Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang.
"Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli.
"Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang.
"Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu."
"Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.
🌺🌺🌺
Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Kenapa cemberut begitu, sih, Dek? Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum dan pelukan."Mas Aldi menatap penuh tanya aku yang bersikap dingin. Semua bukan tanpa alasan. Aku takkan seperti ini jika dia tidak membuat ulah yang menyakiti hati."Memang biasanya juga begitu, 'kan?" balasku cuek."Terus, kenapa sekarang enggak, hm?" Mas Aldi menjawil dagu, tapi langsung kutepis hingga terlihat raut wajahnya sedikit kaget. "Kamu kenapa? Mas salah apa?""Masuklah dulu. Kita bicara nanti setelah Mas ganti baju," ujarku seraya mengambil tas kerja dari tangannya, kemudian berlalu menuju kamar mendahuluinya. Tak mempedulikan Mas Aldi yang memanggil di belakang sana."Ada masalah apa, Dek? Enggak biasa-biasanya kamu bersikap begini. Kalau ada apa-apa itu ngomong. Jangan diam," komentarnya yang menyusul ke kamar ini dan memelukku begitu saja dari belakang.Rahangku mengatup keras demi menahan diri agar tidak emosi. Membuang napas pelan seraya melepaskan tangannya yang melingkari perut."Mand
Ini kesekian kalinya Mas Aldi mengulangi kesalahan. Dulu kami juga pernah bertengkar hebat dan terjadi perang dingin. Pertama di tiga bulan usia pernikahan kami, yang kedua saat kehamilanku menginjak usia tujuh minggu. Bahkan, saat itu aku sempat drop.Mas Aldi diam-diam sering mengirimkan pesan di messenger pada sang mantan. Wanita itu memang tidak merespon bahkan malah memblokir akun Mas Aldi. Akan tetapi, suamiku itu selalu membuat akun baru dan mengirimkannya pesan, juga status tentang ungkapan perasaannya.Ketika kelakuannya itu terbongkar, dia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi. Mas Aldi juga menghapus semua akun beserta aplikasinya. Aku percaya begitu saja dan memberi dia kesempatan. Kenyataannya, kali ini dia mengulangi perbuatan itu lagi. Bahkan, Mas Aldi sengaja membuka aplikasinya melalui browser dengan akun baru yang ternyata sudah dibuatnya dari sebulan yang lalu.Mungkin, dia berpikir aku tidak akan mengetahuinya lagi. Akan tetapi, yang namanya bangkai pasti
Mas Aldi terdiam. Tatapannya masih tak beranjak dariku, tapi genggamannya mulai mengendur."Aku juga sudah berusaha, Dek. Aku sudah berusaha. Tapi enggak semudah itu melupakan cintaku sama dia. Susah," lirihnya dengan kening berkerut dalam.Aku tertawa miris sambil menggeleng. Dengan tidak tahu malunya dia mengakui perasaan untuk sang mantan."Gimana bisa lupa, kalau Mas sendiri masih aja terus mengingat-ngingat dia? Bahkan Mas sampai berkali-kali ganti akun hanya supaya bisa mantau mantan Mas itu! Mas juga enggak malu kirim pesan-pesan puitis. Itu namanya apa, Mas? Apa?""Itu bukan Mas yang enggak bisa lupa, tapi emang Mas yang enggak niat buat lupain!" geramku, tapi masih berusaha menekan suara agar tak lagi membentaknya. Meskipun, dada ini bergemuruh hebat sampai tangan gemetar menahan emosi."Kenapa Mas mau nikahin aku kalau masih enggak bisa move on, hm? Pernikahan bukan untuk main-main, Mas. Jawab jujur! Kenapa dulu Mas datang melamarku, hm? Kenapa?"Mas Aldi terdiam menunduk. K
