Aku tidak tahu, hal besar apa yang akan Tuhan siapkan sehingga mengujiku begitu hebat. 'Jenala Lovina'***Jenala pikir, inilah akhirnya. Inilah akhir dari dunianya. Namun, semuanya musnah ketika melihat bayangan ketiga orang tersayangnya, mereka menatapnya dengan derai air mata. Seolah-olah jika Jenala melompat, mereka akan semakin tersiksa. Jenala terpaku, dia melihat ke arah bawah. Ruangan yang dia tempat berada di lantai lima, jika dirinya memutuskan untuk melompat, dia akan berkumpul lagi dengan keluarganya. Kejadiannya begitu cepat, Jenala tersentak kuat ketika tubuhnya ditarik dari belakang. “APA YANG KAMU LAKUKAN!” Nera berteriak murka, tubuhnya yang ringkih itu bergetar hebat. Dia menatap kecewa pada Jenala. Niat hatinya ingin melihat keadaan sang cucu, tapi apa yang dia dapatkan. Nera tak bisa membayangkan jika dia tak masuk. Mungkin dia akan kembali merasakan kesedihan yang jauh lebih dahsyat. “Jena, mengapa sayang? Hiks….” Tubuh Jenala memaku, dia terlihat shock den
"Papa… jangan tinggalin Sela, Aunty Mila juga." Abimana mengangguk, sejak dia tiba di Amsterdam pukul satu dini hari tadi. Abimana sama sekali tak beranjak dari sisi Sera. Gadis kecil itu memang sangat manja jika sedang sakit. "Sekarang Sera tidur okay, Papa akan selalu di sisi Sera." Sera mengangguk, dia memejamkan mata perlahan. Setelah beberapa menit lamanya, Sera pun tertidur pulas. "Kamu istirahat saja, Sera juga sudah tidur, dan maaf sudah merepotkan." Miranda tersenyum manis, membuat siapapun yang melihatnya pasti akan terpukau. "Tidak apa-apa kak, lagipula aku sangat senang karena Sera membutuhkanku." Abimana hanya mengangguk sebagai respon, setelahnya pria itu mengecup kening Sera. Abimana berbaring di sisi sang putri. Jujur saja, kepalanya begitu sakit sekarang, apalagi dia kurang tidur akibat perjalanan jauh. Bahkan barang-barang serta ponselnya dia tinggalkan di lantai bawah. Saking khawatirnya dengan keadaan Sera. "Kak Vier, boleh aku ikut berbaring di sisi Sera
Tidak pernah dalam hidupnya Abimana merasakan nestapa yang mampu meruntuhkan hidupnya.Namun, kali ini Abimana bisa merasakan apa itu kehancuran yang sesungguhnya. ‘Alpha, JIhan da Juwita memang sudah meninggal. Sedangkan Jenala belum ditemukan.’Kalimat yang Nera ucapkan bagai bumerang untuknya. Abimana tertunduk, dia menatap gundukan tanah di hadapannya dengan tatapan kosong. Pria itu tak menangis, tapi pancaran pada netra hazelnya membuat siapapun tahu jika dia sedang hancur.Abimana boleh denial akan semuanya, tapi fakta di hadapannya mampu membuat dunianya luluh lantah tak tersisa.Abimana meremas kuat bagian dadanya yang terasa nyeri luar biasa, seolah-olah ada panah beracun yang menancap. “Ya Tuhan…” Rintihan pilu dari Marlo menyadarkan Abimana dari dunianya. “Alpha, kamu curang, kamu bahkan meninggalkan kita tanpa pamit.” Marlo terisak hebat, pria dewasa itu tak mampu menampung kesedihannya. Abimana memejamkan mata, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sakit s
"Kamu tetap tidak menyerah?" Abimana menatap Marlo tajam. "Memangnya kamu mau aku menyerah?!" Marlo tersenyum datar. "Tentu tidak, Jena harus ditemukan. Bagaimanapun caranya," ucapnya memelan pada akhir kalimatnya. "Tidak terasa, ya. Hampir dua tahun lamanya kita tanpa Alpha." Lanjut Marlo serak. Ya, sudah hampir dua tahun Abimana berusaha mencari keberadaan Jenala. Dan dia sama sekali tak lelah maupun menyerah. Dimitri, kakek Abimana sendiri ikut melakukan pencarian, dia tak tega melihat keadaan Abimana yang tampak selalu murung.“Pasti, aku akan mengupayakan segala cara agar dia ditemukan.” Abimana memandang lurus ke depan. Pria berusia empat puluh satu tahun itu semakin terlihat menawan, tapi tidak dengan sorot matanya yang selalu menyendu.“Omong-omong bagaimana tentang pemotretan di Lombok? Kamu benar-benar setuju untuk ke sana?” Marlo mengalihkan pembicaraan, sekaligus memecahkan suasana haru di antara mereka. “Ya, aku akan terbang ke Lombok minggu depan.” Marlo sebenarnya
