"Kenapa cemberut begitu, sih, Dek? Suami pulang kerja itu disambut dengan senyum dan pelukan."
Mas Aldi menatap penuh tanya aku yang bersikap dingin. Semua bukan tanpa alasan. Aku takkan seperti ini jika dia tidak membuat ulah yang menyakiti hati.
"Memang biasanya juga begitu, 'kan?" balasku cuek.
"Terus, kenapa sekarang enggak, hm?" Mas Aldi menjawil dagu, tapi langsung kutepis hingga terlihat raut wajahnya sedikit kaget. "Kamu kenapa? Mas salah apa?"
"Masuklah dulu. Kita bicara nanti setelah Mas ganti baju," ujarku seraya mengambil tas kerja dari tangannya, kemudian berlalu menuju kamar mendahuluinya. Tak mempedulikan Mas Aldi yang memanggil di belakang sana.
"Ada masalah apa, Dek? Enggak biasa-biasanya kamu bersikap begini. Kalau ada apa-apa itu ngomong. Jangan diam," komentarnya yang menyusul ke kamar ini dan memelukku begitu saja dari belakang.
Rahangku mengatup keras demi menahan diri agar tidak emosi. Membuang napas pelan seraya melepaskan tangannya yang melingkari perut.
"Mandi sana, Mas," titahku datar.
"Kenapa cemberut terus? Pasti bawaan dedek bayi, ya?" Dia tersenyum seraya mengusap perutku yang sudah membesar.
"Ini baju gantinya. Aku tunggu Mas di bawah." Aku menyerahkan pakaian ganti, kemudian berlalu keluar kamar. Meninggalkan Mas Aldi yang berdiri mematung dengan raut wajah bingungnya.
Berkali-kali aku harus menghirup napas dalam-dalam seraya mengusap dada ketika merasakan sesak. Menengadahkan wajah dengan mata mengerjap cepat demi menghalau air mata. Ini sudah keempat kalinya Mas Aldi melanggar janji dan tak menghargaiku sebagai istrinya.
Sakit memang, tapi kali ini aku tidak akan menunjukkan diri ini lemah walau dalam keadaan hamil besar.
"Dek ...."
Aku menoleh sekilas pada Mas Aldi yang berjalan mendekat seraya menyugar rambut tebal hitamnya.
"Katanya mau bicara. Ayo! Mas enggak tahan dengan sikapmu itu. Aneh. Masa tiba-tiba ngambek dan dingin. Seperti bukan kamu saja."
"Duduk dulu, Mas. Makan dulu baru kita bicara." Aku menarikkan satu kursi untuknya, menggeser gelas kopi, lalu menyendokkan nasi dan lauk ke piring Mas Aldi.
Kami makan tanpa sepatah kata yang terucap. Hening. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Benar-benar jauh berbeda dengan kami yang biasanya makan sambil berbincang hangat dan tertawa pelan. Sedari tadi, aku memilih menunduk menatap piring. Meskipun begitu, aku tahu kalau tatapan Mas Aldi mengarah padaku.
"Dek."
"Habiskan dulu makannya. Bisa?" Aku menatap sekilas, lalu kembali fokus dengan makanan sendiri.
Mas Aldi tak lagi memaksaku bicara. Kami berdua sama-sama diam. Setelah makan, dia pergi lebih dulu ke ruang keluarga, sedangkan aku merapikan meja dan mencuci piringnya. Sempat aku tertegun sejenak di depan wastafel dengan keran air menyala. Meremas kuat spon di tangan ketika kepala dan hati terasa panas. Rasanya ingin sekali marah dengan emosi meledak-ledak, tapi kutahan sebisa mungkin.
Setelah dirasa lebih tenang, kubersihkan sabun dari tangan dan mematikan keran air, kemudian menyusul Mas Aldi yang sedang duduk santai di ruang televisi seraya memainkan ponsel. Melihat kedatanganku, Mas Aldi segera meletakkan ponsel itu di atas meja, lalu menggeser duduknya.
"Sini. Pindah ke sini duduknya," ujarnya seraya menepuk-nepuk sofa kosong di sampingnya.
"Aku di sini aja," tolakku dengan tetap duduk di sofa single.
"Sini ...." Mas Aldi beranjak bangun, lalu menarik tanganku agar duduk bersamanya di sofa panjang.
Aku duduk terdiam menatap layar televisi. Mencoba mengontrol denyutan nyeri dan perih di dalam dada.
"Ada apa, hm?" tanyanya lembut seraya merangkul bahu. "Ngomong, dong, Sayang."
Biasanya, aku akan langsung luluh dengan sikap lembut ini. Membalasnya dengan kecupan dan pelukan manja. Akan tetapi, untuk sekarang semua keinginan itu lenyap karena tindakan Mas Aldi yang kembali menyakiti secara diam-diam.
"Dek."
"Maumu apa, Mas?" tanyaku tenang.
"Mau mas? Mau mas gimana maksudnya?" Mas Aldi menatapku dengan dahi sedikit berkerut.
"Rumah tangga kita. Mau dibawa ke mana rumah tangga kita ini, Mas?"
"Rumah tangga? Maksud kamu apa, sih, Dek? Mas enggak ngerti. Kok, tiba-tiba ngomongin rumah tangga."
Kupejamkan mata sesaat, lalu menghela napas pelan dan menoleh padanya.
"Mas ingin mengakhiri semuanya? Kalau benar, maka aku siap. Mari kita selesaikan semua ini dengan cepat," ujarku yang langsung membuatnya terlihat kaget dengan kening berkerut dalam.
"Kamu ngomong apa, sih? Kok, jadi ngaco begitu? Kamu lagi nge-prank, ya?"
"Apa aku terlihat sedang bercanda?" tanyaku datar.
"Yaa, tapi kenapa kamu tiba-tiba bicara hal yang enggak masuk akal begitu? Kenapa tiba-tiba ngomongin pisah? Siapa juga yang mau pisah? Kamu kesurupan?"
"Jangan berbohong terus, Mas! Jangan mengelak! Bukan hanya bisa menyakiti diri Mas sendiri, tapi juga menyakitiku. Jika perpisahan memang yang terbaik, aku ikhlas."
"Apa, sih, Dek? Kamu ini tambah ngaco aja omongannya." Mas Aldi mulai menunjukkan kekesalan. "Kamu kenapa, hm? Mas ada salah apa? Coba bilang biar mas paham." Dia berkata lembut lagi seraya menggenggam kedua tanganku.
Kutarik tanganku dari genggamannya, lalu merogoh ponsel dari saku daster dan mengotak-atiknya.
"Ini apa?" Kuarahkan layar ponsel tepat di depan wajahnya.
Mas Aldi membulatkan mata. Dia diam mematung, lalu tak lama jakunnya terlihat naik turun seraya menatap gelisah padaku.
Pagi tadi, aku kembali mendapati status galaunya di akun f******k. Bukan untukku, melainkan untuk sang mantan. Wanita yang dulu pernah dia impikan menjadi istrinya, tapi gagal karena orangtua pihak wanita tak mengizinkan.
Kata-katanya yang ditulis bak silet tajam yang menyayat-nyayat hati. Bukan sekali. Dalam seminggu ini, aku mendapatinya selalu mengunggah status galau. Bahkan dalam sehari bisa lebih dari satu kali. Semula kudiamkan karena berharap dia berhenti dan sadar, tapi ternyata tidak. Kata-kata galau yang dia unggah pagi tadi menyiratkan sampai detik ini, dirinya masih mengharapkan sang mantan.
–––––––––––––
Biarkan waktu berlalu, tapi itu takkan mampu mengubah rasa ini padamu. Terlalu merindukanmu membuatku sering merasa gila dan bodoh. Terlalu sayang dan terlalu mencintaimu membuat diri ini terlupa dengan hati seeorang yang harus dijaga.
Kecantikanmu, kelembutanmu dan semua yang ada padamu masih membuat diri ini terlena. Beritahu cara melupakan dirimu karena aku tak menemukannya. Aku pun tak ingin menyakiti wanita yang telah kupilih menjadi pendamping hidup, tapi apa daya?
Rasa padamu yang begitu dalam, membuatku bodoh sampai-sampai lupa dengan keberadaannya, lupa untuk menjaga hatinya. Aku tahu, kau sudah berbahagia dengannya di sana. Begitu juga denganku. Harusnya aku berbahagia dengan istriku, bukan?
Namun, aku tak bisa menampik ada ruang hampa di sudut hati. Istriku, dia sangat sempurna, tapi hanya karena hati ini masih belum seutuhnya berpaling, semua itu terasa berbeda.
Aku tahu kau terlalu sempurna untuk dimiliki. Akan tetapi, aku yakin jika memang masih berjodoh, suatu saat kita akan disatukan kembali bagaimanapun caranya.
–––––––––––––
Itulah status terbaru Mas Aldi yang membuat hatiku terkoyak hingga air mata berderaian. Bagaimana tidak sakit? Semua kata-katanya menyiratkan dia masih ingin kembali dengan wanita itu. Lalu, aku dianggap apa?
🍁🍁🍁
Ini kesekian kalinya Mas Aldi mengulangi kesalahan. Dulu kami juga pernah bertengkar hebat dan terjadi perang dingin. Pertama di tiga bulan usia pernikahan kami, yang kedua saat kehamilanku menginjak usia tujuh minggu. Bahkan, saat itu aku sempat drop.Mas Aldi diam-diam sering mengirimkan pesan di messenger pada sang mantan. Wanita itu memang tidak merespon bahkan malah memblokir akun Mas Aldi. Akan tetapi, suamiku itu selalu membuat akun baru dan mengirimkannya pesan, juga status tentang ungkapan perasaannya.Ketika kelakuannya itu terbongkar, dia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi. Mas Aldi juga menghapus semua akun beserta aplikasinya. Aku percaya begitu saja dan memberi dia kesempatan. Kenyataannya, kali ini dia mengulangi perbuatan itu lagi. Bahkan, Mas Aldi sengaja membuka aplikasinya melalui browser dengan akun baru yang ternyata sudah dibuatnya dari sebulan yang lalu.Mungkin, dia berpikir aku tidak akan mengetahuinya lagi. Akan tetapi, yang namanya bangkai pasti
Mas Aldi terdiam. Tatapannya masih tak beranjak dariku, tapi genggamannya mulai mengendur."Aku juga sudah berusaha, Dek. Aku sudah berusaha. Tapi enggak semudah itu melupakan cintaku sama dia. Susah," lirihnya dengan kening berkerut dalam.Aku tertawa miris sambil menggeleng. Dengan tidak tahu malunya dia mengakui perasaan untuk sang mantan."Gimana bisa lupa, kalau Mas sendiri masih aja terus mengingat-ngingat dia? Bahkan Mas sampai berkali-kali ganti akun hanya supaya bisa mantau mantan Mas itu! Mas juga enggak malu kirim pesan-pesan puitis. Itu namanya apa, Mas? Apa?""Itu bukan Mas yang enggak bisa lupa, tapi emang Mas yang enggak niat buat lupain!" geramku, tapi masih berusaha menekan suara agar tak lagi membentaknya. Meskipun, dada ini bergemuruh hebat sampai tangan gemetar menahan emosi."Kenapa Mas mau nikahin aku kalau masih enggak bisa move on, hm? Pernikahan bukan untuk main-main, Mas. Jawab jujur! Kenapa dulu Mas datang melamarku, hm? Kenapa?"Mas Aldi terdiam menunduk. K
Sudah lama mata ini terpejam, tapi bukan berarti sudah tidur. Kesadaranku masih full. Aku benar-benar tidak bisa tenang. Berkali-kali mengganti posisi tidur, miring kanan-kiri, terlentang, tapi tetap saja gelisah. Dugaan Mas Aldi membayangkan wajah mantannya ketika kami menyatu, membuat kepala ini rasanya mau meledak.Semakin berusaha dienyahkan, malah semakin kuat mengganggu pikiran. Hingga membuatku kembali ke posisi duduk dan terisak. Kulempar figura foto kami dan gelas di atas nakas sampai pecah untuk meluapkan emosi ini. Aku menunduk, mengusap perutku di mana ada buah cinta kami di sana.Tidak! Ini bukan buah cinta kami. Hanya aku yang mencinta dan mendamba, tapi dia tidak. Raganya di sini, tapi hatinya untuk wanita lain. Bisa saja saat melakukannya, Mas Aldi membayangkan wajah Lidya.Aku menangis sesenggukan dan berteriak kesal tanpa peduli Mas Aldi akan terbangun dan mendengarnya. Ini terlalu sakit. Andai waktu bisa diputar ulang. Jangankan menikah, aku juga tak ingin mengenaln
"Kamu sakit, Dek? Wajahmu pucat," komentar Mas Aldi ketika kami tengah sarapan."Hanya pusing sedikit," jawabku tanpa menatapnya, lalu kembali menyuapkan makanan dan mengunyah pelan."Ayo! Biar mas antar ke dokter dulu sebelum berangkat kerja.""Enggak usah. Nanti dibawa tidur juga sembuh. Hanya kurang tidur saja, kok." Aku tersenyum tipis."Dek.""Hm?""Maaf tentang semuanya. Kamu mau kasih mas satu kesempatan lagi, kan?"Aku menghela napas pelan, lalu kembali menatapnya. "Kita bicarakan ini nanti sepulang Mas kerja, ya. Sekarang, beri aku waktu dulu untuk berpikir dengan tenang."Mas Aldi terdiam sejenak, tapi tak lama dia mengangguk. "Baiklah. Kita bicarakan ini lagi nanti. Mas juga enggak mau kamu tambah sakit. Bisa habis nanti mas diomelin Papa dan Mama kalau kamu kenapa-napa."Aku hanya tersenyum, lalu kembali menunduk menatap piring.Usai sarapan, seperti biasa kuantar Mas Aldi ke depan rumah di mana motornya sudah terparkir setelah sempat dipanaskan mesinnya tadi. Aku mencium
"Bapak ...."Bapak melanglah lebar mendekati kami, lalu berdiri tepat di hadapanku yang menunduk takut."Benar semua yang bapak dengar tadi, Nurma? Benar Aldi sering menyakitimu?"Aku mengangguk pelan."Mana foto bukti-buktinya? Bapak mau lihat."Kuletakkan ponselku di telapak tangan Bapak yang menengadah. Aku dan Ibu saling melempar pandang melihat Bapak yang begitu serius melihat satu per satu foto di ponsel."Benar Aldi melakukan ini? Dia sudah ngaku?""Sudah, Pak," jawabku pelan.Bapak menghela napas berat, lalu mengembalikan ponsel itu padaku."Kenapa kamu enggak cerita dari dulu sama Bapak dan Ibu? Kenapa baru sekarang kamu terbuka?""Dulu aku berharap Mas Aldi akan berubah, Pak. Aku tulus cinta, tapi Mas Aldi enggak. Kepercayaan dan cinta dariku enggak bisa mengubahnya kalau Mas Aldi sendiri enggak ada niat ke sana. Dia sengaja mengejar-ngejar mantannya terus, Pak.""Sekarang, mau kamu apa?" Bapak berjongkok di hadapanku dan berkata lembut.Aku menunduk dan terisak dengan Ibu y
"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.Aku mengangguk."Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali."Benar, Pah." Aku kembali mengangguk."Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir."Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini."Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal."Itu dia," ujar Mama.Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu."Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama."Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka."Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single
"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya."Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji enggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli."Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.Mas Aldi beralih menatapku. Dia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya."Dek ... maafin mas. Tolong jangan minta cerai. Beri mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku."Enggak bisa. Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantanmu itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas?
Kami sampai di terminal kota tempat kelahiranku ketika jam sudah lewat tengah malam. Kami duduk di halte terminal karena tak ada kendaraan umum menuju desa di jam segini."Benar kata papanya Aldi, Pak. Harusnya kita bisa tunda kepulangan ini sampai pagi. Bapak, sih, apa-apa pakai emosi dulu," gerutu Ibu."Sabar. Ini Bapak lagi coba telepok Entis buat minta tolong jemput. Tapi, kok, belum diangkat juga.""Ya sudah Bapak coba terus. Ibu mau beli minum dulu di warung sana." Ibu menunjuk kedai yang ada di seberang kami. Cukup berjarak dari sini."Ya sudah sana," sahut Bapak sembari terus mencoba menelepon kerabat dari keluarga Bapak."Kamu mau dibelikan apa, Nur?""Air putih saja, Bu.""Roti mau?"Aku menggeleng."Ya sudah." Ibu berlalu pergi ke sana sendirian.Aku duduk dengan menjulurkan kedua kaki ke depan seraya mengusap-usap perut. Rasa lelah membuatku tak sabar ingin membaringkan badan. Kurogoh ikatan dari saku jaket, lalu mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai."Pak, ak