Sudah lama mata ini terpejam, tapi bukan berarti sudah tidur. Kesadaranku masih full. Aku benar-benar tidak bisa tenang. Berkali-kali mengganti posisi tidur, miring kanan-kiri, terlentang, tapi tetap saja gelisah. Dugaan Mas Aldi membayangkan wajah mantannya ketika kami menyatu, membuat kepala ini rasanya mau meledak.Semakin berusaha dienyahkan, malah semakin kuat mengganggu pikiran. Hingga membuatku kembali ke posisi duduk dan terisak. Kulempar figura foto kami dan gelas di atas nakas sampai pecah untuk meluapkan emosi ini. Aku menunduk, mengusap perutku di mana ada buah cinta kami di sana.Tidak! Ini bukan buah cinta kami. Hanya aku yang mencinta dan mendamba, tapi dia tidak. Raganya di sini, tapi hatinya untuk wanita lain. Bisa saja saat melakukannya, Mas Aldi membayangkan wajah Lidya.Aku menangis sesenggukan dan berteriak kesal tanpa peduli Mas Aldi akan terbangun dan mendengarnya. Ini terlalu sakit. Andai waktu bisa diputar ulang. Jangankan menikah, aku juga tak ingin mengenaln
"Kamu sakit, Dek? Wajahmu pucat," komentar Mas Aldi ketika kami tengah sarapan."Hanya pusing sedikit," jawabku tanpa menatapnya, lalu kembali menyuapkan makanan dan mengunyah pelan."Ayo! Biar mas antar ke dokter dulu sebelum berangkat kerja.""Enggak usah. Nanti dibawa tidur juga sembuh. Hanya kurang tidur saja, kok." Aku tersenyum tipis."Dek.""Hm?""Maaf tentang semuanya. Kamu mau kasih mas satu kesempatan lagi, kan?"Aku menghela napas pelan, lalu kembali menatapnya. "Kita bicarakan ini nanti sepulang Mas kerja, ya. Sekarang, beri aku waktu dulu untuk berpikir dengan tenang."Mas Aldi terdiam sejenak, tapi tak lama dia mengangguk. "Baiklah. Kita bicarakan ini lagi nanti. Mas juga enggak mau kamu tambah sakit. Bisa habis nanti mas diomelin Papa dan Mama kalau kamu kenapa-napa."Aku hanya tersenyum, lalu kembali menunduk menatap piring.Usai sarapan, seperti biasa kuantar Mas Aldi ke depan rumah di mana motornya sudah terparkir setelah sempat dipanaskan mesinnya tadi. Aku mencium
"Bapak ...."Bapak melanglah lebar mendekati kami, lalu berdiri tepat di hadapanku yang menunduk takut."Benar semua yang bapak dengar tadi, Nurma? Benar Aldi sering menyakitimu?"Aku mengangguk pelan."Mana foto bukti-buktinya? Bapak mau lihat."Kuletakkan ponselku di telapak tangan Bapak yang menengadah. Aku dan Ibu saling melempar pandang melihat Bapak yang begitu serius melihat satu per satu foto di ponsel."Benar Aldi melakukan ini? Dia sudah ngaku?""Sudah, Pak," jawabku pelan.Bapak menghela napas berat, lalu mengembalikan ponsel itu padaku."Kenapa kamu enggak cerita dari dulu sama Bapak dan Ibu? Kenapa baru sekarang kamu terbuka?""Dulu aku berharap Mas Aldi akan berubah, Pak. Aku tulus cinta, tapi Mas Aldi enggak. Kepercayaan dan cinta dariku enggak bisa mengubahnya kalau Mas Aldi sendiri enggak ada niat ke sana. Dia sengaja mengejar-ngejar mantannya terus, Pak.""Sekarang, mau kamu apa?" Bapak berjongkok di hadapanku dan berkata lembut.Aku menunduk dan terisak dengan Ibu y
"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.Aku mengangguk."Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali."Benar, Pah." Aku kembali mengangguk."Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir."Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini."Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal."Itu dia," ujar Mama.Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu."Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama."Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka."Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single
"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya."Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji enggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli."Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.Mas Aldi beralih menatapku. Dia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya."Dek ... maafin mas. Tolong jangan minta cerai. Beri mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku."Enggak bisa. Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantanmu itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas?