Jenala yang sedang melangkah menuju kafetaria terhenti kala merasakan ponselnya bergetar, ia mengerutkan kening ketika melihat siapa yang menelpon.
"Halo, Om."
[Jenala, boleh saya minta tolong?]
Jenala terdiam sejenak saat mendengar suara Abimana yang terdengar gusar. Ia berdehem pelan sembari berujar singkat. "Tentu."
[Tolong jemput Sera siang ini, jika pekerjaan saya sudah selesai, saya akan menyusul kamu.]
Jenala menggigit bibir bawahnya, bagaimana caranya menolak yang halus dan tak menyinggung. Sera sendiri adalah anak angkat Abimana, Orang tua Sera meninggal saat kecelakaan dengan mobil yang Abimana kendarai. Untuk itu sebagai pertanggung jawaban, Abimana mengadopsi gadis kecil itu sejak umur satu tahun.
[ Jenala, kamu mendengar saya? ]
"Eh, i-iya Om. Saya tid-"
[ Ah—satu lagi, kamu jangan ke kelasnya ya. Langsung ke taman saja, biasanya dia menunggu saya di sana. Terima kasih Jenala, saya tutup dulu.]
Jenala mendesah ketika Abimana sudah menutup panggilannya, jenala pun bergegas untuk menjemput Sera, dia tak mau jika gadis kecil itu menunggu lama.
Selang dua puluh menit, Jenala sampai di sekolah Sera. Ia melenggang santai menuju taman, dan benar saja. Seperti perkataan Abimana, Sera sudah duduk santai sembari memainkan rubik di tangannya.
"Hai, sudah pulang? Ayo sama Aunty, Papa kamu ada pekerjaan soalnya. Jadi dia tidak bisa menjemput."
Oke, Jenala. Sepertinya itu salah satu pembukaan yang buruk. Karena gadis kecil itu hanya meliriknya sekilas, lalu kembali berfokus pada benda persegi yang ada di tangannya.
"Sera." Jenala mengambil duduk di samping Sera, lalu mengusap surai gadis kecil itu perlahan.
"Don't touch me!"
Jenala tersentak ketika Sera menepis tangannya. "Baik, Aunty tidak akan menyentuh kamu. Tetapi, ayo pulang. Sudah mau sepi lho sekolahnya. Memangnya kamu berani di sini sendirian? Kalau ada hantu bagaimana?"
Jenala mulai menakut-nakuti, ia yakin jika Sera akan terprovokasi oleh ucapannya.
"Hanya olang bodoh yang pelcaya hal sepelti itu!"
Gocha! Jenala di ulti oleh bocah lima tahun! Jenala mendengkus dalam hati, bocah ingusan yang belum bisa menyebut 'R' ini memang mempunyai mulut setajam silet. Untuk itu Jenala harus menebalkan rasa sabar serta banyak belajar untuk merangkai kata-kata.
"Hehe, begitu ya. Jadi Sera tetap tidak mau pulang? Baiklah kalau begitu, Aunty tinggal saja ya, sebentar lagi jam istirahat Aunty juga akan habis. Babay Sera!" Jenala melangkah pelan, ia yakin kali ini gadis kecil itu pasti akan memanggilnya.
"Aunty…."
Nah kan.. sudah Jenala tebak, untuk membujuk Sera cukup dengan gertakan kecil seperti ini. Jenala menoleh ke arah sera, sembari memasang wajah acuh tak acuh. "Ya?"
"Pintu kelual di sebelah kanan."
Jenala memejamkan mata erat, argh! Malu sekali rasanya, gadis kecil ini memang selalu membuatnya terlihat bodoh. Jenala menarik nafas dalam-dalam, bagaimana pun caranya, dia harus membawa Sera pulang. "Ya sudah, kamu mau ikut Aunty pulang atau tidak?"
"Tidak."
Baiklah, jalan satu-satunya harus menelpon Abimana. Biarkan pria itu saja yang membujuk putrinya.
"PAPA!"
