Eni sudah pulang lebih dulu setelah mendapatkan bahan masakan yang dicarinya. Bermaksud ingin lebih lama menikmati segarnya udara di pagi hari, aku pun memutuskan pulang dengan melewati jalan yang berbeda. Menyusuri jalanan kecil kampung dengan kanan-kirinya diapit persawahan.Aku merapatkan cardigan yang melekat di tubuh. Pun balas melambai ketika melihat tetangga dekat rumah yang sedang mencangkul di sawah melambaikan tangannya ke sini. Memang tak semua warga kampung ini julid. Masih lebih banyak warga yang sangat baik dan ramah, juga peduli.Aku tersenyum melihat anak-anak kecil yang sedang bermain di kali di mana airnya masih sangat jernih. Dengan riangnya, mereka menangkap ikan-ikan kecil dari sana. Membuat pakaian dan celananya jadi basah terciprat air. Dulu, aku juga sering melakukan hal itu saat masih kecil dulu.Tiin, tiin, tiin!Langkah ini terhenti saat mendengar bunyi klakson motor beberapa kali dari arah belakang. Aku tersenyum pada Dokter Widi yang kini sudah berada tep
"Mas Aldi ....""Pantas aja kamu dengan gampangnya minta cerai. Udah ada cadangan rupanya." Dia tersenyum mengejek seraya menggeleng."Cadangan, cadangan. Memangnya onderdil motor!" tukasku ketus, kemudian berlalu pergi dari hadapannya."Terus, itu tadi siapa? Mantan kamu? Jangan-jangan ... selama ini kamu juga berhubungan sama mantan, ya? Kamu pura-pura marah buat menutupi kesalahan sendiri. Ngaku, Dek!" tudingnya seraya menyejajari langkahku.Aku menoleh. Menatap tajam seraya menggertakkan gigi menahan kesal."Apa? Memang kenyataannya begitu, kan? Ngaku aja biar kita impas!""Kalau iya, kenapa? Mantan aku atau bukan, itu bukan urusan Mas Aldi!""Jelas itu urusanku!" Mas Aldi mencekal lengan atasku saat hendak melangkah pergi meninggalkannya. "Aku ini suamimu, Dek. Kamu istriku!""Sakit!" Aku melepas paksa cekalannya di lengan. "Sejak kapan Mas mengakui aku sebagai istri? Bukannya selama ini hanya dianggap pembantu dan pelacur?" Aku tersenyum sinis."Dek!" Mas Aldi melotot tajam. "Ng
Aku dan Ibu mengobrol santai soal acara sunatan masal yang akan diselenggarakan di desa ini. Tentu saja dengan Dokter Widi yang menjadi penanggung semua biayanya. Ibu dan Bu Ikah diberi tugas sebagai penanggungjawab konsumsi untuk warga dan panitia nanti."Nur ... apa kamu enggak kasihan sama Aldi?" tanya Ibu lembut."Kenapa harus kasihan? Memangnya Mas Aldi kenapa?" tanyaku santai."Kelihatan enggak keurusnya sejak kamu pergi, Nur. Perhatikan saja sama kamu. Kemeja yang dipakainya saja kusut begitu," jelas Ibu dengan tenang. "Katanya, Aldi pas pulang kerja langsung ngebujuk temannya biar dikasih pinjam mobil. Itu juga baru dikasih pas tengah malam lewat karena dipakai temannya dulu."Aku diam."Nur ....""Yang harus dikasihani itu aku, Bu. Bukan Mas Aldi. Selama pernikahan, aku cuma dianggap pembantu dan teman tidurnya doang. Gimana kalau Bapak
Aku menunduk sebentar demi menyembunyikan senyum geli."Bapak," tegur Ibu."Anu, Pak .... Itu ... aku ....""Anu, anu. Anunya apa?" sahut Bapak cepat seraya berjalan mendekati kami."Anunya aku, Pak. Eh? Apa, sih, ini mulut?" Mas Aldi memukul mulutnya sendiri.Ketiganya serempak menoleh saat mendengar gelak tawaku yang tak bisa ditahan lagi. Baru kali ini aku melihat Mas Aldi terlihat sangat konyol. Selain kelembutan dan perhatian yang ternyata ditunjukkan untuk menutupi perasaaannya pada sang mantan, dia juga biasanya keras kepala."Nur," tegur Ibu dengan raut wajah tak enak.Aku melirik Mas Aldi yang menunduk, tapi itu tak berhasil menyembunyikan wajahnya yang memerah."Aduh, aduh. Aku harus ke kamar mandi dulu, Bu," keluhku seraya berusaha meredam tawa. "Jadi kebelet gara-gara ketawa," ujarku seraya berusaha berdiri dengan dibantu Bapak."Hati-hati lantainya licin, Nur," kata Ibu."Iya," jawabku sesaat sebelum pintu kamar mandi ditutup.Aku menghela napas lega setelah menuntaskan d
Aku menyentak napas kasar. Hendak bergeser menjauh, tapi Mas Aldi menahanku. Membuat tatapan kami saling bertemu."Mau bicara apa lagi?" tanyaku seraya memutus kontak mata dengan memalingkan wajah."Ayo kita pulang, Dek," ajaknya seraya meraih satu tangan ini dan menggenggamnya.Aku menoleh dan berusaha menarik kembali tangan ini, tapi Mas Aldi menahannya."Mas udah dengar jawabanku tadi, kan? Aku enggak mau pulang. Aku nyaman di sini, Mas. Pikiranku bebas dan tenang," jawabku santai."Rumah sepi, Dek. Mas baru sadar, kehadiranmu di hidup m
Selepas kepergian Mas Aldi, aku merenungkan semua perkataannya di kamar sembari melihat satu per satu foto kami di galeri ponsel. Ada yang berdesir perih di dalam dada. Baru tersadar kalau setiap kali kami mengambil foto, selalu aku yang merangkul dan menyentuh. Tangan Mas Aldi tak pernah membalas. Bahkan, hanya untuk sekadar menggenggam tangan ini pun tidak. Kedua tangannya selalu masuk ke saku celana atau terlipat di dada."Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?" lirihku menahan sakitnya hati seperti diremas-remas.Telunjuk bersiap menekan tombol hapus, tapi ragu. Kutarik kembali sambil terisak memandangi fotoku yang tersenyum bahagia seraya menyandarkan kepala di bahunya."Bodohnya kamu, Nurma. Bodoh." Aku merutuki diri sendiri seraya memukul-mukul kepala."Nur!"Aku terkesiap mendengar suara Ibu seiring ketukannya. Lekas kuhapus jejak-jejak air mata di wajah, meletakkan ponsel di nakas, lalu melangkah menuju pintu."Bu," gumamku setelah pintu terbuka. Menampilkan sosok Ibu yang me
Gerakan tanganku yang sedang mengelap piring pun terhenti sejenak, kemudian mengangguk pelan. Ragu."Syukurlah kalau sudah ada kepastian. Biar kamu juga lebih tenang dan bisa siap-siap."Aku mengangguk."Ngomong-ngomong, kenapa anak dan istri pak dokter enggak diajak pindah ke sini juga?" tanyaku penasaran.Dokter Widi menaikkan satu alis tebalnya disusul satu sudut bibir yang tertarik ke atas."Kelihatan, ya?" Dia mengulum senyum seraya menyugar rambut cokelatnya."Apanya yang kehilatan, Dok?" tanyaku bingung.Dokter Widi berdehem pelan, lalu menyandarkan punggung dengan kedua kaki terjulur ke depan sambil melipat kedua tangan di dada."Kelihatan sudah tuanya." Dia menoleh sekilas. Tersenyum menampilkan gigi putih yang berjejer rapi, lalu kembali membuang pandangannya pada Bapak-Bapak yang masih kerja ba
Mama yang sedang duduk di kursi dekat brankar pun menoleh. Meletakkan ponsel di atas nakas, lalu bergegas menghampiri kami."Nur ...." Mama menyebutku lirih seraya menyeka air matanya."Bagaimana ceritanya Aldi bisa kecelakaan?" tanya Ibu."Mari saya ceritakan di luar," ujar Mama."Nur," panggil Bapak padaku yang terpaku memandang Mas Aldi yang terbaring dengan perban di kepala. Seribu penyesalan mengungkung dada. Merasa ikut andil menjadi penyebab dia kecelakaan.Aku ikut kembali ke luar ruangan bersama mereka, lalu duduk di bangku dekat ruangan tersebut. Mama mulai bercerita kalau pagi tadi, Mas Aldi dapat tugas ke luar kota. Rekan kerjanya pun sama-sama dirawat di rumah sakit ini, tapi tidak parah. Rekan kerjanya juga mengatakan kalau Mas Aldi sering terlihat tidak fokus saat menyetir. Hingga pada akhirnya, berujung mobil yang dikendarai terhenti karena menabrak pembatas tol.Mendengar cerita itu membuat rasa penyesalan ini semakin menguat. Mungkin saja Mas aldi tidak fokus karena