“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
“Jena, kamu sudah punya kekasih?”"Uhuk!" Jenala tersedak ludahnya sendiri, perempuan itu menggeleng seraya menatap ke arah dua tantenya. Sekarang ia merasa diserang dari berbagai arah."Sayang sekali, Briana saja mau dilamar oleh kekasihnya. Kamu tidak mau mengikuti saran dari tente saja?" Kedua tantenya itu menatap tubuh Jenala dari ujung kepala hingga kaki. Jenala tahu, tante-tantenya itu pasti ingin membahas penampilannya yang dinilai ‘kurang menjual’. Tubuh mungil, kulit yang dinilai tidak seputih para bintang iklan sabun di televisi.Jenala mengibaskan kedua tangannya. "Tidak Tante, lagian kulit Jenala bagus, kok. Sehat juga. Tidak perlu putih untuk menjadi cantik." Jenala langsung mengambil sifat defensif. Ia tak mau terpengaruh oleh pernyataan tentenya. "Tapi, para sepupu kamu sudah mau bertunangan. Hanya Kamu saja yang tertinggal."Meski hatinya sudah panas karena serangan-serangan dari tantenya, Jenala tetap memaksakan sebuah senyum. “Tenang saja, Tante. Besok juga aku ma