Jenala yang hendak mengambil ponselnya menjadi terhenti oleh teriakan Sera, ia mengalihkan pandangan ke depan, dan menemukan eksistensi Abimana yang sedang berlari kecil dengan kamera yang menggantung pada leher kokohnya.
"Sayang, kenapa belum pulang juga, hem? Papa 'kan sudah meminta tolong pada Aunty Jena untuk menjemput kamu." Abimana membawa Sera ke dalam pelukannya, sesekali pria itu mengecup sayang pelipis sang putri.
"Lho, Aunty Jena tidak mengatakan itu. Dia hanya bilang di sini banyak hantu, tlus mau ninggalin aku sendili."
Jenala ternganga, yang benar saja hei! Bocah satu ini benar-benar. "Bohong Om! Sera yang tidak mau saya jemput!" seru Jenala panik, jangan sampai Abimana percaya oleh kata-kata gadis kecil itu.
Sera menatap Jenala kesal. "Lalu, kenapa Aunty Jena malah beldili di situ? Sehalusnya Aunty memeluk dan membujukku agal mau pulang!"
"kamu sendiri yang tidak suka disentuh, Aunty juga membujuk kamu kok tadi!"
'Astaga Jenala, mengapa kamu justru berdebat konyol dengan gadis kecil ini' Jenala menjerit dalam hati.
"Ya sudah, berhenti berdebatnya, oke? Lebih baik kita pulang saja." Abimana membuka suara, ia berdehem guna menetralkan kekehan geli yang akan keluar. Abimana merasa jika dia tengah berada diantara dua gadis kecil yang sedang bertengkar.
"Ayo Papa, kita pulang saja. Malas sekali beldebat dengan olang dewasa yang payah."
Jenala menggigit bibir bawahnya, ia harus menahan diri supaya tidak terpancing lagi.
Abimana mengecup lembut pucuk kepala Sera, seraya berujar pelan. "Jangan berbicara seperti itu ya sayang, bagaimanapun Sera harus menghormati orang yang lebih tua."
Gadis kecil itu merenggut, namun tak urung mengiyakan. "Baik Papa, Sela minta maaf." Abimana tersenyum sembari mengacak rambut Sera gemas, lalu mengalihkan atensinya pada Jenala yang terlihat terdiam di tempatnya.
"Terima kasih Jenala sudah mau saya repotkan untuk menjemput Sera, setelah ini kamu mau langsung balik ke kantor atau makan siang terlebih dahulu? Kebetulan di dekat sini ada restoran Italia yang enak."
Jenala menggeleng kuat, bisa darah tinggi dia jika berlama-lama berada didekat Sera. "Saya langsung ke kantor, Om. Nanti sekalian makan siang di kantor saja."
Abimana membawa sera dalam gendongannya, pria itu mendekat ke arah Jenala diiringi senyuman menawan. "Baiklah, hati-hati." Abimana mengacak rambut Jenala pelan, membuat semburan merah pada pipi perempuan muda itu.
"Papaaa….. Papa hanya boleh melakukan itu pada Sela!"
Rengekan Sera mampu membuat Jenala tersadar, ia pun bergegas pergi meninggalkan Abimana yang sedang menenangkan Sera.
Baru menghadapi Sera saja Jenala kewalahan, bagaimana jika menghadapi keluarga besar Abimana?
****
Malam harinya, gadis kecil itu terus bergerak memainkan kakinya pada sofa yang ia duduki. "Papa, Sela bosan. Kita ke lumah Oma sama Opa saja ayo!"
Abimana melirik Sera yang sedang menopang dagunya, bibir kecil itu mengerucut dengan mata berkedip lucu. Gemasnya.
"Kan sudah kemarin, sayang. Bahkan kamu menginap di rumah Opa sama Oma. Memangnya Sera tidak betah bersama Papa?"
Sera menggeleng kuat, kentara sekali jika dia tak ingin menyinggung perasaan sang Papa. "Bukannya begitu, Papa. Maksud Sela, di sana lamai. Jadi Sela bisa belmain sama yang lain. Kalau di sini 'kan sepi. Papa juga lagi kelja, Sela takut mengganggu Papa."
