Gerakan tanganku yang sedang mengelap piring pun terhenti sejenak, kemudian mengangguk pelan. Ragu.
"Syukurlah kalau sudah ada kepastian. Biar kamu juga lebih tenang dan bisa siap-siap."
Aku mengangguk.
"Ngomong-ngomong, kenapa anak dan istri pak dokter enggak diajak pindah ke sini juga?" tanyaku penasaran.
Dokter Widi menaikkan satu alis tebalnya disusul satu sudut bibir yang tertarik ke atas.
"Kelihatan, ya?" Dia mengulum senyum seraya menyugar rambut cokelatnya.
"Apanya yang kehilatan, Dok?" tanyaku bingung.
Dokter Widi berdehem pelan, lalu menyandarkan punggung dengan kedua kaki terjulur ke depan sambil melipat kedua tangan di dada.
"Kelihatan sudah tuanya." Dia menoleh sekilas. Tersenyum menampilkan gigi putih yang berjejer rapi, lalu kembali membuang pandangannya pada Bapak-Bapak yang masih kerja ba
Mama yang sedang duduk di kursi dekat brankar pun menoleh. Meletakkan ponsel di atas nakas, lalu bergegas menghampiri kami."Nur ...." Mama menyebutku lirih seraya menyeka air matanya."Bagaimana ceritanya Aldi bisa kecelakaan?" tanya Ibu."Mari saya ceritakan di luar," ujar Mama."Nur," panggil Bapak padaku yang terpaku memandang Mas Aldi yang terbaring dengan perban di kepala. Seribu penyesalan mengungkung dada. Merasa ikut andil menjadi penyebab dia kecelakaan.Aku ikut kembali ke luar ruangan bersama mereka, lalu duduk di bangku dekat ruangan tersebut. Mama mulai bercerita kalau pagi tadi, Mas Aldi dapat tugas ke luar kota. Rekan kerjanya pun sama-sama dirawat di rumah sakit ini, tapi tidak parah. Rekan kerjanya juga mengatakan kalau Mas Aldi sering terlihat tidak fokus saat menyetir. Hingga pada akhirnya, berujung mobil yang dikendarai terhenti karena menabrak pembatas tol.Mendengar cerita itu membuat rasa penyesalan ini semakin menguat. Mungkin saja Mas aldi tidak fokus karena
Aku menoleh. Ibu, Bapak, Mama dan Papa masuk ke ruangan ini."Jangan diganggu dulu. Nanti malah tambah parah gimana?" larang Ibu."Enggak, Bu. Mas Aldi keadaannya enggak parah, kok," kataku."Maksudnya, Nur?" tanya Bapak dengan kening berkerut."Maaf sebelumnya, ya, Pak, Bu. Kamu juga Nur. Mama enggak bermaksud buat kalian panik dengan membuat kebohongan. Mama cuma mau kalian kembali baikkan. Siapa tahu cara itu berhasil. Eh, ternyata benar." Mama tersenyum senang, begitu juga dengan Papa.Aku menatap Bapak. Jangankan senyum, raut wajah tak bersahabatnya malah kembali diperlihatkan."Pak," panggilku, tapi Bapak tak menoleh."Maksud Ibu apa? Bohong gimana?" desak Bapak. Ada nada kekesalan pada ucapannya."Itu, Pak. Soal keadaan Aldi yang kritis. Sebenarnya, Aldi hanya mendapat luka ringan di kepala dan kak
Dikarenakan luka yang tidak terlalu parah, Mas Aldi pun diperbolehkan pulang. Begitu juga dengan teman kerjanya. Semua biaya rumah sakit ditanggung pihak perusahaan. Dokter kembali mengingatkan kalau dia tak boleh mengangkat yang berat-berat dulu ataupun berlari.Luka di pergelangan kakinya membuat Mas Aldi harus berjalan perlahan dan terpincang-pincang. Dia berjalan menuju parkiran dipapah oleh Papa. Sementara, Mama berjalan sambil berbincang dengan Ibu. Aku sendiri berada di barisan paling belakang bersama Bapak yang sedari tadi diam. Saat kutanya ada apa, Bapak hanya menjawab dengan senyuman.Sesampainya di rumah, kami berkumpul di ruang keluarga. Papa dan Mama mengobrol serius dengan kedua orangtuaku. Mereka juga meminta maaf kembali atas semua kejadian yang diakibatkan keluarganya, terutama Mas Aldi.Hubungan kedua keluarga kembali membaik walau Bapak masih terlihat belum sepenuhnya akrab seperti dulu. Di hadapan kedua keluarga, Mas Aldi kembali mengatakan permohonan maafnya atas
"Eh, Mas Aldi?"Lidya, sosok sang mantan yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam rumah tangga kami ada di sini. Sosok yang menjadi batu sandungan untuk keharmonisan rumah tangga ini.Kulirik Mas Aldi. Hati memanas melihatnya tertegun menatap wanita itu tanpa kedip. Membuat kedua tanganku spontan mencengkeram erat lengan sofa ini."Kebetulan, ya, kita ketemu di sini," ujar Lidya dengan melempar senyum ramahnya padaku dan Mas Aldi.Hening. Pria yang belum lama berbaikan denganku itu hanya diam terpaku di tempat."Iya. Kebetulan yang sangat enggak terduga." Aku menyahut santai walau ada yang bergejolak di dalam dada. Terpaksa menanggapi perkataan Lidya karena Mas Aldi seolah kehilangan jiwa walau raganya di sini."Lagi cari keperluan bayi, ya?" tanya Lidya ramah. Dia beralih menatapku setelah tak mendapatkan respon dari Mas Aldi."Iya." Aku tersenyum tipis."Udah berapa bulan?" Lidya menatap ke arah perutku."Udah masuk bulannya." Aku tetap menjawab ramah walau rasanya ingin segera p
