Aku dan Ibu mengobrol santai soal acara sunatan masal yang akan diselenggarakan di desa ini. Tentu saja dengan Dokter Widi yang menjadi penanggung semua biayanya. Ibu dan Bu Ikah diberi tugas sebagai penanggungjawab konsumsi untuk warga dan panitia nanti.
"Nur ... apa kamu enggak kasihan sama Aldi?" tanya Ibu lembut.
"Kenapa harus kasihan? Memangnya Mas Aldi kenapa?" tanyaku santai.
"Kelihatan enggak keurusnya sejak kamu pergi, Nur. Perhatikan saja sama kamu. Kemeja yang dipakainya saja kusut begitu," jelas Ibu dengan tenang. "Katanya, Aldi pas pulang kerja langsung ngebujuk temannya biar dikasih pinjam mobil. Itu juga baru dikasih pas tengah malam lewat karena dipakai temannya dulu."
Aku diam.
"Nur ...."
"Yang harus dikasihani itu aku, Bu. Bukan Mas Aldi. Selama pernikahan, aku cuma dianggap pembantu dan teman tidurnya doang. Gimana kalau Bapak
Aku menunduk sebentar demi menyembunyikan senyum geli."Bapak," tegur Ibu."Anu, Pak .... Itu ... aku ....""Anu, anu. Anunya apa?" sahut Bapak cepat seraya berjalan mendekati kami."Anunya aku, Pak. Eh? Apa, sih, ini mulut?" Mas Aldi memukul mulutnya sendiri.Ketiganya serempak menoleh saat mendengar gelak tawaku yang tak bisa ditahan lagi. Baru kali ini aku melihat Mas Aldi terlihat sangat konyol. Selain kelembutan dan perhatian yang ternyata ditunjukkan untuk menutupi perasaaannya pada sang mantan, dia juga biasanya keras kepala."Nur," tegur Ibu dengan raut wajah tak enak.Aku melirik Mas Aldi yang menunduk, tapi itu tak berhasil menyembunyikan wajahnya yang memerah."Aduh, aduh. Aku harus ke kamar mandi dulu, Bu," keluhku seraya berusaha meredam tawa. "Jadi kebelet gara-gara ketawa," ujarku seraya berusaha berdiri dengan dibantu Bapak."Hati-hati lantainya licin, Nur," kata Ibu."Iya," jawabku sesaat sebelum pintu kamar mandi ditutup.Aku menghela napas lega setelah menuntaskan d
Aku menyentak napas kasar. Hendak bergeser menjauh, tapi Mas Aldi menahanku. Membuat tatapan kami saling bertemu."Mau bicara apa lagi?" tanyaku seraya memutus kontak mata dengan memalingkan wajah."Ayo kita pulang, Dek," ajaknya seraya meraih satu tangan ini dan menggenggamnya.Aku menoleh dan berusaha menarik kembali tangan ini, tapi Mas Aldi menahannya."Mas udah dengar jawabanku tadi, kan? Aku enggak mau pulang. Aku nyaman di sini, Mas. Pikiranku bebas dan tenang," jawabku santai."Rumah sepi, Dek. Mas baru sadar, kehadiranmu di hidup m
Selepas kepergian Mas Aldi, aku merenungkan semua perkataannya di kamar sembari melihat satu per satu foto kami di galeri ponsel. Ada yang berdesir perih di dalam dada. Baru tersadar kalau setiap kali kami mengambil foto, selalu aku yang merangkul dan menyentuh. Tangan Mas Aldi tak pernah membalas. Bahkan, hanya untuk sekadar menggenggam tangan ini pun tidak. Kedua tangannya selalu masuk ke saku celana atau terlipat di dada."Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?" lirihku menahan sakitnya hati seperti diremas-remas.Telunjuk bersiap menekan tombol hapus, tapi ragu. Kutarik kembali sambil terisak memandangi fotoku yang tersenyum bahagia seraya menyandarkan kepala di bahunya."Bodohnya kamu, Nurma. Bodoh." Aku merutuki diri sendiri seraya memukul-mukul kepala."Nur!"Aku terkesiap mendengar suara Ibu seiring ketukannya. Lekas kuhapus jejak-jejak air mata di wajah, meletakkan ponsel di nakas, lalu melangkah menuju pintu."Bu," gumamku setelah pintu terbuka. Menampilkan sosok Ibu yang me