Abimana tersenyum kecil, ia mengusap rambut Sera penuh kasih sayang. Maaf, ya. Nanti kita bermain setelah Papa menyelesaikan pekerjaan ini. Sementara itu Sera menggambar saja, katanya Sera sangat jago menggambar, ya?"
Netra bening itu berbinar, lalu menatap papanya malu-malu. "Papa, eum.. tau dali mana. Sela hanya suka saja kok, tapi tidak sepintal itu."
"Kata Miss-nya Sera selalu mendapatkan nilai A+ jika menggambar. Hebatnya, anak siapa ini, hem?" Sera menenggelamkan dirinya pada dada bidang sang papa, pipi chubby itu memerah karena mendapatkan pujian.
"Papa, telima kasih. Sela sangat menyayangi Papa." Abimana mendekap Sera erat. "Papa juga menyayangi Sera lebih dari apapun." Abimana melepaskan pelukannya. "Kalau begitu Papa ambilkan perlengkapan menggambarnya ya, nanti Sera menggambar di samping Papa."
"Okay dokay!"
Abimana melangkah menuju kamar sera, untuk mengambil alat gambar gadis kecil itu, setelahnya ia menyerahkannya pada Sera.
"Duduk yang tenang, oke? Papa juga sembari bekerja. Setelah itu Sera tidur sambil Papa bacakan dongeng."
"Okay Papa!"
Mereka mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Abimana yang berkecimpung di dunia modeling fotografi harus berfokus pada objek yang dia edit.
"Papa," ucap Sera setelah keheningan yang panjang.
"Ya, sayangku." Abimana menjawab pelan, seraya tetap fokus pada pekerjaannya.
"Kenapa Aunty Jena sangat menyebalkan? Sela jadi pengen gigit setiap beltemu dia."
Abimana menghentikan kegiatannya, lalu menatap pada Sera. "Memangnya Aunty Jena sering membuat Sera kesal?"
Sera mengangguk cepat. "Dia tidak pelnah mau mengalah, selalu saja beldebat dengan Sela. Waktu kita libulan itu, kulit ayam Sela di makan sama dia, sangat menyebalkan! Sela lebih menyukai Aunty Milanda dali pada Aunty Jena."
Abimana terdiam, kini pikirannya berkecambuk setelah mendengar pernyataan Sera."Papa dengal Sela tidak?" Abimana tersentak dikala Sera sudah naik ke pangkuannya.
"Ah, maaf. Kenapa sayang?"
"Ish… Sela tadi bilang kalau Papa jangan pelnah dekat-dekat lagi dengan Aunty Jena. Kalna Sela tidak menyukainya!"
Jenala yang sudah selesai mandi dan berpakain langsung menuju lantai bawah untuk makan malam bersama. Namun, keningnya berkerut kala melihat keberadaan sang adik. "Lho, kamu kapan pulang, katanya tidak mau balik lagi ke Amsterdam?" Sang empu yang ditanya hanya mengangkat alis, lalu secara tiba-tiba dia melempar sendok ke arah Jenala. "Juwita! Kamu gila ya?!" "Kamu yang gila! Mama sama Papa tiba-tiba nelpon aku, mereka bilang kamu mau nikah sama Om Abimana! Yang benar saja Jena! Dia itu cuma beda tiga tahun dari Papa!" Jenala mencebik, ia mengambil duduk di samping Juwita. "Why not? Toh dia mapan dan tampan, soal umur itu urusan belakangan." "Kamu benar-benar ya!" Juwita menjambak rambut Jenala kuat, bahkan Jenala sampai berteriak. Tak ingin kalah dari gadis remaja di sampingnya, Jenala justru menendang tulang kering sang adik. Dan benar saja, Juwita langsung melepas jambakannya sambil menangis keras. "MAMA! JENALA GEBUKIN AKU!" Jenala mendengkus seraya merapikan rambutnya, adikny
