"Javier!"
Alpha berseru dengan mata berkilat tajam, pria itu benar-benar murka sekarang. "Aku peringatkan sekali lagi, hentikan hubungan konyol kalian sampai di sini, kamu tentu tau jika keluargamu juga tidak akan diam saja, Vier."
"Dan aku tekankan sekali lagi, mereka tidak akan ikut campur dengan urusan asmaraku. Cukup kamu restui aku dengan Jenala, lalu semuanya beres." Abimana mengambil sikap defensif, ia tak mau jika perkataan Alpha mempengaruhinya.
"Tidak! Mau kamu jungkir balik sekali pun, aku tidak akan setuju!"
"Ssttt.. saya pusing sekali Jenala."
"Papa…. jangan mengatakan seperti itu. Lihat, Om Abimana jadi pusing karena teriakan Papa." Jenala menggerutu pada papanya, lalu secepat kilat ia mengalihkan atensinya pada Abimana. Dan memijat pelan kepala pria itu. Membuat Alpha mendecih sinis melihatnya.
"Halah! Itu hanya bualan Javier saja!" Alpha mendelik ke arah Abimana. "Lebih baik kamu pulang, dan kita akan membicarakan ini di apartemen kamu besok pagi!"
"Papa, sudah ya. Biarkan Om Abimana istriahat dulu," ujar Jenala pelan, dia juga ikutan pusing mendengar gerutuan papanya yang tak ada habisnya.
"Kamu ini, dari tadi membela Abimana terus. Segitu cintanya kamu sama dia? Iya?!" sindir Alpha ketus.
Jenala menggeleng panik, perempuan itu bahkan mencengkram lengan Abimana, lain halnya dengan Abimana yang mengulum senyum tertahan, rasa tak enak dalam dadanya kala Alpha membahas soal keluarga hilang tak tersisa ketika melihat raut menggemaskan Jenala.
"Papa…. tidak seperti itu! Maksud Jena, inikan sudah malam, tidak baik bertengkar disaat waktu istirahat. Belum lagi tetangga yang akan terganggu dengan keributan ini, jadi lebih baik Papa juga istirahat. Biar aku sama Om Abimana-"
"Kalian juga mau istirahat di kamar yang sama! Begitu? Astaga Jena, Papa sama Mama saja masih shock dengan hubungan konyol kalian ini. Dan kamu mau menambah tensi Papa lagi?!"
"Papa….!" Jenala meraup wajahnya frustasi, lalu menatap Abimana dengan mata berkaca-kaca. "Om.. bantuin, Papa saya mulai melantur tidak jelas…" Rengeknya sembari mencebikkan bibir.
Abimana tersenyum kecil, ia melirik Alpha sekilas. Setelahnya Abimana memfokuskan pandangannya pada Jenala. "Memang jika sudah tua sering naik darah, biarkan saja. Yang terpenting saya cinta kamu."
"Om!" Jenala berseru sembari melotot tajam, dia menatap ke arah papanya yang siap mengeluarkan laharnya kembali.
"Jena, Papa hitung sampai tiga. Jika kamu tidak kembali ke kamar kamu sekarang juga. Papa akan buat malam ini adalah terakhir kamu melihat Javier." Tekan Alpha disetiap kata-katanya. Raut dingin tak terbantahkan itu mampu membuat Jenala menelan ludah susah payah.
Dengan perlahan Jenala beringsut menjauh, ia sempat menatap Abimana sekilas. Dan direspon kedipan mata oleh pria itu. Jenala menggeleng tak percaya, benar-benar om-om yang satu itu. Apakah dia tidak ada takutnya dengan ancaman papanya?
"Selamat istirahat calon istriku!"
Abimana berseru ketika Jenala hendak mencapai pintu, membuat perempuan itu langsung berlari terbirit-birit menuju kamarnya.
***
Jenala menguap ketika suara ketukan tak sabaran dari pintu kamarnya.
Perempuan itu berdecak kesal, lalu melihat jam weker di atas nakas yang menunjukkan pukul enam pagi. Aneh, biasanya jam segini mama serta papanya sedang lari pagi di sekitaran komplek perumahan mereka. Tetapi, kenapa sekarang mamanya membangunkannya pagi-pagi buta begini?
Jenala pun melangkah malas-malasan menuju pintu, ia tak mempedulikan penampilan serta rambutnya yang masih awut-awutan sehabis bangun tidur. "Mama… ini masih pagi dan- ARGH! OM ABIMANA KENAPA ADA DI SINI!"
BRAK!
Jenala menutup pintu kamarnya kuat, bahkan dindingnya sampai bergetar. Jantung Jenala bertalu-talu dengan nafas terengah. Kini rasa kantuknya tergantikan oleh rasa kaget luar biasa.
Bagaimana ini, penampilannya pasti membuat Abimana ilfil, Jenala menggigit bibir bawahnya, sungguh, dia ingin menghilang detik ini juga!
"Jenala, tolong bantu kompres wajah saya, karena tangan saya tiba- tiba sakit."
Terdengar seruan Abimana dari balik pintu. Jenala semakin dibuat serba salah sekarang. Lagipula mengapa Abimana masih di rumahnya, Jenala pikir pria itu sudah pulang semalam.
"Jenala, tidak usah malu. Kamu tetap cantik kok. Walaupun rambut seperti singa, serta terdapat bekas iler di sudut bibir."
Jenala mencebik.Tolong, itu pujian atau hinaan! Jenala menarik nafas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk keluar, bahkan perempuan muda itu tak mau repot-repot membenahi penampilannya.
"Apa! Om ini ganggu sekali. Masih pagi juga, ayam saja belum bangun!"
Abimana menatap Jenala dalam, jika dilihat lebih teliti, ada sorot geli pada netra hazel itu. "Kamu tidak membersihkan wajah dulu? Atau menguncir rambut, misalnya?"
Jenala mendelik kesal. "Om bilang tadi saya tetap cantik dengan penampilan seperti ini, dasar tidak konsisten! Ya sudah, katanya mau saya mandikan, ayo cepat. Sebelum saya berubah pikiran!"
Jenala yang tersadar akan apa yang ia ucapkan dengan cepat melarat. "Ma-maksud saya, ya… eum.. saya kompres wajahnya Om." Jantungnya memompa lebih cepat dikala Abimana mulai beringsut mendekat padanya.
"Ayo, saya juga mau." bisik pria itu lirih, membuat bulu kuduk Jenala meremang.
Namun, dengan cepat perempuan itu mengubah raut wajahnya, ia mendongak menatap tepat pada netra memukau itu. "Dasar mesum! Maksud saya bukan yang itu!"
Abimana melangkah mundur, lalu bersedekap dada. Dia menatap Jenala dengan tatapan geli. "Lho, memangnya saya mengatakan apa? Lebih baik bersihkan wajah saya secepatnya, takutnya kamu lepas kendali dan menyerang saya di sini."
Setelahnya Abimana melenggang santai menuju kamar yang ia tempati semalam, meninggalkan Jenala yang mencak-mencak sembari meremas rambutnya gemas.
***
"Stt …. pelan-pelan, kamu kasar sekali."
"Diam, ini juga saya sudah selembut mungkin."
"Awh… kamu menekannya terlalu kuat."
Jenala memejamkan mata kesal, benar-benar om yang satu ini. Manjanya luar biasa, padahal bekas lukanya juga tak separah itu.
"Kalau Om tidak mau diam, saya tinggal tidur nih! Biar Papa saja yang bersihin wajah Om!" Jenala menekan kuat sudut bibir Abimana, membuat pria itu meringis menahan perih.
"Sabar-sabar… nanti anak kita takut kalau Mamanya emosian." Abimana menepuk lembut pucuk kepala Jenala. Sedangkan Jenala yang menerima serangan tak terduga itu hanya mengulum bibirnya.
"Om, kalau keluarga Om dan keluarga saya tetap tidak setuju, apa sebaiknya kita berhenti sampai di sini?"
