'Sayang, kenapa tidak bilang jika ingin ke sini'Ingatan Jenala terlempar pada perkataan Abimana saat di restoran, Jenala ingin menghilang dari muka bumi ini ketika semua mata teman-temannya menyorotinya penuh godaan. Ah, jangan lupakan Melisa, sahabat cantiknya itu bahkan langsung mengultimatum Jenala untuk menjelaskannya besok pagi di kantor. Setelah itu Abimana mengajak Jenala ke mejanya, Abimana juga mengatakan jika Jenala harus ke apartemennya besok sore. Pria itu bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Padahal Jenala sedang marah dan menghindarinya. "Huh…" Jenala menghembuskan nafas berat, sudah pukul dua dini hari, tapi Jenala sama sekali tak bisa memejamkan mata. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Om Abimana. [ Jangan lupa besok sore ke apartemen saya, Sera sedang ingin makan masakanmu. ]Jenala mendengkus, alasan. Sejak kapan Sera ingin makan masakannya? Jenala saja baru belajar masak pada mamanya. Selang satu menit, pesan dari Abimana kembali
Setelah pulang dari apartemen Abimana, Jenala lebih banyak diam. Dan itu disadari oleh Alpha, pria itu menahan diri untuk tidak bertanya langsung semalam.Alpha melangkah masuk ke kamar Jenala, ia menghela nafas berat ketika melihat Jenala yang terduduk dengan pandangan kosong ke depan."Kamu tidak ke kantor sayang?" tanya Alpha sembari mengambil duduk di samping Jenala. "Sudah pukul delapan pagi lho, nanti telat.""Jenala izin Pa, soalnya lagi kurang fit. Mungkin karena pulangnya kemalaman." Alpha mengelus kepala Jenala penuh kelembutan. "Mau cerita sama Papa? Tapi kalau belum siap juga tidak apa-apa."Jenala yang sejak semalam pura-pura kuat seketika tangisnya langsung pecah, ia masuk ke dalam pelukan papanya sembari menumpahkan air matanya. "Tante Raquel tiba-tiba datang ke apartemen Om Abimana, dia sangat marah dan menentang keras hubungan kami."Memang pada akhirnya Raquel pergi dari apartemen Abimana. Setelah Jenala mengutarakan pernyataan itu, tapi entah mengapa Jenala tiba-tib
Memang sangat berbahaya memancing pria dewasa seperti Abimana. Setelah perkataan Jenala pada malam itu. Hubungan mereka yang awalnya dibangun atas kepentingan masing-masing berubah menjadi serius. Abimana tak main-main ketika mengatakan akan menikahi Jenala, pria itu bahkan langsung ingin mempersiapkan semuanya, untung saja Jenala dengan cepat mencegahnya. "Jadi, kapan pernikahan kalian dilangsungkan?" Jenala meringis melihat Melisa yang menatapnya dengan bersedekap dada. "Tidak tau, aku perlu waktu Mel, walaupun kita sudah sama-sama saling menyukai. Tapi keluarganya membuatku sedikit berat." Jenala menyeruput lemon teanya, sepulang bekerja. Ia memang ke mall dengan Melisa. Untuk mengusir penat. "Menurutku sih ya, semua ini kalian yang menjalani. Jika pun keluarga Om Abimana tidak setuju, itu balik lagi pada mereka. Namun, dengan seiring berjalannya waktu, aku sangat yakin jika pintu restu mereka akan terbuka. Yang terpenting Kamu dan Om Abi saling menguatkan dan mempercayai satu
"Mama! Koper aku diambil sama Jenala!" Jenala membekap mulut Juwita, cepu sekali adiknya ini. "Kamu bisa diam tidak? Aku cuma pinjam sebentar tau! Toh ini semua buat barang-barang kamu juga nantinya." Gadis remaja itu melepas kasar tangan Jenala dari mulutnya, lalu bersedekap dada. "Kita cuma mau ke rumah Nenek, kamu jangan lebay sampai membawa semua isi lemarimu!" Jenala mengangkat bahu acuh tak acuh, dia sekeluarga memang akan berangkat ke Indonesia besok sore. "Ini buat persiapan liburan ke Bali sama Lombok, memangnya kamu tidak mau cuci mata di sana? Banyak bule tampan lho..." Jenala berteriak kala rambutnya ditarik dari belakang. "Dasar! Aku bilang sama Om Abimana mati kamu!" "Jangan! Dasar tukang ngadu! Awas saja kamu ya, jangan macam-macam!" Juwita hanya memeletkan lidahnya, lalu melenggang keluar dari kamar Jenala. Tak lama kemudian, Jihan datang dengan nampan berisi jus di atasnya. Wanita paruh baya itu berdecak kala melihat kamar Jenala yang seperti kapal pecah. "Ya Tu
Jenala menghirup nafas dalam-dalam. Ah-dia begitu merindukan suasana kota Jakarta. Jenala juga sangat merindukan street foodnya, di Belanda memang banyak makanan Indonesia. Namun, tetap saja rasanya berbeda jika menikmatinya di tanah air secara langsung. "Jena! Juwita! Cucu cantikku!" Jenala serta Juwita masuk ke dalam pelukan,Nera. Selaku nenek Jenala. Wanita paruh baya itu tinggal bersama anak bungsunya, yang tak lain adalah adik Jihan. Sedangkan keluarga besar Alpha semuanya menetap di Belanda. "Cucuku semakin cantik saja, andai kakek kalian masih ada. Pasti dia sangat bahagia melihat kedua cucu cantiknya ini." Nera menatap Jenala serta Juwita secara bersamaan. "Eumm.. rindu Nenek.." Juwita mengeratkan pelukannya, sementara Jenala terkikik geli melihat tingkah adiknya yang manja. "Nek, aku ke kamar Mama sama Papa dulu ya. Eh tapi, Tante Kia di mana, Nek? Aku tidak melihatnya sedari tadi.""Lagi ke supermarket, beli bahan-bahan buat makan malam nanti." Jenala mengangguk mengerti
Cahaya mentari pagi menyorot hangat pada sosok rupawan yang sedang mengatur nafasnya. Pria itu terengah, bulir keringat membasahi tubuh atletisnya. Ujung rambut yang menjuntai pada keningnya berbuai, seiring dengan pergerakan tubuhnya. "Vier, sudah prepare belum? Tiga jam lagi kita flight." Marlo berdecak melihat Abimana yang belum keluar juga dari ruang gym yang ada di hotel mereka tempati ini. Abimana mengangkat bahu acuh tak acuh, dia kembali melanjutkan aktivitasnya. "Sebentar, lima menit lagi." "Vier! Yang benar saja! Katanya mau cepat balik ke Amsterdam, belum lagi kita menunggu pesanan kamu. Bisa-bisa kita tertinggal pesawat. Abimana menghentikan kegiatannya, lalu mengambil ponselnya. Ternyata sudah dua jam dia berada di ruangan ini, tepat ketika Jenala memutuskan sambungan telepon. Abimana melangkah menuju sofa puff berbentuk panjang yang terdapat pada pojok ruangan. "Menurutmu, apakah Alpha akan kaget?" Marlo mengambil duduk di samping Abimana. “Siapa yang tidak kaget k
Tidak ada yang pernah siap dengan yang namanya perpisahan. 'Jenala Lovina'***“Jenala… hikss… sayang… bagaimana ini, hiks… Kapal pesiar yang ditumpangi keluargamu terbakar dan tenggelam. Tidak ada yang selamat dalam kecelakaan itu.” Jenala melepas kasar pelukan Dian. Dia menatap tajam pada wanita di depannya. "Tante jangan berbicara seperti itu!" Bentaknya tanpa sadar, dia tak suka jika ada orang yang berbicara tidak-tidak kepada keluarganya.Dian bersimpuh, wanita itu menunjuk ke arah televisi dengan isakan memilukan. Jenala terpaku, netranya menyorot dengan tajam. Tak lama kemudian dia berlari cepat menuju kamar yang ditempati. Semua itu bohong, jelas-jelas ada pesan masuk dari keluarganya yang belum dia buka. Jenala mengambil kasar ponselnya di atas nakas, lalu membuka pesan dari mamanya yang dikirim tujuh jam yang lalu. [ Jena, sayangku. Jika nanti Mama, Papa dan Juwita tidak kembali. Jaga diri baik- baik sayang. Kami mencintaimu.]Seketika itu juga Jenala melempar ponselny
Aku tidak tahu, hal besar apa yang akan Tuhan siapkan sehingga mengujiku begitu hebat. 'Jenala Lovina'***Jenala pikir, inilah akhirnya. Inilah akhir dari dunianya. Namun, semuanya musnah ketika melihat bayangan ketiga orang tersayangnya, mereka menatapnya dengan derai air mata. Seolah-olah jika Jenala melompat, mereka akan semakin tersiksa. Jenala terpaku, dia melihat ke arah bawah. Ruangan yang dia tempat berada di lantai lima, jika dirinya memutuskan untuk melompat, dia akan berkumpul lagi dengan keluarganya. Kejadiannya begitu cepat, Jenala tersentak kuat ketika tubuhnya ditarik dari belakang. “APA YANG KAMU LAKUKAN!” Nera berteriak murka, tubuhnya yang ringkih itu bergetar hebat. Dia menatap kecewa pada Jenala. Niat hatinya ingin melihat keadaan sang cucu, tapi apa yang dia dapatkan. Nera tak bisa membayangkan jika dia tak masuk. Mungkin dia akan kembali merasakan kesedihan yang jauh lebih dahsyat. “Jena, mengapa sayang? Hiks….” Tubuh Jenala memaku, dia terlihat shock den
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju