Mas Aldi terdiam. Tatapannya masih tak beranjak dariku, tapi genggamannya mulai mengendur.
"Aku juga sudah berusaha, Dek. Aku sudah berusaha. Tapi enggak semudah itu melupakan cintaku sama dia. Susah," lirihnya dengan kening berkerut dalam.
Aku tertawa miris sambil menggeleng. Dengan tidak tahu malunya dia mengakui perasaan untuk sang mantan.
"Gimana bisa lupa, kalau Mas sendiri masih aja terus mengingat-ngingat dia? Bahkan Mas sampai berkali-kali ganti akun hanya supaya bisa mantau mantan Mas itu! Mas juga enggak malu kirim pesan-pesan puitis. Itu namanya apa, Mas? Apa?"
"Itu bukan Mas yang enggak bisa lupa, tapi emang Mas yang enggak niat buat lupain!" geramku, tapi masih berusaha menekan suara agar tak lagi membentaknya. Meskipun, dada ini bergemuruh hebat sampai tangan gemetar menahan emosi.
"Kenapa Mas mau nikahin aku kalau masih enggak bisa move on, hm? Pernikahan bukan untuk main-main, Mas. Jawab jujur! Kenapa dulu Mas datang melamarku, hm? Kenapa?"
Mas Aldi terdiam menunduk. Kedua tangannya mengepal kuat di samping badan. Akan tetapi, perlahan dia kembali menatapku sendu.
"Mas akan jujur, tapi kamu jangan marah."
Aku bungkam.
"Dulu, mas nikahi kamu memang bukan karena cinta. Tapi mas berharap keberadaan kamu bisa menggantikan posisi Lidya. Bisa bantu mas untuk melupakan semuanya, tapi ternyata susah. Enggak gampang, Dek!"
"Oh, pelampiasan ternyata." Aku tertawa miris. "Mas jahat! Enggak seharusnya Mas menyeretku ke dalam pernikahan semu ini. Enggak seharusnya aku ikut merasakan sakit karena masa lalu kalian itu. Kalau memang Mas belum bisa move on, harusnya seumur hidup Mas enggak usah nikah! Jangan jadikan orang lain sebagai korban atas keegoisan Mas itu!"
"Dek!" Mas Aldi dengan cepat mencekal pergelangan tanganku yang hendak beranjak pergi. "Mas sedang berusaha, tapi butuh waktu lama. Tolong ... bersabarlah," lirihnya memohon.
"Sabar katamu, Mas? Kurang sabar apa aku selama ini, hm? Sudah beberapa kali aku kasih Mas kesempatan. Tapi Mas enggak bisa menjaga kepercayaan itu. Mas selalu ingkar!"
"Coba dipikir dengan kepala dingin, Dek. Di sini, bukan hanya kamu yang terluka, tapi mas juga! Kamu pikir mas mau terus-terusan terikat dengan masa lalu? Enggak! Tapi mas bisa apa? Bayangan masa lalu itu selalu hadir gitu aja mengganggu pikiran dan ketenangan mas, Dek. Tolong pahami itu!"
"Mas terluka karena ulah Mas sendiri. Berusaha melupakan itu enggak gini caranya. Lebih baik, Mas kejar lagi mantan Mas itu dan ceraikan aku!"
"Dek!" bentak Mas Aldi, kemudian berdiri. "Semudah itu kamu bilang cerai?" Sorot matanya menatapku tajam.
"Ya! Semudah Mas menyakitiku berulang kali!" tegasku dengan tatapan berani.
Kami saling beradu tatap dalam diam. Sama-sama dikuasai emosi. Namun pada akhirnya, Mas Aldi mengalah. Dia menghela napas berat seraya menengadahkan wajah.
"Jangan bersikap seolah-olah Mas yang paling tersakiti!" sindirku melihat raut wajahnya itu. "Akulah yang paling tersakiti di sini, Mas, bukan kamu! Aku yang enggak tahu menahu masa lalu kalian, tapi harus terseret dan ikut merasakan sakitnya. Itu enggak adil!"
"Mas mohon ... satu kali kesempatan lagi, Dek. Kali ini mas enggak akan ingkar. Bantu mas lupain Lidya."
"Enggak!" Aku menggeleng yakin. "Harusnya, Mas buktiin itu dari awal Mas ngelakuin kesalahan, bukan setelah berulang kali seperti ini! Aku tetap mau bercerai!"
"Tapi kamu lagi hamil, Dek," lirihnya mengiba.
"Kenapa memangnya kalau aku hamil? Mas pikir cerai dalam keadan hamil itu enggak sah? Mas pikir aku enggak bisa hidup berdua dengan anak ini? Lagipula, aku masih punya Ibu dan Bapak!"
"Apa kata orangtua kita nanti kalau kita bercerai, Dek? Apa kata tetangga? Apa kata teman-teman mas?"
"Peduli amat apa kata orang." Aku tertawa sinis. "Memangnya mereka ngerasain sakit yang aku rasain?"
"Mama Papa pasti marah sama mas, Dek. Mas harus jelasinnya gimana?"
Aku tersenyum sinis. "Kenapa harus bingung? Bilang aja terus terang kalau Mas itu masih betah hidup dengan masa lalu!" pungkasku yang membuatnya terdiam menunduk.
"Mas sadar enggak, sih, dengan kalimat terakhir yang Mas tulis di status, hm? Secara enggak langsung, Mas itu berharap kita bercerai dan bisa kembali dengan Lidya! Terus, kenapa sekarang Mas menentang usulku ini?"
"Justru, aku udah berbaik hati bantuin supaya doa dan harapan Mas lebih cepat terkabul. Setelah itu, silakan Mas kejar Lidya sepuasnya!" cecarku penuh penekanan. Menyentak tangan hingga cekalannya terlepas, kemudian melangkah cepat menuju kamar.
Namun, sesaat sebelum pintu kamar ini ditutup, aku kembali berbalik menghadapnya.
"Mas Aldi!" Mendengar panggilanku ini, Mas Aldi mengangkat wajahnya dan menatapku lesu.
"Dengar ini, Mas! Pernikahan bukan sekadar untuk pelarian. Apalagi cuma jadi ajang berkembang biak dan pelampiasan nafsu saja! Mas pikir aku kambing?" hardikku, lalu menutup pintunya dengan kasar dan menguncinya.
Aku bersandar di daun pintu dengan napas memburu. Menengadahkan wajah seraya berusaha mengendalikan emosi yang masih meletup-letup di dada. Ternyata, aku gagal mengendalikan diri walau sudah mencobanya.
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gumamku seraya mengusap wajah ketika teringat perkataan kasar terakhir yang diucapkan padanya. "Maaf, Ya Allah."
Aku berjalan perlahan, lalu duduk di tepi ranjang. Merogoh ponsel untuk menghubungi orangtuaku.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam. Gimana kabar kamu, Nak?"
"Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu dan Bapak gimana?"
"Alhamdulillah, kami juga sehat. Gimana dengan Aldi?"
"Mas Aldi sehat. Oh, ya, Bu. Besok bisa enggak, kalau Ibu dan Bapak datang ke sini?"
"Bisa. Kenapa? Sudah kangen, ya?"
"Iya. Aku kangen banget sama Ibu dan Bapak. Sekalian ada hal penting yang mau kami bicarakan."
"Hal penting. Soal apa?"
"Nanti aku jelaskan di sini, ya, Bu."
"Ya sudah. Besok Ibu dan Bapak berangkat dari sini pagi-pagi. Kamu istirahat, ya. Jaga kesehatan."
"Iya, Ibu juga. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawabnya, lalu sambungan pun terputus.
Tak hanya menghubungi Ibu dan Bapak, aku juga menghubungi kedua orangtua Mas Aldi dan meminta mereka datang. Mama sempat bertanya juga ada masalah apa, tapi tidak kujelaskan.
"Dek." Mas Aldi mengetuk-ngetuk pintu kamar ini. "Buka pintunya dulu, Dek! Kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin. Semua masih bisa diselesaikan secara baik-baik, Dek."
Aku naik ke ranjang, membaringkan tubuh, lalu menarik selimut sebatas kepala.
"Dek!" Mas Aldi masih saja mengetuk pintunya, tapi aku menulikan telinga.
"Mas sadar mas salah, Dek. Ayo kita perbaiki lagi semuanya! Mas janji untuk yang terakhir kalinya, Dek. Lagipula, Lidya 'kan enggak pernah merespon, Dek. Kamu enggak perlu takut."