Gerakan tanganku yang sedang mengelap piring pun terhenti sejenak, kemudian mengangguk pelan. Ragu."Syukurlah kalau sudah ada kepastian. Biar kamu juga lebih tenang dan bisa siap-siap."Aku mengangguk."Ngomong-ngomong, kenapa anak dan istri pak dokter enggak diajak pindah ke sini juga?" tanyaku penasaran.Dokter Widi menaikkan satu alis tebalnya disusul satu sudut bibir yang tertarik ke atas."Kelihatan, ya?" Dia mengulum senyum seraya menyugar rambut cokelatnya."Apanya yang kehilatan, Dok?" tanyaku bingung.Dokter Widi berdehem pelan, lalu menyandarkan punggung dengan kedua kaki terjulur ke depan sambil melipat kedua tangan di dada."Kelihatan sudah tuanya." Dia menoleh sekilas. Tersenyum menampilkan gigi putih yang berjejer rapi, lalu kembali membuang pandangannya pada Bapak-Bapak yang masih kerja ba
Mama yang sedang duduk di kursi dekat brankar pun menoleh. Meletakkan ponsel di atas nakas, lalu bergegas menghampiri kami."Nur ...." Mama menyebutku lirih seraya menyeka air matanya."Bagaimana ceritanya Aldi bisa kecelakaan?" tanya Ibu."Mari saya ceritakan di luar," ujar Mama."Nur," panggil Bapak padaku yang terpaku memandang Mas Aldi yang terbaring dengan perban di kepala. Seribu penyesalan mengungkung dada. Merasa ikut andil menjadi penyebab dia kecelakaan.Aku ikut kembali ke luar ruangan bersama mereka, lalu duduk di bangku dekat ruangan tersebut. Mama mulai bercerita kalau pagi tadi, Mas Aldi dapat tugas ke luar kota. Rekan kerjanya pun sama-sama dirawat di rumah sakit ini, tapi tidak parah. Rekan kerjanya juga mengatakan kalau Mas Aldi sering terlihat tidak fokus saat menyetir. Hingga pada akhirnya, berujung mobil yang dikendarai terhenti karena menabrak pembatas tol.Mendengar cerita itu membuat rasa penyesalan ini semakin menguat. Mungkin saja Mas aldi tidak fokus karena
Aku menoleh. Ibu, Bapak, Mama dan Papa masuk ke ruangan ini."Jangan diganggu dulu. Nanti malah tambah parah gimana?" larang Ibu."Enggak, Bu. Mas Aldi keadaannya enggak parah, kok," kataku."Maksudnya, Nur?" tanya Bapak dengan kening berkerut."Maaf sebelumnya, ya, Pak, Bu. Kamu juga Nur. Mama enggak bermaksud buat kalian panik dengan membuat kebohongan. Mama cuma mau kalian kembali baikkan. Siapa tahu cara itu berhasil. Eh, ternyata benar." Mama tersenyum senang, begitu juga dengan Papa.Aku menatap Bapak. Jangankan senyum, raut wajah tak bersahabatnya malah kembali diperlihatkan."Pak," panggilku, tapi Bapak tak menoleh."Maksud Ibu apa? Bohong gimana?" desak Bapak. Ada nada kekesalan pada ucapannya."Itu, Pak. Soal keadaan Aldi yang kritis. Sebenarnya, Aldi hanya mendapat luka ringan di kepala dan kak
Dikarenakan luka yang tidak terlalu parah, Mas Aldi pun diperbolehkan pulang. Begitu juga dengan teman kerjanya. Semua biaya rumah sakit ditanggung pihak perusahaan. Dokter kembali mengingatkan kalau dia tak boleh mengangkat yang berat-berat dulu ataupun berlari.Luka di pergelangan kakinya membuat Mas Aldi harus berjalan perlahan dan terpincang-pincang. Dia berjalan menuju parkiran dipapah oleh Papa. Sementara, Mama berjalan sambil berbincang dengan Ibu. Aku sendiri berada di barisan paling belakang bersama Bapak yang sedari tadi diam. Saat kutanya ada apa, Bapak hanya menjawab dengan senyuman.Sesampainya di rumah, kami berkumpul di ruang keluarga. Papa dan Mama mengobrol serius dengan kedua orangtuaku. Mereka juga meminta maaf kembali atas semua kejadian yang diakibatkan keluarganya, terutama Mas Aldi.Hubungan kedua keluarga kembali membaik walau Bapak masih terlihat belum sepenuhnya akrab seperti dulu. Di hadapan kedua keluarga, Mas Aldi kembali mengatakan permohonan maafnya atas
"Eh, Mas Aldi?"Lidya, sosok sang mantan yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam rumah tangga kami ada di sini. Sosok yang menjadi batu sandungan untuk keharmonisan rumah tangga ini.Kulirik Mas Aldi. Hati memanas melihatnya tertegun menatap wanita itu tanpa kedip. Membuat kedua tanganku spontan mencengkeram erat lengan sofa ini."Kebetulan, ya, kita ketemu di sini," ujar Lidya dengan melempar senyum ramahnya padaku dan Mas Aldi.Hening. Pria yang belum lama berbaikan denganku itu hanya diam terpaku di tempat."Iya. Kebetulan yang sangat enggak terduga." Aku menyahut santai walau ada yang bergejolak di dalam dada. Terpaksa menanggapi perkataan Lidya karena Mas Aldi seolah kehilangan jiwa walau raganya di sini."Lagi cari keperluan bayi, ya?" tanya Lidya ramah. Dia beralih menatapku setelah tak mendapatkan respon dari Mas Aldi."Iya." Aku tersenyum tipis."Udah berapa bulan?" Lidya menatap ke arah perutku."Udah masuk bulannya." Aku tetap menjawab ramah walau rasanya ingin segera p
Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang."Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli."Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang."Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu.""Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.🌺🌺🌺Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Eungh." Aku bergumam pelan, menggeliat malas saat merasakan sentuhan lembut beberapa kali di pipi.Tanpa mengindahkan sentuhan itu, aku malah semakin merapatkan selimut dan memeluk guling erat. Cukup lama menghabiskan waktu bersama Mas Widi tadi, membuat mata ini enggan untuk terbuka.Namun, lagi-lagi tidurku terganggu dan bergidik geli ketika merasakan tiupan di dekat telinga."Bangun, Sayang," bisiknya lembut.Aku berbalik, mengucek mata yang masih terasa lengket dan mendapati Mas Widi sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum. Senyum manis dengan kedua tangannya memegang kue ulang tahun berukuran kecil tanpa lilin."Mas ...." Aku beranjak bangun, lalu duduk bersandar kepala ranjang."Memilikimu adalah hal terbaik yang enggak akan rela mas tukar dengan apa pun. Terima kasih sudah menjadi duniaku, Istriku Sayang. Selamat ulang tahun."
"Rumah ini 'kan kosong. Kok, rapi dan bersih, Mas?" tanyaku seraya duduk di tepi ranjang. Sementara, Mas Widi tengah berbaring miring sembari menepuk-nepuk pantat Alan yang sempat terbangun dari tidurnya."Kan, seminggu sekali ada yang bersihin, Sayang. Aku udah bayar orang untuk merawat rumah ini. Kalau enggak begitu, nanti lama-lama rumahnya bisa hancur dan rusak.""Ooh." Aku mengangguk paham."Kamu kalau mau buat sesuatu bisa langsung ke dapur, Sayang. Mas udah minta tolong sama yang merawat rumah ini supaya siapin kebutuhan dari dua hari yang lalu.""Iyakah?"
"Papa, janais.""Apa katanya, Nur?" tanya Mama."Papa jangan nangis katanya, Ma," jelasku."Enggak. Papa ... papa enggak nangis, kok." Mas Aldi tersenyum, tapi air matanya masih belum bisa berhenti menetes di pipi."Alan sayang Papa?" tanya Mama seraya mengusap kepalanya."Cayang," jawabnya dengan riang. "Papa uwa," imbuhnya sembari mengangkat jari-jari mungilnya, lalu menatap Mas Widi yang berdiri di samping Mas Aldi."Iya, papa Alan ada dua," kataku seraya
"Masuklah," ucap Mama pelan.Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Mas Aldi dengan hati-hati. Melihatnya duduk termenung di dekat jendela membuat tubuh ini meremang. Aku sungguh tak tega hingga harus berhenti melangkah lagi saat air mata ini tak mampu ditahan."Ma," panggil Mas Aldi. "Aku lupa simpan foto Alan di mana. Bisa Mama bantu aku cariin fotonya?"Ya Allah ....Aku membekap mulut, lalu kembali melangkah dengan Mas Widi yang merangkul bahu ini. Seolah paham, Alan pun hanya diam saja ketika kuisyaratkan agar tidak bersuara."Ma," panggilnya lagi.Aku mengangguk. Memberi isyarat pada Mas Widi agar mendekatkan Alan padanya."Ma, foto Al ...." Mas Aldi seketika membeku saat tangan mungil Alan menyentuh pipinya yang sudah ditumbuhi jambang. Begitu pun ketika Alan sudah didudukkan di pangkuan. Mas Aldi masih terpaku, tapi matanya berembun."Papa?" panggil Alan dengan suara khas anak kecil.Air mata Mas Aldi seketika bercucuran dengan tangannya yang bergerak perlahan menyusuri tubu
Aku kembali terisak di pelukan Mas Widi ketika pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Aku ... aku berdosa, Mas," lirihku dengan hati yang berdenyut nyeri. "Aku berdosa karena sudah berburuk sangka sama Mas Aldi. Aku ... aku ....""Ssstt." Mas Widi mengusap kepalaku dan mengeratkan dekapannya. "Kamu enggak sepenuhnya salah. Kalau saja Aldi jujur, kamu atau siapa pun juga pasti enggak akan berpikir negatif.""Aku harus tanya Mama. Aku mau tahu kenapa Mas Aldi bisa seperti itu," lirihku seraya mengurai pelukan.Mas Widi mengusap lembut air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Kita akan tanyakan
Mama sehat, kan?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Alhamdulillah mama sehat," jawabnya seraya menyeka air mata. "Maaf mama sama Papa enggak bisa datang ke pernikahan kalian," sesalnya seraya menatapku dan Mas Widi bergantian."Enggak apa-apa, Ma. Doa Mama dan Papa juga udah cukup."Mama tersenyum, lalu beralih menatap Alan di pangkuan Mas Widi."Alan ... cucu Nenek." Air matanya kembali menetes."Aaah." Alan merengek dan langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Mas Widi ketika Mama hendak menggendong
"Cari siapa?" tanyanya sedikit ketus."Maaf, kami mencari Aldi. Dia tinggal di sini," jawab Mas Widi."Aldi? Aldi siapa?" Wanita itu malah terlihat bingung mendengar nama itu disebutkan.Kami saling melempar pandang, lalu kembali menatap wanita berkulit sawo matang itu."Mas Aldi yang punya rumah ini, Mbak," kataku."Pemilik rumah ini? Enak saja kalau bicara. Rumah ini punya suamiku!" sergahnya tidak terima."Boleh kami bicara dengan suaminya, Mbak?" tanya Mas Widi tenang."Sebentar," sahutnya ketus. "Mas! Mas Fikri!" Wanita itu berteriak kencang dan tak lama kemudian, muncul pria paruh baya dengan perutnya yang sedikit buncit."Ada apa, sih, Ma, teriak-teriak segala?""Nih, ada yang mau ketemu. Katanya mereka ini nyariin Aldi pemilik rumah ini. Lha, kan ini rumah milik Mas Fikri.""Aldi?" Pria bernama Fikri itu terlihat berpikir sejenak, lalu kembali menatap kami. "Oh, Aldi pemilik rumah ini sebelum kami, ya?"Pemilik sebelumnya?"Maksudnya?" tanyaku bingung."Iya. Rumah ini sudah sa
"Hari ini ke klinik atau masih gantiin teman Mas di rumah sakit?" tanyaku seraya menyendokkan nasi ke piringnya."Enggak dua-duanya," sahutnya, lalu meneguk sedikit air putih."Kok?""Iya, hari ini mas libur. Mas ambil cuti tiga hari ke depan.""Terus, yang tugas di klinik?" tanyaku seraya menarik satu kursi di sampingnya, lalu duduk."Ada teman yang gantiin jaga.""Ooh." Aku mengangguk paham, lalu menyendokkan nasi ke piring