Sepulang bekerja, Jenala bergegas menuju apartemen Abimana. Perempuan itu menggunakan transportasi umum, mengingat jika ia tak membawa kendaraan pribadi ke kantor. Setelah sampai di halte bus seberang apartemen Abimana, Jenala menelpon Abimana untuk menjemputnya. Tak lama kemudian, pria itu datang dengan wajah panik dan langsung memarahinya."Kenapa tidak mengatakan jika kamu menaiki Bus? Jika saya tau, saya akan menjemput kamu ke kantor. Dan untuk kedepannya, kamu juga harus memakai coat jika bepergian, mengerti Jenala?" Jenala hanya mengangguk mengiyakan, dia seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh ayahnya. Abimana menutupi kepala Jenala mengenakan jaketnya, mengingat salju disertai angin kencang yang menerpa tubuh mereka. Ia pun bergegas menuntun Jenala menuju apartemennya.Selang beberapa menit kemudian, Abimana mengambil duduk di samping Jenala, sembari menaruh coklat hangat yang ia buat. Pria itu menatap lekat perempuan mungil berwajah manis di sampingnya. "Jadi, apa alas
Jenala berkutat dengan laporan yang memusingkan, sudah menjelang waktu istirahat. Dirinya tak kunjung menemukan titik temu dari report di hadapannya. "Jena, sudah selesai belum? Aku mau ke kantin nih. Atau kamu mau nitip saja?" Jenala mendongak, dan menatap ke arah Melisa. Sahabatnya dari masa high school. "Boleh, aku nitip air putih sama roti saja. Terima kasih, Mel."Melisa mengacungkan jempolnya, lalu bergegas pergi, sedangkan Jenala masih berkutat dengan laptop di hadapannya. Tak lama kemudian Jenala dikagetkan oleh telepon digital yang berada di samping mejanya, perempuan itu pun bergegas mengangkatnya "Selamat siang, dengan Jenala dari divisi operasional." Jenala memulai salam percakapan, setelahnya perempuan itu menyimak perkataan dari lawan bicaranya di seberang sana. "Baik Pak, saya antarkan ke ruangan bapak sekarang." Jenala menutup telepon dengan bahu terkulai lemas, moodnya sedang tak baik-baik saja. Karena hari pertama datang bulan, ditambah dengan atasannya yang ot
Dua hari setelah malam di mana Abimana mengajak Jenala pergi ke festival itu, sikap Jenala sedikit aneh. Bahkan Jenala sedikit menghindar darinya. Abimana bertanya-tanya, apa ada sifatnya yang membuat Jenala sakit hati. "Javier, hasil fotonya kenapa tidak seperti biasanya?" Marlo, sahabat Abimana melayangkan protes. "Sorry, nanti aku maksimalkan sat mengeditnya." Abimana mengambil duduk pada sofa yang ada di pojok ruangan, pria tiga puluh sembilan tahun itu menutup wajahnya menggunakan lengan. "Hem, tidak biasanya kamu seperti ini. Ada masalah di rumah? Atau ada yang terjadi sama Sera?" Abimana menggeleng pelan, ia sangat tertutup. Apalagi soal asmara, jika sudah tidak kuat menampung nya sendiri, barulah Abimana menceritakannya pada Alpha dan Marlo."Omong-omong kemarin aku ke rumah Alpha, trus ketemu Jena sama calon suaminya—""APA!" Abimana menatap Marlo dengan tajam, bahkan pria itu tanpa sadar berteriak keras. Padahal ia masih berada di studio. "Vier! Yang benar saja, kalau ak
"Jenala, ayo kita bertemu orang tua saya." Jenala menatap Abimana kosong, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."Jenala, kamu mendengarkan saya tidak?" Jenala tergugu, Sera saja belum bisa Jenala rebut hatinya. Apalag ini keluarga Abimana, walaupun Jenala mengenal keluarga inti pria itu. Dan mereka memang sangat baik kepadanya, tapi Jenala takut membayangkan reaksi mereka ketika mengetahui Jenala adalah calon Istri Abimana. "Om… tapi Sera saja masih belum menerima saya. Apa tidak terlalu cepat?""Tentu tidak, kamu sudah kenal keluarga saya bukan? Saya yakin, mereka akan menerima kamu. Dan membantu kamu untuk mengambil hati Sera." Jenala dilanda kebingungan, ia belum siap, sungguh. Tetapi, bukankah lebih cepat lebih baik?"Baik, Om. Saya akan mencobanya." ***Ini weekend yang paling menegangkan bagi Jenala, sejak pukul sembilan pagi dia sudah berada di apartemen Abimana. Herannya, papa serta mamanya justru telihat mendukungnya. Entahlah apa yang Abimana katakan kepada kedua ora
"Om! Mau pipis!" Jenala memotong cepat, lalu mengambil duduk di samping Abimana. Bahkan kini tangan kecilnya memegang erat lengan Abimana. "Om mau 'kan anterin saya? Soalnya saya lupa kamar mandinya di sebelah mana." “Aku sudah punya calon, dan dia adalah Jenala.” Abimana tak menghiraukan perkataan Jenala, bahkan kini pria itu mengambil tangan Jenala dan menaruhnya di atas pangkuannya. “Om… “ Jenala ingin menangis sekarang juga, apalagi kala melihat perubahan ekspresi dari Miranda serta mama Abimana. Mereka menganga dengan pandangan tak percaya.Tak lama kemudian, Raquel terbahak keras, bahkan wanita paruh baya itu memegang perutnya sembari menatap Abimana geli. “Astaga sayang, Mama tidak tau kalau kamu sangat lucu.” “Apa Mama pernah melihat aku bercanda seperti ini? Tentu Mama lebih mengenal aku dari pada siapapun.” Raquel terdiam, bahkan kini tawanya menyurut, digantikan oleh wajah serius. “Miranda, tolong bawa Sera ke kamar Cisa, Tante mau berbicara dulu sama Jenala dan Javier.
Jika sebelumnya Jenala selalu mengatakan bahwa Abimana adalah tipe pria dewasa yang kritis serta berpikir logis, dan selalu mengedepankan logika. Tetapi, kali ini ia akan mengecap Abimana sebagai pria dewasa yang kekanakan dan tak mau mengalah."Intinya, saya tidak suka Jika membayangkan kamu dengan lelaki manapun berdekatan, karena kamu adalah calon istri saya. Otomatis saya harus menjaga kamu dari semua ketertarikan para lelaki yang melihat kamu, serta yang ada di sekeliling kamu."Abimana menipiskan bibirnya, seharusnya waktu itu ia bilang saja jika sedang cemburu dan tak terima. Bukanya bersikap biasa saja, dan malah membuatnya tak tenang. Alhasil Abimana menumpahkannya sekarang, lagipula mengapa perempuan manis ini sangat tak peka terhadap kode yang Abimana berikan? Apa Jenala tak sadar jika dirinya sangat cantik dan menarik? Bisa saja lelaki di luar sana hanya pura-pura ingin menjadii temannya, tapi malah manaruh rasa padanya. 'Argh, sangat menyebalkan memang menyukai perempua
'Sayang, kenapa tidak bilang jika ingin ke sini'Ingatan Jenala terlempar pada perkataan Abimana saat di restoran, Jenala ingin menghilang dari muka bumi ini ketika semua mata teman-temannya menyorotinya penuh godaan. Ah, jangan lupakan Melisa, sahabat cantiknya itu bahkan langsung mengultimatum Jenala untuk menjelaskannya besok pagi di kantor. Setelah itu Abimana mengajak Jenala ke mejanya, Abimana juga mengatakan jika Jenala harus ke apartemennya besok sore. Pria itu bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Padahal Jenala sedang marah dan menghindarinya. "Huh…" Jenala menghembuskan nafas berat, sudah pukul dua dini hari, tapi Jenala sama sekali tak bisa memejamkan mata. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Om Abimana. [ Jangan lupa besok sore ke apartemen saya, Sera sedang ingin makan masakanmu. ]Jenala mendengkus, alasan. Sejak kapan Sera ingin makan masakannya? Jenala saja baru belajar masak pada mamanya. Selang satu menit, pesan dari Abimana kembali
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju