“Jena, kamu sudah punya kekasih?”
"Uhuk!"
Jenala tersedak ludahnya sendiri, perempuan itu menggeleng seraya menatap ke arah dua tantenya. Sekarang ia merasa diserang dari berbagai arah.
"Sayang sekali, Briana saja mau dilamar oleh kekasihnya. Kamu tidak mau mengikuti saran dari tente saja?"
Kedua tantenya itu menatap tubuh Jenala dari ujung kepala hingga kaki. Jenala tahu, tante-tantenya itu pasti ingin membahas penampilannya yang dinilai ‘kurang menjual’. Tubuh mungil, kulit yang dinilai tidak seputih para bintang iklan sabun di televisi.
Jenala mengibaskan kedua tangannya. "Tidak Tante, lagian kulit Jenala bagus, kok. Sehat juga. Tidak perlu putih untuk menjadi cantik." Jenala langsung mengambil sifat defensif. Ia tak mau terpengaruh oleh pernyataan tentenya.
"Tapi, para sepupu kamu sudah mau bertunangan. Hanya Kamu saja yang tertinggal."
Meski hatinya sudah panas karena serangan-serangan dari tantenya, Jenala tetap memaksakan sebuah senyum. “Tenang saja, Tante. Besok juga aku mau ketemu calon suamiku, kok.”
Jenala berbohong! Jangankan punya calon suami, calon kekasih pun tidak ada. Namun, celotehan spontan darinya justru disambut heboh hingga terdengar sampai ke telinga papanya.
“Benar yang dikatakan tantemu, Jena?” Jenala tergugu di hadapan papanya. Saking takut ketahuan berbohong, ia hanya bisa menganggukkan kepala.“Bagus. Besok bawa ke rumah. Papa ingin melihat, seperti apa lelaki yang berhasil mendapatkan hati anak Papa yang cantik ini.”
Glek. Jenala menelan ludahnya. Kebohongan yang tadi ia ciptakan agar lolos dari ledekan para tante justru mengantarnya pada sebuah masalah baru. Akhirnya, sepanjang acara keluarga itu, Jenala lebih banyak berdiam diri, sambil memainkan ponselnya.
Tidak beberapa lama, saat men-scroll sosial media, terbesit ide cemerlang menghampirinya.
Zaman sekarang, mencari apa pun semudah menjentikkan jari, kan? Untuk itu, Jenala pun demikian. Ia menggulirkan jemarinya usai mengunduh sebuah aplikasi kencan.
Setelah mengisi profil, Jenala memilah profil lelaki yang sekiranya menarik hati. Hingga tiba di sebuah profil dengan nama ‘Dominico Javier’. Nama yang sepertinya tidak asing, tetapi Jenala tidak mengingat di mana ia pernah mengenal nama itu.
****
[Bisa kita bertemu? Saya akan mengirimkan lokasi restorannya.]
Jenala refleks melempar ponselnya ke atas kasur karena terlalu kaget menerima sebuah pesan kilat dari Dominico Javier–pria asing yang baru dikenalnya di jejaring pencarian jodoh.
Padahal, baru beberapa detik perempuan itu swipe right profil milik Dominico. Ia akui, memang, setelah melihat tubuh atletis pria itu yang membelakangi kamera, jiwa kejombloan Jenala meronta-ronta. Jadi, tanpa sadar, dia memencet tombol pesan, dan secara otomatis terkirim stiker perkenalan.
Gilanya, ia bahkan mengaku untuk siap menikah dan direspons cepat oleh pria itu. “Apa semua om-om itu nge-gas begini, ya?” gumam Jelana tanpa sadar.
Melihat Dominico yang tampak masih online dan menunggu jawaban, Jenala sadar jika dia tidak lagi punya banyak waktu. Pria itu bisa saja melaporkan akunnya, hingga diblokir oleh aplikasi ini.
Jadi, satu-satunya jalan tercepat adalah menyetujui priai asing tersebut untuk bertemu.
Lovina. [Baik, tunggu saya besok sore. Sepulang kerja saya langsung menemui kamu.]
Keesokan harinya, setelah pulang bekerja Jenala langsung menuju restoran yang telah mereka sepakati usai sebelumnya menyempatkan diri pergi ke salon.
Jenala melangkah takut-takut. Lalu, ia mengambil duduk perlahan pada kursi yang ditunjukkan pelayan tadi usai mendengar nama si pemesan. Perasaan Jenala semakin tak menentu kala pria itu tak kunjung membalas pesan yang Jenala kirim beberapa menit yang lalu.
Sudah sepuluh menit berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan teman kencannya, membuat Jenala seketika ragu. Pikiran buruk sempat berputar di benaknya. Sebelum terlambat, mungkin ini saatnya ia mengurungkan diri untuk bertemu dengan calon suami instannya.
Namun, ketika Jenala baru saja membulatkan tekad untuk pergi, seorang pria bertubuh tinggi berhenti di hadapannya. "Hai, sorry telat. Tadi ada pekerjaan mendadak." Suara serak nan dalam itu menyadarkan Jenala dari lamunannya, seketika ia langsung menoleh ke arah sumber suara.
"Jenala?!"
Jenala ternganga, bahkan lututnya bergetar saking tidak percayanya dengan apa yang dia lihat saat ini.
"O-om Abimana...." Jenala ingin menangis sekarang juga! Jangan bilang sahabat papanya adalah teman kencannya sendiri?! "Om Abimana, ke-kenapa ada di sini?" tanya Jenala takut-takut.
Abimana terdiam, netra hazelnya menyorot Jenala dalam, bibir kemerahan yang sedikit tebal itu terbuka secara perlahan. "Saya akan bertemu J. Lovina. Dan kamu, mengapa ada di meja yang saya reservasi?"
‘Tamatlah riwayatmu, Jenala!’ Dengan takut-takut, Jenala berujar. "Sa-saya J. Lovina. Jangan katakan jika Om Abimana adalah Dominico Javier?"
Pria itu tak menjawab, justru dia mengambil duduk di hadapan Jenala. Dalam hati, Jenala memaki dirinya sendiri yang abai pada nama teman kencannya. ‘Javier’! Jelas-jelas nama itu adalah nama belakang sahabat papanya sendiri. Bagaimana bisa dia lupa?
Berbeda dengan Jenala yang masih kikuk luar biasa, Abimana melepas mantelnya, menyisakan kaos putih yang mencetak tubuh bak model itu. Dia mungkin tidak sadar, kalau di hadapannya, Jelena meneguk ludahnya kasar melihat sesosok Dewa Yunani sedekat ini dengannya.
"Sebelum kita memulai obrolan, kita pesan makan terlebih dahulu. Karena saya sudah lapar."
Entah bagaimana Jenala seharusnya bersikap. Bersyukur karena pria yang ditemuinya ternyata sudah ia kenal lama, atau justru meratapi nasibnya karena sudah dapat dipastikan kencannya kali ini gagal.
Setelah memesan makanan, Abimana terlihat mengatur nafasnya dalam-dalam. Pria itu menatap Jenala intens, membuat Jenala merona seketika.
"Jenala," bisik Abimana. "Saya tidak menyangka jika kamu bermain di web dewasa."
Jenala melotot tak terima. "Saya juga tidak menyangka Om Abimana mencari jodoh ditempat begituan!" sindir Jenala cepat.
Abimana menaikkan sudut bibirnya, dan itu semakin membuatnya terlihat seksi. "Saya terpaksa."
Jenala menyahut tidak mau kalah. "Saya juga terpaksa!"
"Oh ya? Bukankah kamu sudah mempunyai calon suami?" ejek Abimana. Dia masih mengingat ketika papanya Jenala mengumumkan lewat grub bahwa sang putri akan menikah.
Jenala gelagapan, salahkan saja mulutnya yang berbicara sembarangan. "Sa-saya berbohong. Saya capek ditanya terus, ja-jadi mengucapkan hal yang tidak-tidak."
Abimana mengulum senyum. "Ah, begitu rupanya." Berdehem singkat, pria itu mengalihkan pandangan ke sekitar, sebelum memfokuskan kembali atensinya pada gadis berwajah manis di hadapannya. “Kita punya kepentingan yang sama. Jika kamu mau, kita bisa jadi partner.”
Jenala menelan ludah susah payah, kini otaknya sibuk mencerna kata-kata yang keluar dari bibir pria menawan itu. "Partner? Maksud Om, kita akan menjadi sepasang kekasih?"
Abimana tersenyum tipis. Matanya masih lekat menatap perempuan berwajah manis di hadapannya. “Kekasih? Bukankah kamu bilang ingin mencari calon suami?” Alis pria itu naik kala mengucapkan kalimat terakhirnya. “Lagipula, apa di usia saya masih cocok untuk main-main, Jenala?”
"Om..… "Jenala menelan ludah susah payah. Jadi suami istri? Dirinya dan Abimana? Yang benar saja! Bisa-bisa dia disidang tujuh hari tujuh malam oleh orang tuanya."Om tau sendiri kalau umur kita jauh berbeda. Dan Papa pasti akan shock berat jika tau om yang akan menjadi-" Jenala mengusap wajah frustasi, dia tak bisa melanjutkan kata-katanya.Abimana tersenyum tipis melihat wajah perempuan muda di hadapannya, wajah mungil dengan ekspresi pias itu sangat membuatnya tertarik.Jenala Lovina, gadis kecil yang dulu senantiasa mengekorinya ke mana pun dirinya pergi, kini sudah tumbuh menjadi perempuan yang sangat menarik. Rambut sebahu dengan bentuk tubuh mungil, akan membuat siapa pun gemas melihatnya. Tak terkecuali Abimana sendiri."Perbedaan umur kita, ya?” Abimana menganggukkan kepalanya pelan dan tenang. “Saya tau, dan tentu saja semua ini juga tidak akan mudah karena Papa kamu adalah sahabat saya sendiri. Lalu, apakah yang kamu khawatirkan hanya itu?"Jenala semakin dibuat mati kutu,
'Besok, atau tidak sama sekali.'Abimana tersenyum mengingat kalimat tegas bernada ancaman yang dia keluarkan pada Jenala. Pria itu bisa menebak, kalau tak lama lagi perempuan lugu itu pasti akan menghubunginya.Abimana Dominico Javier, sosok maskulin penuh karisma itu sedang menormalkan deru nafasnya yang memburu. Bulir keringat membasahi tubuh atletisnya, kulit kecoklatan itu terlihat semakin seksi tatkala terkena sinar mentari pagi.Kegiatan pria itu terhenti ketika ponselnya berbunyi. Abimana mengusap peluhnya menggunakan handuk sport yang dikalungkan pada leher jenjang nan kokok itu. Sudut bibir Abimana tertarik ke atas, setelah melihat siapa yang menelponnya."Halo—" [Halo Om!]Abimana menjauhkan ponselnya dari telinga. Pria itu tersenyum samar sebelum berujar pelan. "Jenala…"[ I-iya Om, emm… jadi begini. Saya, iya.]Kening Abimana berkerut ketika mendengar jawaban ambigu dari Jenala. Pria itu keluar dari ruang gym-nya, lalu melangkah menuju balkon. Ia bertumpu menggunakan sik
"Menurutmu, apakah seorang Dominico suka membual?" Abimana memejamkan mata ketika lehernya semakin tercekik. Wajah tampan itu memerah menahan amarah, bahkan urat lehernya mencuat. "Jevier, jangan pernah main-main. Kamu memang sahabatku, tapi jika kamu mengusik Jenala ... Aku tidak segan-segan menghancurkanmu! Tidak peduli siapa kamu dan keluargamu!""Papa, stop! Om Abimana kesusahan bernafas!" Jenala panik, bahkan tanpa sadar perempuan itu mendekat untuk melepas cekalan papanya."Jena!" Jihan menarik tangan sang putri, dia tak mau Jenala semakin memperkeruh suasana. "Cukup sayang, jangan seperti ini. Nanti Papa kamu semakin murka." Jihan menarik Jenala menjauh, sedangkan Jenala terus meronta-ronta meminta untuk dilepaskan."Kalau aku mengatakan jika sudah menyukai Jenala sejak remaja, bagaimana?" Abimana seakan menyulut kobaran api yang Alpha tekan rapat-rapat. Dan tanpa aba-aba tubuh pria itu langsung tersungkur dengan Alpha yang terus memberikannya bogem mentah."Brengsek kamu, Jev
"Javier!" Alpha berseru dengan mata berkilat tajam, pria itu benar-benar murka sekarang. "Aku peringatkan sekali lagi, hentikan hubungan konyol kalian sampai di sini, kamu tentu tau jika keluargamu juga tidak akan diam saja, Vier." "Dan aku tekankan sekali lagi, mereka tidak akan ikut campur dengan urusan asmaraku. Cukup kamu restui aku dengan Jenala, lalu semuanya beres." Abimana mengambil sikap defensif, ia tak mau jika perkataan Alpha mempengaruhinya. "Tidak! Mau kamu jungkir balik sekali pun, aku tidak akan setuju!" "Ssttt.. saya pusing sekali Jenala." "Papa…. jangan mengatakan seperti itu. Lihat, Om Abimana jadi pusing karena teriakan Papa." Jenala menggerutu pada papanya, lalu secepat kilat ia mengalihkan atensinya pada Abimana. Dan memijat pelan kepala pria itu. Membuat Alpha mendecih sinis melihatnya."Halah! Itu hanya bualan Javier saja!" Alpha mendelik ke arah Abimana. "Lebih baik kamu pulang, dan kita akan membicarakan ini di apartemen kamu besok pagi!""Papa, sudah ya