"JENALA! TUNGGU!" Jenala berlari menuju pantai paling ujung, suasana mencekam dan gelapnya malam tak menghentikan langkahnya. Setelah dua tahun lamanya, mengapa bisa Abimana menemukannya.Jenala terengah, rasanya dia sudah terlalu jauh berlari. Nafasnya memburu dengan jantung bertalu-talu. Grep!"Akh!" Jenala tersentak ketika Abimana menangkap tubuhnya, pria itu mendekap Jenala dari belakang. “Kelinci kecil yang nakal.” Abimana berucap serak, pria itu mendekap Jenala erat, takut-takut jika perempuan itu kembali menghilang dari sisinya. "Lepaskan!" Jenala terus memberontak, sementara Abimana semakin mengeratkan pelukannya. "Saya menemukanmu, saya benar-benar menemukanmu!" Jenala tergugu, apalagi ketika mendengar nada serak Abimana yang sepertinya akan menangis. Tidak mungkin, pasti ini hanya trik Abimana. Pria ini begitu licik dan begitu munafik, dia bersama perempuan lain disaat Jenala sedang membutuhkannya dulu. "Saya katakan sekali lagi, lepaskan. Atau saya akan memanggil war
Abimana tak main-main. Sepulangnya dari Lombok. Dia langsung membawa Jenala ke Amsterdam. Sontak saja keluarga besar Abimana dilanda rasa keterkejutan yang luar biasa. Jenala juga sempat ke rumah keluarga dari pihak mama dan papanya untuk meminta restu. Salahkan saja Abimana yang tak sabaran. Bahkan keluarga Jenala masih terlihat shock kala Jenala dan Abimana sudah pergi meninggalkan kediaman mereka. "Om, ingat ya. Saya setuju saja, tapi jangan mengadakan pesta mewah. Yang sederhana saja cukup." "Baju kamu terlihat terbuka bagian punggungnya. Ck, ini yang desain siapa?""Om!" Abimana terkekeh, dia menatap Jenala dengan senyum tertahan. "Apa sebegitu tidak sabarnya kamu ingin menikah dengan saya?" Jenala menghela nafas berat, bukannya menjawab pertanyaannya, Abimana justru kembali menggodanya. "Sudahlah, jawab dulu pertanyaan saya di awal."Abimana menghadap ke arah Jenala. "Iya, saya janji jika pestanya tidak akan membuat kamu pegal. Sesuai request dari kamu oke?" Jenala mengang
Jenala sampai di kediaman orang tua Abimana. Perempuan itu melirik ke arah Abimana yang sejak tadi menatap ke arahnya."Om-eum… jangan melihat terus. Malu tau!"Abimana terkekeh serak, dia sangat menikmati wajah memerah yang Jenala tampakkan. Tangannya terulur menuju perut Jenala, lalu mengusapnya lembut. "Om!""Apa? Saya hanya menyapa anak kita.""Om! Siapa yang hamil!" Jenala menepuk tangan Abimana. "Kamu dong, kan kita sudah-" "Jangan diingat! Dasar mesum!" Abimana terbahak, dia mengacak rambut Jenala lembut. "Panggilannya masih tetap, Om? Tidak mau diganti menjadi suamiku atau sayang, mungkin?" Wajah Jenala memerah, perempuan itu terlihat gugup. "Ti-tidak, saya sudah nyaman.""Kalau kata 'saya' di ubah menjadi 'aku' bagaimana?"Jenala menatap Abimana lekat. Sebelum mengiyakan. "Boleh, terserah Om saja." Sesudah itu, mereka melangkah menuju pintu utama. Dan menemukan eksistensi Sera yang sedang menonton televisi."Papa!" Sera berlari menuju Abimana, dan memeluk pria itu erat.
Menjadi seorang istri sekaligus Ibu, di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Tentu bukan hal yang mudah bagi Jenala. Walau statusnya adalah pengantin baru, tak ayal membuatnya berleha-leha. Bulan madu? Apa itu? Karena Jenala maupun Abimana sudah disibukkan oleh segudang pekerjaan yang ada. Sebenarnya Abimana menawarkan untuk pergi ke salah satu destinasi wisata di indonesia bagian timur. Tapi Jenala menolak, entahlah. Bagi Jenala ini bukan saat yang tepat untuk mereka pergi berbulan madu. "Aunty tau tidak sekolah, Sera?" Jenala melirik Sera sekilas, lalu kembali fokus ke depan. "Tau dong, itu kan salah satu sekolah dasar terkeren di sini." "Benarkah? Berarti Sera keren dong?" Jenala terkekeh, ia mengangguk kuat. "Tentu, Sera sangat keren dan pintar." "Eummm… terima kasih Aunty!" seru gadis kecil itu riang. Selang dua puluh menit kemudian, SUV yang Jenala kendarai berhenti di salah satu sekolah dasar. Sera mencium pipi Jenala seraya melambaikan tangannya. Ketika i
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju