Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
“Jena, kamu sudah punya kekasih?”"Uhuk!" Jenala tersedak ludahnya sendiri, perempuan itu menggeleng seraya menatap ke arah dua tantenya. Sekarang ia merasa diserang dari berbagai arah."Sayang sekali, Briana saja mau dilamar oleh kekasihnya. Kamu tidak mau mengikuti saran dari tente saja?" Kedua tantenya itu menatap tubuh Jenala dari ujung kepala hingga kaki. Jenala tahu, tante-tantenya itu pasti ingin membahas penampilannya yang dinilai ‘kurang menjual’. Tubuh mungil, kulit yang dinilai tidak seputih para bintang iklan sabun di televisi.Jenala mengibaskan kedua tangannya. "Tidak Tante, lagian kulit Jenala bagus, kok. Sehat juga. Tidak perlu putih untuk menjadi cantik." Jenala langsung mengambil sifat defensif. Ia tak mau terpengaruh oleh pernyataan tentenya. "Tapi, para sepupu kamu sudah mau bertunangan. Hanya Kamu saja yang tertinggal."Meski hatinya sudah panas karena serangan-serangan dari tantenya, Jenala tetap memaksakan sebuah senyum. “Tenang saja, Tante. Besok juga aku ma
"Om..… "Jenala menelan ludah susah payah. Jadi suami istri? Dirinya dan Abimana? Yang benar saja! Bisa-bisa dia disidang tujuh hari tujuh malam oleh orang tuanya."Om tau sendiri kalau umur kita jauh berbeda. Dan Papa pasti akan shock berat jika tau om yang akan menjadi-" Jenala mengusap wajah frustasi, dia tak bisa melanjutkan kata-katanya.Abimana tersenyum tipis melihat wajah perempuan muda di hadapannya, wajah mungil dengan ekspresi pias itu sangat membuatnya tertarik.Jenala Lovina, gadis kecil yang dulu senantiasa mengekorinya ke mana pun dirinya pergi, kini sudah tumbuh menjadi perempuan yang sangat menarik. Rambut sebahu dengan bentuk tubuh mungil, akan membuat siapa pun gemas melihatnya. Tak terkecuali Abimana sendiri."Perbedaan umur kita, ya?” Abimana menganggukkan kepalanya pelan dan tenang. “Saya tau, dan tentu saja semua ini juga tidak akan mudah karena Papa kamu adalah sahabat saya sendiri. Lalu, apakah yang kamu khawatirkan hanya itu?"Jenala semakin dibuat mati kutu,
'Besok, atau tidak sama sekali.'Abimana tersenyum mengingat kalimat tegas bernada ancaman yang dia keluarkan pada Jenala. Pria itu bisa menebak, kalau tak lama lagi perempuan lugu itu pasti akan menghubunginya.Abimana Dominico Javier, sosok maskulin penuh karisma itu sedang menormalkan deru nafasnya yang memburu. Bulir keringat membasahi tubuh atletisnya, kulit kecoklatan itu terlihat semakin seksi tatkala terkena sinar mentari pagi.Kegiatan pria itu terhenti ketika ponselnya berbunyi. Abimana mengusap peluhnya menggunakan handuk sport yang dikalungkan pada leher jenjang nan kokok itu. Sudut bibir Abimana tertarik ke atas, setelah melihat siapa yang menelponnya."Halo—" [Halo Om!]Abimana menjauhkan ponselnya dari telinga. Pria itu tersenyum samar sebelum berujar pelan. "Jenala…"[ I-iya Om, emm… jadi begini. Saya, iya.]Kening Abimana berkerut ketika mendengar jawaban ambigu dari Jenala. Pria itu keluar dari ruang gym-nya, lalu melangkah menuju balkon. Ia bertumpu menggunakan sik
"Menurutmu, apakah seorang Dominico suka membual?" Abimana memejamkan mata ketika lehernya semakin tercekik. Wajah tampan itu memerah menahan amarah, bahkan urat lehernya mencuat. "Jevier, jangan pernah main-main. Kamu memang sahabatku, tapi jika kamu mengusik Jenala ... Aku tidak segan-segan menghancurkanmu! Tidak peduli siapa kamu dan keluargamu!""Papa, stop! Om Abimana kesusahan bernafas!" Jenala panik, bahkan tanpa sadar perempuan itu mendekat untuk melepas cekalan papanya."Jena!" Jihan menarik tangan sang putri, dia tak mau Jenala semakin memperkeruh suasana. "Cukup sayang, jangan seperti ini. Nanti Papa kamu semakin murka." Jihan menarik Jenala menjauh, sedangkan Jenala terus meronta-ronta meminta untuk dilepaskan."Kalau aku mengatakan jika sudah menyukai Jenala sejak remaja, bagaimana?" Abimana seakan menyulut kobaran api yang Alpha tekan rapat-rapat. Dan tanpa aba-aba tubuh pria itu langsung tersungkur dengan Alpha yang terus memberikannya bogem mentah."Brengsek kamu, Jev
"Javier!" Alpha berseru dengan mata berkilat tajam, pria itu benar-benar murka sekarang. "Aku peringatkan sekali lagi, hentikan hubungan konyol kalian sampai di sini, kamu tentu tau jika keluargamu juga tidak akan diam saja, Vier." "Dan aku tekankan sekali lagi, mereka tidak akan ikut campur dengan urusan asmaraku. Cukup kamu restui aku dengan Jenala, lalu semuanya beres." Abimana mengambil sikap defensif, ia tak mau jika perkataan Alpha mempengaruhinya. "Tidak! Mau kamu jungkir balik sekali pun, aku tidak akan setuju!" "Ssttt.. saya pusing sekali Jenala." "Papa…. jangan mengatakan seperti itu. Lihat, Om Abimana jadi pusing karena teriakan Papa." Jenala menggerutu pada papanya, lalu secepat kilat ia mengalihkan atensinya pada Abimana. Dan memijat pelan kepala pria itu. Membuat Alpha mendecih sinis melihatnya."Halah! Itu hanya bualan Javier saja!" Alpha mendelik ke arah Abimana. "Lebih baik kamu pulang, dan kita akan membicarakan ini di apartemen kamu besok pagi!""Papa, sudah ya
Jenala yang sedang melangkah menuju kafetaria terhenti kala merasakan ponselnya bergetar, ia mengerutkan kening ketika melihat siapa yang menelpon. "Halo, Om." [Jenala, boleh saya minta tolong?] Jenala terdiam sejenak saat mendengar suara Abimana yang terdengar gusar. Ia berdehem pelan sembari berujar singkat. "Tentu." [Tolong jemput Sera siang ini, jika pekerjaan saya sudah selesai, saya akan menyusul kamu.] Jenala menggigit bibir bawahnya, bagaimana caranya menolak yang halus dan tak menyinggung. Sera sendiri adalah anak angkat Abimana, Orang tua Sera meninggal saat kecelakaan dengan mobil yang Abimana kendarai. Untuk itu sebagai pertanggung jawaban, Abimana mengadopsi gadis kecil itu sejak umur satu tahun. [ Jenala, kamu mendengar saya? ] "Eh, i-iya Om. Saya tid-" [ Ah—satu lagi, kamu jangan ke kelasnya ya. Langsung ke taman saja, biasanya dia menunggu saya di sana. Terima kasih Jenala, saya tutup dulu.] Jenala mendesah ketika Abimana sudah menutup panggilannya, jenala pun
Jenala yang sudah selesai mandi dan berpakain langsung menuju lantai bawah untuk makan malam bersama. Namun, keningnya berkerut kala melihat keberadaan sang adik. "Lho, kamu kapan pulang, katanya tidak mau balik lagi ke Amsterdam?" Sang empu yang ditanya hanya mengangkat alis, lalu secara tiba-tiba dia melempar sendok ke arah Jenala. "Juwita! Kamu gila ya?!" "Kamu yang gila! Mama sama Papa tiba-tiba nelpon aku, mereka bilang kamu mau nikah sama Om Abimana! Yang benar saja Jena! Dia itu cuma beda tiga tahun dari Papa!" Jenala mencebik, ia mengambil duduk di samping Juwita. "Why not? Toh dia mapan dan tampan, soal umur itu urusan belakangan." "Kamu benar-benar ya!" Juwita menjambak rambut Jenala kuat, bahkan Jenala sampai berteriak. Tak ingin kalah dari gadis remaja di sampingnya, Jenala justru menendang tulang kering sang adik. Dan benar saja, Juwita langsung melepas jambakannya sambil menangis keras. "MAMA! JENALA GEBUKIN AKU!" Jenala mendengkus seraya merapikan rambutnya, adikny