"Siapa yang takut? Mas mau kembali pada wanita itu pun silakan! Aku enggak akan melarang!" sahutku tak terima.
"Ya sudah, maaf Dek. Mas akan berusaha lebih keras lagi untuk menghapus semua tentang Lidya."
Baru akan berusaha menghapus? Jangan-jangan, dari dulu Mas Aldi menggauliku sambil membayangkan wajah mantannya itu? Ya Allah!
Aku yang sangat geram karena membayangkan hal itu, seketika meremas kuat-kuat seprei, lalu mengigitnya.
Istighfar, Nurma, istighfar. Jangan terbawa hasutan setan terus! Kendalikan emosi!
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gumamku seraya berusaha mengatur pernapasan dan detak jantung yang masih cepat.
"Dek, buka pintunya dulu, Dek. Sebentar!"
Aku diam.
"Dek, mas juga mau tidur!"
"Tidur aja di kamar sebelah atau di sofa!" sahutku, lalu mematikan lampu tidurnya.
"Kamar sebelah 'kan AC-nya rusak, Dek. Masa mas tidur di sofa sendirian?"
"Sana! Mas numpang tidur aja di rumah mantan! Itu juga kalau Mas enggak dihajar suaminya!" sahutku kesal, lalu memejamkan mata. Merapatkan selimut dan berusaha tak acuh dengan Mas Aldi yang masih terus mengetuk-ngetuk pintu.
🌺🌺🌺
Sudah lama mata ini terpejam, tapi bukan berarti sudah tidur. Kesadaranku masih full. Aku benar-benar tidak bisa tenang. Berkali-kali mengganti posisi tidur, miring kanan-kiri, terlentang, tapi tetap saja gelisah. Dugaan Mas Aldi membayangkan wajah mantannya ketika kami menyatu, membuat kepala ini rasanya mau meledak.Semakin berusaha dienyahkan, malah semakin kuat mengganggu pikiran. Hingga membuatku kembali ke posisi duduk dan terisak. Kulempar figura foto kami dan gelas di atas nakas sampai pecah untuk meluapkan emosi ini. Aku menunduk, mengusap perutku di mana ada buah cinta kami di sana.Tidak! Ini bukan buah cinta kami. Hanya aku yang mencinta dan mendamba, tapi dia tidak. Raganya di sini, tapi hatinya untuk wanita lain. Bisa saja saat melakukannya, Mas Aldi membayangkan wajah Lidya.Aku menangis sesenggukan dan berteriak kesal tanpa peduli Mas Aldi akan terbangun dan mendengarnya. Ini terlalu sakit. Andai waktu bisa diputar ulang. Jangankan menikah, aku juga tak ingin mengenaln
"Kamu sakit, Dek? Wajahmu pucat," komentar Mas Aldi ketika kami tengah sarapan."Hanya pusing sedikit," jawabku tanpa menatapnya, lalu kembali menyuapkan makanan dan mengunyah pelan."Ayo! Biar mas antar ke dokter dulu sebelum berangkat kerja.""Enggak usah. Nanti dibawa tidur juga sembuh. Hanya kurang tidur saja, kok." Aku tersenyum tipis."Dek.""Hm?""Maaf tentang semuanya. Kamu mau kasih mas satu kesempatan lagi, kan?"Aku menghela napas pelan, lalu kembali menatapnya. "Kita bicarakan ini nanti sepulang Mas kerja, ya. Sekarang, beri aku waktu dulu untuk berpikir dengan tenang."Mas Aldi terdiam sejenak, tapi tak lama dia mengangguk. "Baiklah. Kita bicarakan ini lagi nanti. Mas juga enggak mau kamu tambah sakit. Bisa habis nanti mas diomelin Papa dan Mama kalau kamu kenapa-napa."Aku hanya tersenyum, lalu kembali menunduk menatap piring.Usai sarapan, seperti biasa kuantar Mas Aldi ke depan rumah di mana motornya sudah terparkir setelah sempat dipanaskan mesinnya tadi. Aku mencium
"Bapak ...."Bapak melanglah lebar mendekati kami, lalu berdiri tepat di hadapanku yang menunduk takut."Benar semua yang bapak dengar tadi, Nurma? Benar Aldi sering menyakitimu?"Aku mengangguk pelan."Mana foto bukti-buktinya? Bapak mau lihat."Kuletakkan ponselku di telapak tangan Bapak yang menengadah. Aku dan Ibu saling melempar pandang melihat Bapak yang begitu serius melihat satu per satu foto di ponsel."Benar Aldi melakukan ini? Dia sudah ngaku?""Sudah, Pak," jawabku pelan.Bapak menghela napas berat, lalu mengembalikan ponsel itu padaku."Kenapa kamu enggak cerita dari dulu sama Bapak dan Ibu? Kenapa baru sekarang kamu terbuka?""Dulu aku berharap Mas Aldi akan berubah, Pak. Aku tulus cinta, tapi Mas Aldi enggak. Kepercayaan dan cinta dariku enggak bisa mengubahnya kalau Mas Aldi sendiri enggak ada niat ke sana. Dia sengaja mengejar-ngejar mantannya terus, Pak.""Sekarang, mau kamu apa?" Bapak berjongkok di hadapanku dan berkata lembut.Aku menunduk dan terisak dengan Ibu y
"Ada apa, Nur? Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Mama saat aku sudah sampai di ruang keluarga bersama Bapak.Aku mengangguk."Apa ini alasan kamu meminta kami kumpul di sini?" Papa mertua ikut menimpali."Benar, Pah." Aku kembali mengangguk."Masalah apa, Nur? Aldi main kasar?" Mama terlihat khawatir."Nanti, ya, Ma, Pa. Tunggu Mas Aldi ke sini dulu," ujarku, lalu menoleh ke arah kamar. Belum ada tanda-tanda Mas Aldi keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya sampai butuh waktu lama untuk kembali ke sini."Kenapa lama sekali Aldi di kamar? Coba panggil, Ma."Mama beranjak bangun dan hendak pergi memanggilnya, tapi batal."Itu dia," ujar Mama.Kami serempak menoleh. Mas Aldi berjalan lesu walau penampilannya sudah terlihat segar. Ternyata, Mas Aldi mandi dan mengganti pakaiannya dulu."Lama banget kamu, Di. Sudah ditungguin dari tadi juga," cicit Mama."Mandi dulu, Ma. Panas." Mas Aldi melirik ke sini, tapi aku langsung membuang muka."Duduk!" titah Papa seraya menunjuk sofa single
"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya."Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji enggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli."Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.Mas Aldi beralih menatapku. Dia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya."Dek ... maafin mas. Tolong jangan minta cerai. Beri mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku."Enggak bisa. Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantanmu itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas?
Kami sampai di terminal kota tempat kelahiranku ketika jam sudah lewat tengah malam. Kami duduk di halte terminal karena tak ada kendaraan umum menuju desa di jam segini."Benar kata papanya Aldi, Pak. Harusnya kita bisa tunda kepulangan ini sampai pagi. Bapak, sih, apa-apa pakai emosi dulu," gerutu Ibu."Sabar. Ini Bapak lagi coba telepok Entis buat minta tolong jemput. Tapi, kok, belum diangkat juga.""Ya sudah Bapak coba terus. Ibu mau beli minum dulu di warung sana." Ibu menunjuk kedai yang ada di seberang kami. Cukup berjarak dari sini."Ya sudah sana," sahut Bapak sembari terus mencoba menelepon kerabat dari keluarga Bapak."Kamu mau dibelikan apa, Nur?""Air putih saja, Bu.""Roti mau?"Aku menggeleng."Ya sudah." Ibu berlalu pergi ke sana sendirian.Aku duduk dengan menjulurkan kedua kaki ke depan seraya mengusap-usap perut. Rasa lelah membuatku tak sabar ingin membaringkan badan. Kurogoh ikatan dari saku jaket, lalu mengikat rambut yang sedari tadi dibiarkan terurai."Pak, ak
Sepanjang perjalanan, Bapak yang duduk di jok samping kemudi terus berbincang hangat dengan Dokter Widi. Meskipun, dia terlihat dari kalangan orang yang berada, sifatnya sangat ramah. Tidak canggung mengobrol bersama kami."Nur." Ibu menyentuh punggung tangan. Membuatku yang sedari tadi menatap keluar jendela jadi menoleh. "Itu diangkat dulu teleponnya. Dari tadi pas kamu di toilet juga bunyi terus.""Biarin, Bu. Enggak usah. Palingan juga Mas Aldi.""Angkat dulu atau kirim pesan. Enggak enak sama orangtuanya. Pasti mereka khawatir dengan kita."Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Merogoh ponsel dari tas dan menggeser ikon hijau di layar."Ibu saja yang bicara," bisikku seraya menyerahkan ponsel ke tangannya.Ibu hanya menggeleng, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya."Assalamu'alaikum, Di.""
Perkiraanku yang akan tenang menikmati hari-hari di desa bersama Bapak dan Ibu, nyatanya tidak sepenuhnya terwujud. Nomorku memang tidak pernah aktif, tapi nomor Bapak selalu menjadi sasaran Mas Aldi. Meskipun tidak pernah diangkat, tetap saja sangat mengganggu.Bapak sampai kesal dan akhirnya menjawab panggilan Mas Aldi. Memarahinya agar tidak mengganggu masa tenangku di sini. Konyolnya, dia pernah mengirimkan pesan hanya untuk menanyakan di mana pakaian dalam. Antara merasa lucu dan gemas sampai aku dan Bapak sama-sama tertawa karena hal itu.Seminggu di sini, tak jarang aku mendengar gosip miring tentang rumah tanggaku. Ibu selalu menjawab kalau aku ini hanya berlibur, tapi tetap saja mulut mereka tidak bisa dikendalikan."Bu, mau ke mana?" tanyaku melihat Ibu bersiap keluar rumah."Mau beli sayuran, Nur.""Aku saja yang beli, Bu. Seperti yang dibilang Dokter Widi. Aku juga 'kan harus sering-sering jalan kaki. Apalagi di sini udaranya enak banget. Adem, sejuk.""Ya sudah. Tapi kala
Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang."Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli."Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang."Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu.""Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.🌺🌺🌺Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Eungh." Aku bergumam pelan, menggeliat malas saat merasakan sentuhan lembut beberapa kali di pipi.Tanpa mengindahkan sentuhan itu, aku malah semakin merapatkan selimut dan memeluk guling erat. Cukup lama menghabiskan waktu bersama Mas Widi tadi, membuat mata ini enggan untuk terbuka.Namun, lagi-lagi tidurku terganggu dan bergidik geli ketika merasakan tiupan di dekat telinga."Bangun, Sayang," bisiknya lembut.Aku berbalik, mengucek mata yang masih terasa lengket dan mendapati Mas Widi sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum. Senyum manis dengan kedua tangannya memegang kue ulang tahun berukuran kecil tanpa lilin."Mas ...." Aku beranjak bangun, lalu duduk bersandar kepala ranjang."Memilikimu adalah hal terbaik yang enggak akan rela mas tukar dengan apa pun. Terima kasih sudah menjadi duniaku, Istriku Sayang. Selamat ulang tahun."
"Rumah ini 'kan kosong. Kok, rapi dan bersih, Mas?" tanyaku seraya duduk di tepi ranjang. Sementara, Mas Widi tengah berbaring miring sembari menepuk-nepuk pantat Alan yang sempat terbangun dari tidurnya."Kan, seminggu sekali ada yang bersihin, Sayang. Aku udah bayar orang untuk merawat rumah ini. Kalau enggak begitu, nanti lama-lama rumahnya bisa hancur dan rusak.""Ooh." Aku mengangguk paham."Kamu kalau mau buat sesuatu bisa langsung ke dapur, Sayang. Mas udah minta tolong sama yang merawat rumah ini supaya siapin kebutuhan dari dua hari yang lalu.""Iyakah?"