Jenala tersentak kala tangannya dicekal kuat oleh Abimana. Perempuan itu terpaku melihat perubahan ekspresi Abimana, tak ada raut jenaka seperti tadi. Kini tergantikan oleh mimik geram menahan emosi.
"Sepertinya kamu melupakan kesepakatan kita, jika dilarang mengatakan hal seperti ini. Dari mana keberanian kamu itu berasal, Jenala?"
Jenala menelan ludah susah payah, padahal niatnya hanya mengalihkan pembicaraan, tapi mengapa respon pria itu sangat serius.
"Lepas, Om. Sakit…." Jenala berucap takut-takut, Abimana yang tersadar akan apa yang ia lakukan dengan segera menormalkan ekspresinya. Bahkan kini dia mengusap pergelangan tangan Jenala. Sesekali mengecupnya penuh kelembutan.
"Maaf, saya lepas kendali. Dan untuk seterusnya, boleh saya minta untuk jangan mengatakan hal konyol seperti ini lagi?" Jenala terdiam, ia membuang pandangan ke arah lain sambil mengusap pergelangan tangannya. Abimana yang melihat itu menghela nafas berat.
"Jenala, semuanya akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu mencemaskan apapun. Dan jika keluarga kamu sudah menyetujuinya, saya akan membawa kamu ke rumah keluarga saya. Apa kamu siap?"
Jenala menoleh cepat ke arah Abimana, perempuan itu meremas kedua tangannya. Padahal tadi Jenala memancing duluan, namun saat akan dikenalkan, ia menjadi gugup tak menentu.
"Om, saya hanya bercanda. Lupakan saja oke, bukankah waktu kita masih banyak? Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya meluluhkan orang tua saya dulu."
Abimana tersenyum miring, lalu mengusap kening Jenala pelan. "Kamu mau tau caranya supaya direstui oleh Papamu?" bisik Abimana pelan.
Jenala menggeleng polos, keningnya berkerut seolah-olah meminta penjelasan lebih.
Abimana beringsit mendekat, lalu menangkup pipi Jenala. "Pejamkan mata kamu, dan hitung sampai tiga. Maka kamu akan mengetahui jawabannya."
Memang pada dasarnya Jenala yang polos, dengan mudahnya ia mengikuti perkataan Abimana.
"Cup"
Jenala menegang kala merasakan keningnya dicium penuh kelembutan. Tak lama kemudian terdengar seruan murka dari arah pintu.
"JAVIER BRENGSEK, KAMU APAKAN PUTRIKU!"
Jenala yang sedang melangkah menuju kafetaria terhenti kala merasakan ponselnya bergetar, ia mengerutkan kening ketika melihat siapa yang menelpon. "Halo, Om." [Jenala, boleh saya minta tolong?] Jenala terdiam sejenak saat mendengar suara Abimana yang terdengar gusar. Ia berdehem pelan sembari berujar singkat. "Tentu." [Tolong jemput Sera siang ini, jika pekerjaan saya sudah selesai, saya akan menyusul kamu.] Jenala menggigit bibir bawahnya, bagaimana caranya menolak yang halus dan tak menyinggung. Sera sendiri adalah anak angkat Abimana, Orang tua Sera meninggal saat kecelakaan dengan mobil yang Abimana kendarai. Untuk itu sebagai pertanggung jawaban, Abimana mengadopsi gadis kecil itu sejak umur satu tahun. [ Jenala, kamu mendengar saya? ] "Eh, i-iya Om. Saya tid-" [ Ah—satu lagi, kamu jangan ke kelasnya ya. Langsung ke taman saja, biasanya dia menunggu saya di sana. Terima kasih Jenala, saya tutup dulu.] Jenala mendesah ketika Abimana sudah menutup panggilannya, jenala pun
Jenala yang sudah selesai mandi dan berpakain langsung menuju lantai bawah untuk makan malam bersama. Namun, keningnya berkerut kala melihat keberadaan sang adik. "Lho, kamu kapan pulang, katanya tidak mau balik lagi ke Amsterdam?" Sang empu yang ditanya hanya mengangkat alis, lalu secara tiba-tiba dia melempar sendok ke arah Jenala. "Juwita! Kamu gila ya?!" "Kamu yang gila! Mama sama Papa tiba-tiba nelpon aku, mereka bilang kamu mau nikah sama Om Abimana! Yang benar saja Jena! Dia itu cuma beda tiga tahun dari Papa!" Jenala mencebik, ia mengambil duduk di samping Juwita. "Why not? Toh dia mapan dan tampan, soal umur itu urusan belakangan." "Kamu benar-benar ya!" Juwita menjambak rambut Jenala kuat, bahkan Jenala sampai berteriak. Tak ingin kalah dari gadis remaja di sampingnya, Jenala justru menendang tulang kering sang adik. Dan benar saja, Juwita langsung melepas jambakannya sambil menangis keras. "MAMA! JENALA GEBUKIN AKU!" Jenala mendengkus seraya merapikan rambutnya, adikny
Sepulang bekerja, Jenala bergegas menuju apartemen Abimana. Perempuan itu menggunakan transportasi umum, mengingat jika ia tak membawa kendaraan pribadi ke kantor. Setelah sampai di halte bus seberang apartemen Abimana, Jenala menelpon Abimana untuk menjemputnya. Tak lama kemudian, pria itu datang dengan wajah panik dan langsung memarahinya."Kenapa tidak mengatakan jika kamu menaiki Bus? Jika saya tau, saya akan menjemput kamu ke kantor. Dan untuk kedepannya, kamu juga harus memakai coat jika bepergian, mengerti Jenala?" Jenala hanya mengangguk mengiyakan, dia seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh ayahnya. Abimana menutupi kepala Jenala mengenakan jaketnya, mengingat salju disertai angin kencang yang menerpa tubuh mereka. Ia pun bergegas menuntun Jenala menuju apartemennya.Selang beberapa menit kemudian, Abimana mengambil duduk di samping Jenala, sembari menaruh coklat hangat yang ia buat. Pria itu menatap lekat perempuan mungil berwajah manis di sampingnya. "Jadi, apa alas
Jenala berkutat dengan laporan yang memusingkan, sudah menjelang waktu istirahat. Dirinya tak kunjung menemukan titik temu dari report di hadapannya. "Jena, sudah selesai belum? Aku mau ke kantin nih. Atau kamu mau nitip saja?" Jenala mendongak, dan menatap ke arah Melisa. Sahabatnya dari masa high school. "Boleh, aku nitip air putih sama roti saja. Terima kasih, Mel."Melisa mengacungkan jempolnya, lalu bergegas pergi, sedangkan Jenala masih berkutat dengan laptop di hadapannya. Tak lama kemudian Jenala dikagetkan oleh telepon digital yang berada di samping mejanya, perempuan itu pun bergegas mengangkatnya "Selamat siang, dengan Jenala dari divisi operasional." Jenala memulai salam percakapan, setelahnya perempuan itu menyimak perkataan dari lawan bicaranya di seberang sana. "Baik Pak, saya antarkan ke ruangan bapak sekarang." Jenala menutup telepon dengan bahu terkulai lemas, moodnya sedang tak baik-baik saja. Karena hari pertama datang bulan, ditambah dengan atasannya yang ot
Dua hari setelah malam di mana Abimana mengajak Jenala pergi ke festival itu, sikap Jenala sedikit aneh. Bahkan Jenala sedikit menghindar darinya. Abimana bertanya-tanya, apa ada sifatnya yang membuat Jenala sakit hati. "Javier, hasil fotonya kenapa tidak seperti biasanya?" Marlo, sahabat Abimana melayangkan protes. "Sorry, nanti aku maksimalkan sat mengeditnya." Abimana mengambil duduk pada sofa yang ada di pojok ruangan, pria tiga puluh sembilan tahun itu menutup wajahnya menggunakan lengan. "Hem, tidak biasanya kamu seperti ini. Ada masalah di rumah? Atau ada yang terjadi sama Sera?" Abimana menggeleng pelan, ia sangat tertutup. Apalagi soal asmara, jika sudah tidak kuat menampung nya sendiri, barulah Abimana menceritakannya pada Alpha dan Marlo."Omong-omong kemarin aku ke rumah Alpha, trus ketemu Jena sama calon suaminya—""APA!" Abimana menatap Marlo dengan tajam, bahkan pria itu tanpa sadar berteriak keras. Padahal ia masih berada di studio. "Vier! Yang benar saja, kalau ak
"Jenala, ayo kita bertemu orang tua saya." Jenala menatap Abimana kosong, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."Jenala, kamu mendengarkan saya tidak?" Jenala tergugu, Sera saja belum bisa Jenala rebut hatinya. Apalag ini keluarga Abimana, walaupun Jenala mengenal keluarga inti pria itu. Dan mereka memang sangat baik kepadanya, tapi Jenala takut membayangkan reaksi mereka ketika mengetahui Jenala adalah calon Istri Abimana. "Om… tapi Sera saja masih belum menerima saya. Apa tidak terlalu cepat?""Tentu tidak, kamu sudah kenal keluarga saya bukan? Saya yakin, mereka akan menerima kamu. Dan membantu kamu untuk mengambil hati Sera." Jenala dilanda kebingungan, ia belum siap, sungguh. Tetapi, bukankah lebih cepat lebih baik?"Baik, Om. Saya akan mencobanya." ***Ini weekend yang paling menegangkan bagi Jenala, sejak pukul sembilan pagi dia sudah berada di apartemen Abimana. Herannya, papa serta mamanya justru telihat mendukungnya. Entahlah apa yang Abimana katakan kepada kedua ora
"Om! Mau pipis!" Jenala memotong cepat, lalu mengambil duduk di samping Abimana. Bahkan kini tangan kecilnya memegang erat lengan Abimana. "Om mau 'kan anterin saya? Soalnya saya lupa kamar mandinya di sebelah mana." “Aku sudah punya calon, dan dia adalah Jenala.” Abimana tak menghiraukan perkataan Jenala, bahkan kini pria itu mengambil tangan Jenala dan menaruhnya di atas pangkuannya. “Om… “ Jenala ingin menangis sekarang juga, apalagi kala melihat perubahan ekspresi dari Miranda serta mama Abimana. Mereka menganga dengan pandangan tak percaya.Tak lama kemudian, Raquel terbahak keras, bahkan wanita paruh baya itu memegang perutnya sembari menatap Abimana geli. “Astaga sayang, Mama tidak tau kalau kamu sangat lucu.” “Apa Mama pernah melihat aku bercanda seperti ini? Tentu Mama lebih mengenal aku dari pada siapapun.” Raquel terdiam, bahkan kini tawanya menyurut, digantikan oleh wajah serius. “Miranda, tolong bawa Sera ke kamar Cisa, Tante mau berbicara dulu sama Jenala dan Javier.
Jika sebelumnya Jenala selalu mengatakan bahwa Abimana adalah tipe pria dewasa yang kritis serta berpikir logis, dan selalu mengedepankan logika. Tetapi, kali ini ia akan mengecap Abimana sebagai pria dewasa yang kekanakan dan tak mau mengalah."Intinya, saya tidak suka Jika membayangkan kamu dengan lelaki manapun berdekatan, karena kamu adalah calon istri saya. Otomatis saya harus menjaga kamu dari semua ketertarikan para lelaki yang melihat kamu, serta yang ada di sekeliling kamu."Abimana menipiskan bibirnya, seharusnya waktu itu ia bilang saja jika sedang cemburu dan tak terima. Bukanya bersikap biasa saja, dan malah membuatnya tak tenang. Alhasil Abimana menumpahkannya sekarang, lagipula mengapa perempuan manis ini sangat tak peka terhadap kode yang Abimana berikan? Apa Jenala tak sadar jika dirinya sangat cantik dan menarik? Bisa saja lelaki di luar sana hanya pura-pura ingin menjadii temannya, tapi malah manaruh rasa padanya. 'Argh, sangat menyebalkan memang menyukai perempua
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju