadapannya ini bagaikan perangkap mematikan, jika Jenala tak berhati-hati, maka ia akan terjebak di dalamnya.
"Om, Papa saya tidak mungkin menyetujuinya, dan bisa-bisa Om akan berakhir di rumah sakit."
Abimana mengulum senyum. "Kamu khawatir?"
Skakmat, memang sebaiknya jangan gegabah. Tidak baik memancing pria dewasa seperti ini. Jenala akan belajar merangkai kata-kata lagi, agar tidak menimbulkan perkara bagi kesehatan jantungnya. "Tidak, saya hanya, takut," gumam Jenala menunduk.
Abimana memasang senyum menawan, dia mengacak pelan surai Jenala sebelum mengeluarkan cincin dari saku bajunya. Lalu menaruh benda bulat berkilau itu pada telapak tangan Jenala.
"Om... " Bibir Jenala bergetar, jantungnya seakan ingin meledak sekarang juga. "Om, kalau saya jantungan Om harus tanggung jawab!"
Jenala sangat ketakutan. Dia jomblo dari lahir, dan ketika mendapat perlakuan seperti ini, Jenala bagaikan disambar petir di siang bolong.
Abimana terkekeh serak. "Saya sudah menyiapkan semuanya. Siapapun teman kencan saya hari ini, akan saya berikan cincin itu."
Jenala memegang dadanya, dia juga bisa merasakan jika keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Bagaimana pun, ini kali pertama dia mencoba berhubungan dengan lawan jenis. Namun, alih-alih jadi kekasih … pria di hadapannya justru langsung mengajaknya ke jenjang yang lebih serius.
Jenala tak bisa berkata-kata, bahkan tangannya masih bergetar ketika melihat cincin yang ada di telapak tangannya.
Jika ini adalah mimpi, tolong bangunkan Jenala sekarang juga, karena Jenala tahu bahwa ia tak akan sanggup kalau semua ini nyata. "Sa-saya tidak bisa, Om."
Perkataan lirih Jenala mampu membuat raut Abimana berubah dalam sekejap. Bahkan rahang tegas itu terlihat mengetat dengan sorot mata mendingin. "Saya hanya menawarkan sekali. Jika kamu menolaknya, bersiaplah untuk kegagalanmu mengenalkan calon suami khayalanmu itu.”
Jenala meremas kedua tangannya, Abimana terlihat menyeramkan sekarang. Dia jadi takut sendiri melihat ekspresi pria itu.
Abimana tak akan berbuat hal yang tidak-tidak padanya, kan? Karena saat ini Jenala dapat merasakan aura mencekam di sekelilingnya. "Om, saya tetap-"
Jenala langsung memejamkan mata ketika Abimana semakin mendekat, bahkan pria itu dengan santainya mengambil cincin yang ada di telapak tangannya. Lalu memasangkannya pada jari manis Jenala. "Tidak sulit untuk kita berdua saling tolong menolong, kan?"
Jenala menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat ketakutan melihat sikap Abimana yang sangat agresif. Sikap Abimana bisa berubah dalam waktu sekejap, pria itu seperti mempunyai dua kepribadian.
"Sa-saya takut..hiksss... Om sangat menyeramkan... " Tangis Jenala pecah, bahkan kakinya bergetar saking takutnya.
Abimana gelagapan, dia ingin tertawa sekaligus kasihan disaat yang bersamaan. Perempuan dua puluh lima tahun ini benar-benar sungguh menggemaskan. "Cup-cup... " Abimana membawa Jenala dalam pelukannya, dia tak menyangka anak sahabatnya sangat polos soal percintaan.
"Beri saya waktu, saya masih shock. Dan jantung saya berdentum terus sedari tadi," ucap Jenala setelah meredakan tangisnya. Dia melepas pelukan Abimana seraya mengambil tisu untuk membersihkan ingusnya.
Abimana mengulum senyum tertahan. "Baiklah jika itu mau kamu, saya akan menunggu sampai besok."
Jenala melotot, mana mungkin dia berpikir dalam waktu sesingkat itu! Jenala juga harus memikirkan kondisi jantung papa serta mamanya. "Satu minggu lagi, Om!-"
Abimana mengelus cincin yang terpasang pada jari manis Jenala. Lalu menatap perempuan muda di hadapannya dalam.
"Besok, atau tidak sama sekali."
'Besok, atau tidak sama sekali.'Abimana tersenyum mengingat kalimat tegas bernada ancaman yang dia keluarkan pada Jenala. Pria itu bisa menebak, kalau tak lama lagi perempuan lugu itu pasti akan menghubunginya.Abimana Dominico Javier, sosok maskulin penuh karisma itu sedang menormalkan deru nafasnya yang memburu. Bulir keringat membasahi tubuh atletisnya, kulit kecoklatan itu terlihat semakin seksi tatkala terkena sinar mentari pagi.Kegiatan pria itu terhenti ketika ponselnya berbunyi. Abimana mengusap peluhnya menggunakan handuk sport yang dikalungkan pada leher jenjang nan kokok itu. Sudut bibir Abimana tertarik ke atas, setelah melihat siapa yang menelponnya."Halo—" [Halo Om!]Abimana menjauhkan ponselnya dari telinga. Pria itu tersenyum samar sebelum berujar pelan. "Jenala…"[ I-iya Om, emm… jadi begini. Saya, iya.]Kening Abimana berkerut ketika mendengar jawaban ambigu dari Jenala. Pria itu keluar dari ruang gym-nya, lalu melangkah menuju balkon. Ia bertumpu menggunakan sik
"Menurutmu, apakah seorang Dominico suka membual?" Abimana memejamkan mata ketika lehernya semakin tercekik. Wajah tampan itu memerah menahan amarah, bahkan urat lehernya mencuat. "Jevier, jangan pernah main-main. Kamu memang sahabatku, tapi jika kamu mengusik Jenala ... Aku tidak segan-segan menghancurkanmu! Tidak peduli siapa kamu dan keluargamu!""Papa, stop! Om Abimana kesusahan bernafas!" Jenala panik, bahkan tanpa sadar perempuan itu mendekat untuk melepas cekalan papanya."Jena!" Jihan menarik tangan sang putri, dia tak mau Jenala semakin memperkeruh suasana. "Cukup sayang, jangan seperti ini. Nanti Papa kamu semakin murka." Jihan menarik Jenala menjauh, sedangkan Jenala terus meronta-ronta meminta untuk dilepaskan."Kalau aku mengatakan jika sudah menyukai Jenala sejak remaja, bagaimana?" Abimana seakan menyulut kobaran api yang Alpha tekan rapat-rapat. Dan tanpa aba-aba tubuh pria itu langsung tersungkur dengan Alpha yang terus memberikannya bogem mentah."Brengsek kamu, Jev
"Javier!" Alpha berseru dengan mata berkilat tajam, pria itu benar-benar murka sekarang. "Aku peringatkan sekali lagi, hentikan hubungan konyol kalian sampai di sini, kamu tentu tau jika keluargamu juga tidak akan diam saja, Vier." "Dan aku tekankan sekali lagi, mereka tidak akan ikut campur dengan urusan asmaraku. Cukup kamu restui aku dengan Jenala, lalu semuanya beres." Abimana mengambil sikap defensif, ia tak mau jika perkataan Alpha mempengaruhinya. "Tidak! Mau kamu jungkir balik sekali pun, aku tidak akan setuju!" "Ssttt.. saya pusing sekali Jenala." "Papa…. jangan mengatakan seperti itu. Lihat, Om Abimana jadi pusing karena teriakan Papa." Jenala menggerutu pada papanya, lalu secepat kilat ia mengalihkan atensinya pada Abimana. Dan memijat pelan kepala pria itu. Membuat Alpha mendecih sinis melihatnya."Halah! Itu hanya bualan Javier saja!" Alpha mendelik ke arah Abimana. "Lebih baik kamu pulang, dan kita akan membicarakan ini di apartemen kamu besok pagi!""Papa, sudah ya
Jenala yang sedang melangkah menuju kafetaria terhenti kala merasakan ponselnya bergetar, ia mengerutkan kening ketika melihat siapa yang menelpon. "Halo, Om." [Jenala, boleh saya minta tolong?] Jenala terdiam sejenak saat mendengar suara Abimana yang terdengar gusar. Ia berdehem pelan sembari berujar singkat. "Tentu." [Tolong jemput Sera siang ini, jika pekerjaan saya sudah selesai, saya akan menyusul kamu.] Jenala menggigit bibir bawahnya, bagaimana caranya menolak yang halus dan tak menyinggung. Sera sendiri adalah anak angkat Abimana, Orang tua Sera meninggal saat kecelakaan dengan mobil yang Abimana kendarai. Untuk itu sebagai pertanggung jawaban, Abimana mengadopsi gadis kecil itu sejak umur satu tahun. [ Jenala, kamu mendengar saya? ] "Eh, i-iya Om. Saya tid-" [ Ah—satu lagi, kamu jangan ke kelasnya ya. Langsung ke taman saja, biasanya dia menunggu saya di sana. Terima kasih Jenala, saya tutup dulu.] Jenala mendesah ketika Abimana sudah menutup panggilannya, jenala pun
Jenala yang sudah selesai mandi dan berpakain langsung menuju lantai bawah untuk makan malam bersama. Namun, keningnya berkerut kala melihat keberadaan sang adik. "Lho, kamu kapan pulang, katanya tidak mau balik lagi ke Amsterdam?" Sang empu yang ditanya hanya mengangkat alis, lalu secara tiba-tiba dia melempar sendok ke arah Jenala. "Juwita! Kamu gila ya?!" "Kamu yang gila! Mama sama Papa tiba-tiba nelpon aku, mereka bilang kamu mau nikah sama Om Abimana! Yang benar saja Jena! Dia itu cuma beda tiga tahun dari Papa!" Jenala mencebik, ia mengambil duduk di samping Juwita. "Why not? Toh dia mapan dan tampan, soal umur itu urusan belakangan." "Kamu benar-benar ya!" Juwita menjambak rambut Jenala kuat, bahkan Jenala sampai berteriak. Tak ingin kalah dari gadis remaja di sampingnya, Jenala justru menendang tulang kering sang adik. Dan benar saja, Juwita langsung melepas jambakannya sambil menangis keras. "MAMA! JENALA GEBUKIN AKU!" Jenala mendengkus seraya merapikan rambutnya, adikny
Sepulang bekerja, Jenala bergegas menuju apartemen Abimana. Perempuan itu menggunakan transportasi umum, mengingat jika ia tak membawa kendaraan pribadi ke kantor. Setelah sampai di halte bus seberang apartemen Abimana, Jenala menelpon Abimana untuk menjemputnya. Tak lama kemudian, pria itu datang dengan wajah panik dan langsung memarahinya."Kenapa tidak mengatakan jika kamu menaiki Bus? Jika saya tau, saya akan menjemput kamu ke kantor. Dan untuk kedepannya, kamu juga harus memakai coat jika bepergian, mengerti Jenala?" Jenala hanya mengangguk mengiyakan, dia seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh ayahnya. Abimana menutupi kepala Jenala mengenakan jaketnya, mengingat salju disertai angin kencang yang menerpa tubuh mereka. Ia pun bergegas menuntun Jenala menuju apartemennya.Selang beberapa menit kemudian, Abimana mengambil duduk di samping Jenala, sembari menaruh coklat hangat yang ia buat. Pria itu menatap lekat perempuan mungil berwajah manis di sampingnya. "Jadi, apa alas
Jenala berkutat dengan laporan yang memusingkan, sudah menjelang waktu istirahat. Dirinya tak kunjung menemukan titik temu dari report di hadapannya. "Jena, sudah selesai belum? Aku mau ke kantin nih. Atau kamu mau nitip saja?" Jenala mendongak, dan menatap ke arah Melisa. Sahabatnya dari masa high school. "Boleh, aku nitip air putih sama roti saja. Terima kasih, Mel."Melisa mengacungkan jempolnya, lalu bergegas pergi, sedangkan Jenala masih berkutat dengan laptop di hadapannya. Tak lama kemudian Jenala dikagetkan oleh telepon digital yang berada di samping mejanya, perempuan itu pun bergegas mengangkatnya "Selamat siang, dengan Jenala dari divisi operasional." Jenala memulai salam percakapan, setelahnya perempuan itu menyimak perkataan dari lawan bicaranya di seberang sana. "Baik Pak, saya antarkan ke ruangan bapak sekarang." Jenala menutup telepon dengan bahu terkulai lemas, moodnya sedang tak baik-baik saja. Karena hari pertama datang bulan, ditambah dengan atasannya yang ot
Dua hari setelah malam di mana Abimana mengajak Jenala pergi ke festival itu, sikap Jenala sedikit aneh. Bahkan Jenala sedikit menghindar darinya. Abimana bertanya-tanya, apa ada sifatnya yang membuat Jenala sakit hati. "Javier, hasil fotonya kenapa tidak seperti biasanya?" Marlo, sahabat Abimana melayangkan protes. "Sorry, nanti aku maksimalkan sat mengeditnya." Abimana mengambil duduk pada sofa yang ada di pojok ruangan, pria tiga puluh sembilan tahun itu menutup wajahnya menggunakan lengan. "Hem, tidak biasanya kamu seperti ini. Ada masalah di rumah? Atau ada yang terjadi sama Sera?" Abimana menggeleng pelan, ia sangat tertutup. Apalagi soal asmara, jika sudah tidak kuat menampung nya sendiri, barulah Abimana menceritakannya pada Alpha dan Marlo."Omong-omong kemarin aku ke rumah Alpha, trus ketemu Jena sama calon suaminya—""APA!" Abimana menatap Marlo dengan tajam, bahkan pria itu tanpa sadar berteriak keras. Padahal ia masih berada di studio. "Vier! Yang benar saja, kalau ak