Jenala yang sedang melangkah menuju kafetaria terhenti kala merasakan ponselnya bergetar, ia mengerutkan kening ketika melihat siapa yang menelpon. "Halo, Om." [Jenala, boleh saya minta tolong?] Jenala terdiam sejenak saat mendengar suara Abimana yang terdengar gusar. Ia berdehem pelan sembari berujar singkat. "Tentu." [Tolong jemput Sera siang ini, jika pekerjaan saya sudah selesai, saya akan menyusul kamu.] Jenala menggigit bibir bawahnya, bagaimana caranya menolak yang halus dan tak menyinggung. Sera sendiri adalah anak angkat Abimana, Orang tua Sera meninggal saat kecelakaan dengan mobil yang Abimana kendarai. Untuk itu sebagai pertanggung jawaban, Abimana mengadopsi gadis kecil itu sejak umur satu tahun. [ Jenala, kamu mendengar saya? ] "Eh, i-iya Om. Saya tid-" [ Ah—satu lagi, kamu jangan ke kelasnya ya. Langsung ke taman saja, biasanya dia menunggu saya di sana. Terima kasih Jenala, saya tutup dulu.] Jenala mendesah ketika Abimana sudah menutup panggilannya, jenala pun
Jenala yang sudah selesai mandi dan berpakain langsung menuju lantai bawah untuk makan malam bersama. Namun, keningnya berkerut kala melihat keberadaan sang adik. "Lho, kamu kapan pulang, katanya tidak mau balik lagi ke Amsterdam?" Sang empu yang ditanya hanya mengangkat alis, lalu secara tiba-tiba dia melempar sendok ke arah Jenala. "Juwita! Kamu gila ya?!" "Kamu yang gila! Mama sama Papa tiba-tiba nelpon aku, mereka bilang kamu mau nikah sama Om Abimana! Yang benar saja Jena! Dia itu cuma beda tiga tahun dari Papa!" Jenala mencebik, ia mengambil duduk di samping Juwita. "Why not? Toh dia mapan dan tampan, soal umur itu urusan belakangan." "Kamu benar-benar ya!" Juwita menjambak rambut Jenala kuat, bahkan Jenala sampai berteriak. Tak ingin kalah dari gadis remaja di sampingnya, Jenala justru menendang tulang kering sang adik. Dan benar saja, Juwita langsung melepas jambakannya sambil menangis keras. "MAMA! JENALA GEBUKIN AKU!" Jenala mendengkus seraya merapikan rambutnya, adikny
Sepulang bekerja, Jenala bergegas menuju apartemen Abimana. Perempuan itu menggunakan transportasi umum, mengingat jika ia tak membawa kendaraan pribadi ke kantor. Setelah sampai di halte bus seberang apartemen Abimana, Jenala menelpon Abimana untuk menjemputnya. Tak lama kemudian, pria itu datang dengan wajah panik dan langsung memarahinya."Kenapa tidak mengatakan jika kamu menaiki Bus? Jika saya tau, saya akan menjemput kamu ke kantor. Dan untuk kedepannya, kamu juga harus memakai coat jika bepergian, mengerti Jenala?" Jenala hanya mengangguk mengiyakan, dia seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh ayahnya. Abimana menutupi kepala Jenala mengenakan jaketnya, mengingat salju disertai angin kencang yang menerpa tubuh mereka. Ia pun bergegas menuntun Jenala menuju apartemennya.Selang beberapa menit kemudian, Abimana mengambil duduk di samping Jenala, sembari menaruh coklat hangat yang ia buat. Pria itu menatap lekat perempuan mungil berwajah manis di sampingnya. "Jadi, apa alas
Jenala berkutat dengan laporan yang memusingkan, sudah menjelang waktu istirahat. Dirinya tak kunjung menemukan titik temu dari report di hadapannya. "Jena, sudah selesai belum? Aku mau ke kantin nih. Atau kamu mau nitip saja?" Jenala mendongak, dan menatap ke arah Melisa. Sahabatnya dari masa high school. "Boleh, aku nitip air putih sama roti saja. Terima kasih, Mel."Melisa mengacungkan jempolnya, lalu bergegas pergi, sedangkan Jenala masih berkutat dengan laptop di hadapannya. Tak lama kemudian Jenala dikagetkan oleh telepon digital yang berada di samping mejanya, perempuan itu pun bergegas mengangkatnya "Selamat siang, dengan Jenala dari divisi operasional." Jenala memulai salam percakapan, setelahnya perempuan itu menyimak perkataan dari lawan bicaranya di seberang sana. "Baik Pak, saya antarkan ke ruangan bapak sekarang." Jenala menutup telepon dengan bahu terkulai lemas, moodnya sedang tak baik-baik saja. Karena hari pertama datang bulan, ditambah dengan atasannya yang ot
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju