Jenala berkutat dengan laporan yang memusingkan, sudah menjelang waktu istirahat. Dirinya tak kunjung menemukan titik temu dari report di hadapannya. "Jena, sudah selesai belum? Aku mau ke kantin nih. Atau kamu mau nitip saja?" Jenala mendongak, dan menatap ke arah Melisa. Sahabatnya dari masa high school. "Boleh, aku nitip air putih sama roti saja. Terima kasih, Mel."Melisa mengacungkan jempolnya, lalu bergegas pergi, sedangkan Jenala masih berkutat dengan laptop di hadapannya. Tak lama kemudian Jenala dikagetkan oleh telepon digital yang berada di samping mejanya, perempuan itu pun bergegas mengangkatnya "Selamat siang, dengan Jenala dari divisi operasional." Jenala memulai salam percakapan, setelahnya perempuan itu menyimak perkataan dari lawan bicaranya di seberang sana. "Baik Pak, saya antarkan ke ruangan bapak sekarang." Jenala menutup telepon dengan bahu terkulai lemas, moodnya sedang tak baik-baik saja. Karena hari pertama datang bulan, ditambah dengan atasannya yang ot
Dua hari setelah malam di mana Abimana mengajak Jenala pergi ke festival itu, sikap Jenala sedikit aneh. Bahkan Jenala sedikit menghindar darinya. Abimana bertanya-tanya, apa ada sifatnya yang membuat Jenala sakit hati. "Javier, hasil fotonya kenapa tidak seperti biasanya?" Marlo, sahabat Abimana melayangkan protes. "Sorry, nanti aku maksimalkan sat mengeditnya." Abimana mengambil duduk pada sofa yang ada di pojok ruangan, pria tiga puluh sembilan tahun itu menutup wajahnya menggunakan lengan. "Hem, tidak biasanya kamu seperti ini. Ada masalah di rumah? Atau ada yang terjadi sama Sera?" Abimana menggeleng pelan, ia sangat tertutup. Apalagi soal asmara, jika sudah tidak kuat menampung nya sendiri, barulah Abimana menceritakannya pada Alpha dan Marlo."Omong-omong kemarin aku ke rumah Alpha, trus ketemu Jena sama calon suaminya—""APA!" Abimana menatap Marlo dengan tajam, bahkan pria itu tanpa sadar berteriak keras. Padahal ia masih berada di studio. "Vier! Yang benar saja, kalau ak
"Jenala, ayo kita bertemu orang tua saya." Jenala menatap Abimana kosong, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."Jenala, kamu mendengarkan saya tidak?" Jenala tergugu, Sera saja belum bisa Jenala rebut hatinya. Apalag ini keluarga Abimana, walaupun Jenala mengenal keluarga inti pria itu. Dan mereka memang sangat baik kepadanya, tapi Jenala takut membayangkan reaksi mereka ketika mengetahui Jenala adalah calon Istri Abimana. "Om… tapi Sera saja masih belum menerima saya. Apa tidak terlalu cepat?""Tentu tidak, kamu sudah kenal keluarga saya bukan? Saya yakin, mereka akan menerima kamu. Dan membantu kamu untuk mengambil hati Sera." Jenala dilanda kebingungan, ia belum siap, sungguh. Tetapi, bukankah lebih cepat lebih baik?"Baik, Om. Saya akan mencobanya." ***Ini weekend yang paling menegangkan bagi Jenala, sejak pukul sembilan pagi dia sudah berada di apartemen Abimana. Herannya, papa serta mamanya justru telihat mendukungnya. Entahlah apa yang Abimana katakan kepada kedua ora
"Om! Mau pipis!" Jenala memotong cepat, lalu mengambil duduk di samping Abimana. Bahkan kini tangan kecilnya memegang erat lengan Abimana. "Om mau 'kan anterin saya? Soalnya saya lupa kamar mandinya di sebelah mana." “Aku sudah punya calon, dan dia adalah Jenala.” Abimana tak menghiraukan perkataan Jenala, bahkan kini pria itu mengambil tangan Jenala dan menaruhnya di atas pangkuannya. “Om… “ Jenala ingin menangis sekarang juga, apalagi kala melihat perubahan ekspresi dari Miranda serta mama Abimana. Mereka menganga dengan pandangan tak percaya.Tak lama kemudian, Raquel terbahak keras, bahkan wanita paruh baya itu memegang perutnya sembari menatap Abimana geli. “Astaga sayang, Mama tidak tau kalau kamu sangat lucu.” “Apa Mama pernah melihat aku bercanda seperti ini? Tentu Mama lebih mengenal aku dari pada siapapun.” Raquel terdiam, bahkan kini tawanya menyurut, digantikan oleh wajah serius. “Miranda, tolong bawa Sera ke kamar Cisa, Tante mau berbicara dulu sama Jenala dan Javier.
Jika sebelumnya Jenala selalu mengatakan bahwa Abimana adalah tipe pria dewasa yang kritis serta berpikir logis, dan selalu mengedepankan logika. Tetapi, kali ini ia akan mengecap Abimana sebagai pria dewasa yang kekanakan dan tak mau mengalah."Intinya, saya tidak suka Jika membayangkan kamu dengan lelaki manapun berdekatan, karena kamu adalah calon istri saya. Otomatis saya harus menjaga kamu dari semua ketertarikan para lelaki yang melihat kamu, serta yang ada di sekeliling kamu."Abimana menipiskan bibirnya, seharusnya waktu itu ia bilang saja jika sedang cemburu dan tak terima. Bukanya bersikap biasa saja, dan malah membuatnya tak tenang. Alhasil Abimana menumpahkannya sekarang, lagipula mengapa perempuan manis ini sangat tak peka terhadap kode yang Abimana berikan? Apa Jenala tak sadar jika dirinya sangat cantik dan menarik? Bisa saja lelaki di luar sana hanya pura-pura ingin menjadii temannya, tapi malah manaruh rasa padanya. 'Argh, sangat menyebalkan memang menyukai perempua
'Sayang, kenapa tidak bilang jika ingin ke sini'Ingatan Jenala terlempar pada perkataan Abimana saat di restoran, Jenala ingin menghilang dari muka bumi ini ketika semua mata teman-temannya menyorotinya penuh godaan. Ah, jangan lupakan Melisa, sahabat cantiknya itu bahkan langsung mengultimatum Jenala untuk menjelaskannya besok pagi di kantor. Setelah itu Abimana mengajak Jenala ke mejanya, Abimana juga mengatakan jika Jenala harus ke apartemennya besok sore. Pria itu bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Padahal Jenala sedang marah dan menghindarinya. "Huh…" Jenala menghembuskan nafas berat, sudah pukul dua dini hari, tapi Jenala sama sekali tak bisa memejamkan mata. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Om Abimana. [ Jangan lupa besok sore ke apartemen saya, Sera sedang ingin makan masakanmu. ]Jenala mendengkus, alasan. Sejak kapan Sera ingin makan masakannya? Jenala saja baru belajar masak pada mamanya. Selang satu menit, pesan dari Abimana kembali
Setelah pulang dari apartemen Abimana, Jenala lebih banyak diam. Dan itu disadari oleh Alpha, pria itu menahan diri untuk tidak bertanya langsung semalam.Alpha melangkah masuk ke kamar Jenala, ia menghela nafas berat ketika melihat Jenala yang terduduk dengan pandangan kosong ke depan."Kamu tidak ke kantor sayang?" tanya Alpha sembari mengambil duduk di samping Jenala. "Sudah pukul delapan pagi lho, nanti telat.""Jenala izin Pa, soalnya lagi kurang fit. Mungkin karena pulangnya kemalaman." Alpha mengelus kepala Jenala penuh kelembutan. "Mau cerita sama Papa? Tapi kalau belum siap juga tidak apa-apa."Jenala yang sejak semalam pura-pura kuat seketika tangisnya langsung pecah, ia masuk ke dalam pelukan papanya sembari menumpahkan air matanya. "Tante Raquel tiba-tiba datang ke apartemen Om Abimana, dia sangat marah dan menentang keras hubungan kami."Memang pada akhirnya Raquel pergi dari apartemen Abimana. Setelah Jenala mengutarakan pernyataan itu, tapi entah mengapa Jenala tiba-tib
Memang sangat berbahaya memancing pria dewasa seperti Abimana. Setelah perkataan Jenala pada malam itu. Hubungan mereka yang awalnya dibangun atas kepentingan masing-masing berubah menjadi serius. Abimana tak main-main ketika mengatakan akan menikahi Jenala, pria itu bahkan langsung ingin mempersiapkan semuanya, untung saja Jenala dengan cepat mencegahnya. "Jadi, kapan pernikahan kalian dilangsungkan?" Jenala meringis melihat Melisa yang menatapnya dengan bersedekap dada. "Tidak tau, aku perlu waktu Mel, walaupun kita sudah sama-sama saling menyukai. Tapi keluarganya membuatku sedikit berat." Jenala menyeruput lemon teanya, sepulang bekerja. Ia memang ke mall dengan Melisa. Untuk mengusir penat. "Menurutku sih ya, semua ini kalian yang menjalani. Jika pun keluarga Om Abimana tidak setuju, itu balik lagi pada mereka. Namun, dengan seiring berjalannya waktu, aku sangat yakin jika pintu restu mereka akan terbuka. Yang terpenting Kamu dan Om Abi saling menguatkan dan mempercayai satu