Share

Lepas Kendali

"Menurutmu, apakah seorang Dominico suka membual?" Abimana memejamkan mata ketika lehernya semakin tercekik. 

Wajah tampan itu memerah menahan amarah, bahkan urat lehernya mencuat. "Jevier, jangan pernah main-main. Kamu memang sahabatku, tapi jika kamu mengusik Jenala ... Aku tidak segan-segan menghancurkanmu! Tidak peduli siapa kamu dan keluargamu!"

"Papa, stop! Om Abimana kesusahan bernafas!" Jenala panik, bahkan tanpa sadar perempuan itu mendekat untuk melepas cekalan papanya.

"Jena!" Jihan menarik tangan sang putri, dia tak mau Jenala semakin memperkeruh suasana. "Cukup sayang, jangan seperti ini. Nanti Papa kamu semakin murka." Jihan menarik Jenala menjauh, sedangkan Jenala terus meronta-ronta meminta untuk dilepaskan.

"Kalau aku mengatakan jika sudah menyukai Jenala sejak remaja, bagaimana?" Abimana seakan menyulut kobaran api yang Alpha tekan rapat-rapat. Dan tanpa aba-aba tubuh pria itu langsung tersungkur dengan Alpha yang terus memberikannya bogem mentah.

"Brengsek kamu, Jevier! Jena itu putriku! Berani-beraninya kamu menyukainya!" Abimana meringis ketika Alpha menghajarnya dengan membabi buta, namun anehnya pria itu sama sekali tak memberikan perlawanan sedikit pun.

"OM!"

Jenala membekap mulutnya, bahkan perempuan itu sudah menangis histeris ketika papanya terus menghajar Abimana, dan lebih menyakitkannya. Mengapa Abimana seolah-olah pasrah dengan apa yang papanya lakukan?!

"Mama! Tolong hentikan Papa! Jena mohon ...."

Tubuh Jenala bergetar karena melihat kemurkaan papanya, belum lagi kondisi Abimana yang sudah berantakan, bajunya sudah dipenuhi oleh darah segar.

Jihan menggeleng, lalu mendekap Jenala erat. "Tidak ada yang bisa menghentikan Papa kamu, sayang. Kecuali dirinya sendiri."Tangis Jenala semakin pecah, ketika dia ingin menuju Abimana. Lagi-lagi tubuhnya ditahan kuat oleh sang mama.

"Mati kamu Javier, mati! Ini atas kelancanganmu menyukai putriku! Padahal aku berharap kamu sudah menganggap Jenala anak sendiri, tapi nyatanya apa!? Dasar brengsek!" Alpha terus meracau, bahkan tangannya sampai berdarah karena memukul Abimana begitu kuat.

Jenala berteriak histeris, ia begitu kalut dan takut. Seumur-umur baru kali ini sang papa terlihat sangat murka. "PAPA! HENTIKAN, PAPA! JENA MOHON …!"

Di tengah rasa sakit yang menghantamnya, Abimana hanya melihat eksistensi Jenala dari kejauhan. Mata pria itu sayu, tubuhnya seperti mati rasa. Bahkan Abimana bisa merasakan darah yang terus mengalir deras pada hidungnya.

Secara perlahan, matanya semakin memberat. Hal terakhir yang Abimana dengar sebelum menutup mata adalah teriakan histeris dari Jenala, yang terus menyerukan namanya.

***

"Sttt..." Abimana meringis dikala merasakan perih pada bibirnya, tubuhnya terasa remuk redam dengan kepala berdenyut hebat. Abimana mengalihkan atensinya pada sekeliling kamar yang ditempati. Lalu melirik pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

"Om! Syukurlah, saya sangat khawatir sedari tadi."

Jenala melangkah cepat dari pintu menuju ranjang Abimana, perempuan itu menaruh kompresan yang dia bawa di atas nakas.

Abimana meringis ketika Jenala memegang wajahnya. "Maaf," bisik Jenala penuh rasa bersalah. Perempuan itu mengambil duduk seraya menatap Abimana takut-takut.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Abimana sambil mencoba menggerakkan tubuhnya, mata pria itu terpejam kala merasakan linu yang luar biasa. Ditambah tenggorokannya begitu sakit dan perih, ternyata Alpha memang benar-benar menghajarnya dengan sungguh-sungguh.

Jenala menggeleng ribut, bukankah seharusnya Jenala yang bertanya demikian? 

Abimana tersenyum lembut. "Syukurlah, ternyata Alpha tidak segila itu untuk menyakiti putrinya sendiri."

Jenala mengangkat wajahnya, dia menatap Abimana penuh keseriusan. "Papa tidak pernah membentak perempuan, apalagi sampai memukul—tapi." Jenala menunduk sedih, lalu mengangkat kepalanya perlahan. "Maaf karena Papa membuat Om sampai seperti ini, seharusnya dari awal kita tidak melanjutkan—"

"Jenala!" Potong Abimana cepat, pria itu mengeraskan rahangnya. Dan menyorot tajam pada perempuan manis di sampingnya "Kamu tau apa yang kamu katakan? Jangan pernah memancing perdebatan dengan saya. Jika dengan luka-luka ini bisa mempermudah rencana kita, kenapa tidak?"

Ah, karena rencana mereka rupanya. Lantas, bukankah ini memang konsekuensi untuk kelancaran rencana mereka? Jenala saja yang terlalu percaya diri Jika Abimana melakukan semua ini untuknya. Dan ia tak pantas untuk merasakan perasaan kecewa, bukan?

"Om benar, tapi seharusnya Om membela diri. Saya tau kalau Om tidak selemah itu." Jenala memberanikan diri menyentuh sudut bibir Abimana pelan, lalu mengompresnya perlahan.

Abimana menormalkan ekspresinya, pria itu tersenyum tipis sembari menatap Jenala dalam. Dia bisa melihat kecanggungan dari wajah manis perempuan itu karena jarak mereka cukup dekat. "Saya tidak mau menyakiti orang yang kamu sayangi." bisik Abimana serak. 

Lihat, bagaimana mungkin hati Jenala baik-baik saja ketika terus diterjang oleh bualan manis seperti itu? "Baiklah, sepertinya Om sudah mulai membaik. Mau saya antarkan pulang sekarang?"

"Awh... sakit...." Seketika Jenala diserang rasa panik saat melihat Abimana merintih penuh kesakitan. "Kepala saya sakit sekali, Jenala. Bahkan rasanya mau pecah."

"Astaga! Bagaimana bisa, kata Dokter tidak ada hal yang perlu di—"

"Akh, rasanya saya akan pingsan lagi. Tolong lebih dekat Jenala, dan pijat kepala saya. Saya merasa akan mati detik ini"

"Om!" seru Jenala diiringi tangisnya yang mulai pecah, perempuan muda itu bahkan sudah tersedu-sedu sambil memijat kepala Abimana. "Om jangan mati dulu ya, bukankah Om calon suami saya? Nanti kalau Om mati, saya harus cari calon suami lagi dong?" isaknya dengan nada bergetar.

Abimana melotot, bahkan hampir saja dia menyentil kening Jenala. "Saya hanya bercanda, lagipula siapa juga yang mau mati!" ujar Abimana dongkol. 'Benar-benar perempuan muda yang satu ini, gampang sekali dibohongi' Abimana menggeleng tak percaya.

"Ehm!"

Abimana serta Jenala sontak menoleh ke arah sumber suara, diambang pintu terlihat Alpha yang sedang melangkah mendekat. Pria itu sama sekali tak menampakkan ekspresi apapun, membuat Jenala ketar-ketir. Takut sang papa kembali lepas kendali.

"Papa mau bicara dulu sama Javier," ucap Alpha dengan pandangan lurus pada Abimana. Lalu atensinya ia pusatkan pada sang putri. "Dan Jena, kamu lebih baik temani Mama di ruang tamu."

Jenala menggeleng kuat, tangan kecilnya memegang lengan kekar Abimana penuh antisipasi. "Papa, jangan lagi. Please..."

Alpha membuang pandangan ke arah lain, rahang pria itu mengetat. Terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah begitu banyak.

"Alpha, jangan pernah salahkan Jenala. Karena pada dasarnya aku yang mulai mendekat dan memutuskan untuk bersama dia." 

Abimana menggenggam lembut tangan Jenala, tak lupa tatapan teduhnya yang membuat lutut bergetar tatkala memandangnya. Jenala menahan nafas, jantungnya memompa lebih kuat dari biasanya. Membuat semburan merah mulai menjalar di sekitar telinga serta wajah manisnya.

"Tapi Jenala anakku, Javier! Kamu bisa mengencani perempuan manapun, asal jangan dia!"

Abimana tersenyum miring, sikap tenang dan terkendalinya mampu membuat siapa pun menerka-nerka apa yang akan pria itu lakukan. "Jika hatiku menginginkan Jenala, lantas aku bisa apa?"

"JAVIER!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status