Semakin malam, keadaan mal ini malah semakin ramai oleh pengunjung. Mas Aldi pamit ke toilet dulu. Aku menolak ikut dan memilih duduk menunggunya di tembok pembatas parkiran."Nurma?"Aku menoleh. Spontan menghela napas berat mendapati wanita yang sangat tidak ingin kutemui malah mendekat lagi.Sesempit ini ternyata dunia, eh? Mal."Kirain udah pulang." Dengan santainya dia ikut duduk di sampingku yang sebenarnya merasa risih harus kembali bertemu."Mas Aldi lagi ke toilet dulu," jawabku tanpa menatapnya."Oh, gitu. Kalian ke sini naik apa? Enggak mungkin 'kan kamu lagi hamil besar begini diajak naik motor." Dia tertawa kecil."Naik taksi, kok," sahutku cuek."Mau kuantar pulang sekalian enggak? Aku enggak tega lihat kamu. Aku ke sini bawa mobil sendiri, lho. Yuk!" ajaknya ramah, tapi justru terd
Aku menoleh. Mas Aldi berdiri tak jauh dari kami. Dia sempat melirik pada Lidya, lalu bergegas menghampiriku yang tengah merasakan kepala dan hati ini panas seperti hendak meledak."Ada apa?" tanyanya lembut. Ada kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah dan nada bicaranya."Enggak ada apa-apa, kok, Mas. Aku cuma say hai aja sekalian ngobrol sebentar. Tadi di dalam toko 'kan enggak sempat. Iya 'kan, Nur?" Lidya menyahuti pertanyaan Mas Aldi. Menatapku dengan senyuman.Aku diam dengan tatapan datar mengarah padanya."Istri kamu memang cantik, Mas. Dia juga baik. Kamu beruntung punya istri sebaik Nurma. Jaga dia baik-baik, ya. Jangan sampai kamu menyesal setelah kehilangannya," ujar Lidya dengan suara dan senyuman lembut.Aku menggeram dalam hati seiring kedua tangan yang mengepal kuat di pangkuan."Iya," Jawab Mas Aldi singkat.Dia hanya menatap wanita itu sekilas, lalu segera membuang mukanya lagi menatapku. Dia tersenyum, tapi tak berhasil menyembunyikan kegelisahan yang tergambar j
Kutinggalkan Mas Aldi yang melanjutkan makan sendirian. Sementara, aku memilih menemui Ibu di kamarnya."Masuk, Nur!" sahut Ibu saat aku memanggil seraya mengetuk pintu."Ibu belum tidur?" tanyaku setelah masuk dan menutup pintunya kembali."Belum. Sini." Ibu menepuk-nepuk pahanya.Aku tersenyum, lalu mempercepat langkah. Naik ke ranjang dan berbaring dengan kepalaku yang berada di pangkuannya."Kalian berantem lagi? Suara Aldi yang manggilin kamu sampai kedengeran ke sini, lho," kata Ibu seraya mengusap-usap rambutku."Enggak, Bu. Tapi barusan Mas Aldi udah bikin aku kesel.""Memangnya Aldi ngapain kamu?""Tadi 'kan Bapak telepon, Bu. Tapi pakai hapenya Dokter Widi. Kata Bapak, hape jadulnya itu lagi diservis dulu. Terus, aku disuruh kabarin ke nomornya Dokter Widi aja kalau ada apa-apa untuk sementara w
Sudah satu hari Bapak tinggal bersama kami. Rencananya akan datang seminggu lagi, tapi nyatanya dipercepat karena khawatir tak bisa ikut menjadi saksi proses kelahiran cucunya."Wah, lihat masakan Ibu aku jadi tambah lapar," pujiku seraya mendekati Ibu dan Bapak yang sudah lebih dulu duduk di meja makan."Memang ibu sengaja masakin ini buat kamu. Ayo makan." Ibu tersenyum.Aku mengangguk, lalu menarik satu kursi dan duduk."Aldi pulang malam lagi, Nur?" tanya Ibu saat aku sedang menyendokkan lauk ke piring."Iya, Bu. Tadi sore udah ngabarin dulu. Kayak biasa. Paling jam delapan atau jam sembilanan pulangnya.""Akhir-akhir ini Aldi sering sekali lembur, Nur," ujar Ibu lagi.Aku hanya tersenyum, lalu mulai menikmati makan malam tanpa memberikan tanggapan atas perkataannya barusan.Hampir seminggu ini, Mas Aldi selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hampir setiap hari juga pulang telat karena lembur yang dibebankan perusahaan. Dia memang tak pernah lupa memberikan perhatian melalui pesan yang