"Papa, janais.""Apa katanya, Nur?" tanya Mama."Papa jangan nangis katanya, Ma," jelasku."Enggak. Papa ... papa enggak nangis, kok." Mas Aldi tersenyum, tapi air matanya masih belum bisa berhenti menetes di pipi."Alan sayang Papa?" tanya Mama seraya mengusap kepalanya."Cayang," jawabnya dengan riang. "Papa uwa," imbuhnya sembari mengangkat jari-jari mungilnya, lalu menatap Mas Widi yang berdiri di samping Mas Aldi."Iya, papa Alan ada dua," kataku seraya
"Masuklah," ucap Mama pelan.Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Mas Aldi dengan hati-hati. Melihatnya duduk termenung di dekat jendela membuat tubuh ini meremang. Aku sungguh tak tega hingga harus berhenti melangkah lagi saat air mata ini tak mampu ditahan."Ma," panggil Mas Aldi. "Aku lupa simpan foto Alan di mana. Bisa Mama bantu aku cariin fotonya?"Ya Allah ....Aku membekap mulut, lalu kembali melangkah dengan Mas Widi yang merangkul bahu ini. Seolah paham, Alan pun hanya diam saja ketika kuisyaratkan agar tidak bersuara."Ma," panggilnya lagi.Aku mengangguk. Memberi isyarat pada Mas Widi agar mendekatkan Alan padanya."Ma, foto Al ...." Mas Aldi seketika membeku saat tangan mungil Alan menyentuh pipinya yang sudah ditumbuhi jambang. Begitu pun ketika Alan sudah didudukkan di pangkuan. Mas Aldi masih terpaku, tapi matanya berembun."Papa?" panggil Alan dengan suara khas anak kecil.Air mata Mas Aldi seketika bercucuran dengan tangannya yang bergerak perlahan menyusuri tubu
Aku kembali terisak di pelukan Mas Widi ketika pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Aku ... aku berdosa, Mas," lirihku dengan hati yang berdenyut nyeri. "Aku berdosa karena sudah berburuk sangka sama Mas Aldi. Aku ... aku ....""Ssstt." Mas Widi mengusap kepalaku dan mengeratkan dekapannya. "Kamu enggak sepenuhnya salah. Kalau saja Aldi jujur, kamu atau siapa pun juga pasti enggak akan berpikir negatif.""Aku harus tanya Mama. Aku mau tahu kenapa Mas Aldi bisa seperti itu," lirihku seraya mengurai pelukan.Mas Widi mengusap lembut air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Kita akan tanyakan
Mama sehat, kan?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Alhamdulillah mama sehat," jawabnya seraya menyeka air mata. "Maaf mama sama Papa enggak bisa datang ke pernikahan kalian," sesalnya seraya menatapku dan Mas Widi bergantian."Enggak apa-apa, Ma. Doa Mama dan Papa juga udah cukup."Mama tersenyum, lalu beralih menatap Alan di pangkuan Mas Widi."Alan ... cucu Nenek." Air matanya kembali menetes."Aaah." Alan merengek dan langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Mas Widi ketika Mama hendak menggendong
"Cari siapa?" tanyanya sedikit ketus."Maaf, kami mencari Aldi. Dia tinggal di sini," jawab Mas Widi."Aldi? Aldi siapa?" Wanita itu malah terlihat bingung mendengar nama itu disebutkan.Kami saling melempar pandang, lalu kembali menatap wanita berkulit sawo matang itu."Mas Aldi yang punya rumah ini, Mbak," kataku."Pemilik rumah ini? Enak saja kalau bicara. Rumah ini punya suamiku!" sergahnya tidak terima."Boleh kami bicara dengan suaminya, Mbak?" tanya Mas Widi tenang."Sebentar," sahutnya ketus. "Mas! Mas Fikri!" Wanita itu berteriak kencang dan tak lama kemudian, muncul pria paruh baya dengan perutnya yang sedikit buncit."Ada apa, sih, Ma, teriak-teriak segala?""Nih, ada yang mau ketemu. Katanya mereka ini nyariin Aldi pemilik rumah ini. Lha, kan ini rumah milik Mas Fikri.""Aldi?" Pria bernama Fikri itu terlihat berpikir sejenak, lalu kembali menatap kami. "Oh, Aldi pemilik rumah ini sebelum kami, ya?"Pemilik sebelumnya?"Maksudnya?" tanyaku bingung."Iya. Rumah ini sudah sa
"Hari ini ke klinik atau masih gantiin teman Mas di rumah sakit?" tanyaku seraya menyendokkan nasi ke piringnya."Enggak dua-duanya," sahutnya, lalu meneguk sedikit air putih."Kok?""Iya, hari ini mas libur. Mas ambil cuti tiga hari ke depan.""Terus, yang tugas di klinik?" tanyaku seraya menarik satu kursi di sampingnya, lalu duduk."Ada teman yang gantiin jaga.""Ooh." Aku mengangguk paham, lalu menyendokkan nasi ke piring