Semakin malam, keadaan mal ini malah semakin ramai oleh pengunjung. Mas Aldi pamit ke toilet dulu. Aku menolak ikut dan memilih duduk menunggunya di tembok pembatas parkiran.
"Nurma?"
Aku menoleh. Spontan menghela napas berat mendapati wanita yang sangat tidak ingin kutemui malah mendekat lagi.
Sesempit ini ternyata dunia, eh? Mal.
"Kirain udah pulang." Dengan santainya dia ikut duduk di sampingku yang sebenarnya merasa risih harus kembali bertemu.
"Mas Aldi lagi ke toilet dulu," jawabku tanpa menatapnya.
"Oh, gitu. Kalian ke sini naik apa? Enggak mungkin 'kan kamu lagi hamil besar begini diajak naik motor." Dia tertawa kecil.
"Naik taksi, kok," sahutku cuek.
"Mau kuantar pulang sekalian enggak? Aku enggak tega lihat kamu. Aku ke sini bawa mobil sendiri, lho. Yuk!" ajaknya ramah, tapi justru terd
Aku menoleh. Mas Aldi berdiri tak jauh dari kami. Dia sempat melirik pada Lidya, lalu bergegas menghampiriku yang tengah merasakan kepala dan hati ini panas seperti hendak meledak."Ada apa?" tanyanya lembut. Ada kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah dan nada bicaranya."Enggak ada apa-apa, kok, Mas. Aku cuma say hai aja sekalian ngobrol sebentar. Tadi di dalam toko 'kan enggak sempat. Iya 'kan, Nur?" Lidya menyahuti pertanyaan Mas Aldi. Menatapku dengan senyuman.Aku diam dengan tatapan datar mengarah padanya."Istri kamu memang cantik, Mas. Dia juga baik. Kamu beruntung punya istri sebaik Nurma. Jaga dia baik-baik, ya. Jangan sampai kamu menyesal setelah kehilangannya," ujar Lidya dengan suara dan senyuman lembut.Aku menggeram dalam hati seiring kedua tangan yang mengepal kuat di pangkuan."Iya," Jawab Mas Aldi singkat.Dia hanya menatap wanita itu sekilas, lalu segera membuang mukanya lagi menatapku. Dia tersenyum, tapi tak berhasil menyembunyikan kegelisahan yang tergambar j
Kutinggalkan Mas Aldi yang melanjutkan makan sendirian. Sementara, aku memilih menemui Ibu di kamarnya."Masuk, Nur!" sahut Ibu saat aku memanggil seraya mengetuk pintu."Ibu belum tidur?" tanyaku setelah masuk dan menutup pintunya kembali."Belum. Sini." Ibu menepuk-nepuk pahanya.Aku tersenyum, lalu mempercepat langkah. Naik ke ranjang dan berbaring dengan kepalaku yang berada di pangkuannya."Kalian berantem lagi? Suara Aldi yang manggilin kamu sampai kedengeran ke sini, lho," kata Ibu seraya mengusap-usap rambutku."Enggak, Bu. Tapi barusan Mas Aldi udah bikin aku kesel.""Memangnya Aldi ngapain kamu?""Tadi 'kan Bapak telepon, Bu. Tapi pakai hapenya Dokter Widi. Kata Bapak, hape jadulnya itu lagi diservis dulu. Terus, aku disuruh kabarin ke nomornya Dokter Widi aja kalau ada apa-apa untuk sementara w
Sudah satu hari Bapak tinggal bersama kami. Rencananya akan datang seminggu lagi, tapi nyatanya dipercepat karena khawatir tak bisa ikut menjadi saksi proses kelahiran cucunya."Wah, lihat masakan Ibu aku jadi tambah lapar," pujiku seraya mendekati Ibu dan Bapak yang sudah lebih dulu duduk di meja makan."Memang ibu sengaja masakin ini buat kamu. Ayo makan." Ibu tersenyum.Aku mengangguk, lalu menarik satu kursi dan duduk."Aldi pulang malam lagi, Nur?" tanya Ibu saat aku sedang menyendokkan lauk ke piring."Iya, Bu. Tadi sore udah ngabarin dulu. Kayak biasa. Paling jam delapan atau jam sembilanan pulangnya.""Akhir-akhir ini Aldi sering sekali lembur, Nur," ujar Ibu lagi.Aku hanya tersenyum, lalu mulai menikmati makan malam tanpa memberikan tanggapan atas perkataannya barusan.Hampir seminggu ini, Mas Aldi selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hampir setiap hari juga pulang telat karena lembur yang dibebankan perusahaan. Dia memang tak pernah lupa memberikan perhatian melalui pesan yang
"Mas sendiri kenapa belum tidur?" Aku balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar.Mas Aldi tak menjawab. Hanya semakin mengeratkan pelukan seraya menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku."Mas kenapa?" Aku memberanikan diri bertanya lagi."Kenapa apanya?" Dia balik bertanya pelan."Mas lagi ada masalah apa? Kalau ada masalah itu cerita sama aku, Mas. Jangan dipendam sendiri. Siapa tahu dengan cerita, bisa buat hati Mas sedikit lega." Aku mengubah posisi tidur menghadapnya."Enggak ada. Cuma masalah kerjaan di kantor, Dek. Laporan banyak yang salah," jawabnya seraya mengusap kepalaku."Tapi ...." Aku diam, ragu untuk melanjutkan ucapan.Aku tersenyum menatap wajah lelah itu. Walau dia tak mengatakannya, tapi sorot mata itu menyiratkan ada beban dan rasa sakit. Senyuman manis tak berhasil menyembunyikan
~POV Author~"Bapak! Itu Aldi, Pak! Itu Aldi!""Mana?" tanyanya seraya spontan melihat ke luar jendela. "Anak kurang ajar!" Ayah Nurma hendak keluar dari mobil, tapi sepeda motor Aldi sudah lebih dulu melaju karena kemacetan mulai terurai."Sudah, Pak. Biarkan saja. Kita bisa urus anak itu belakangan. Sekarang kita harus secepatnya sampai di rumah sakit. Keselamatan Nurma dan bayinya lebih penting," ujar istrinya.Dengan amarah yang masih menyelimuti, ayahnya Nurma kembali menutup pintu, dan mobil pun melaju dengan cepat membelah jalanan. Menyalip setiap kendaraan yang menghalangi jalan. Bahkan tak jarang klakson dibunyikan berulang-ulang untuk memberikan peringatan bagi kendaraan yang menghambat."Ya Allah, Aldi," lirih ibunya Nurma seraya terus menenangkan anaknya yang menangis tergugu. "Tenang, Nur. Enggak usah pikirin apa-apa dulu, ya. Nanti tensi kamu bisa naik drastis.""Ibu, sih, dari dulu belain si Aldi terus! Sudah bapak bilang kalau anak itu enggak bener! Dari awal bapak eng
Menyadari ada kemarahan di sana, Aldi tak lagi bertanya apa pun. Dia memilih diam dengan maksud tak ingin membuat mertuanya semakin marah.Beberapa menit setelah kedatangan Aldi, kedua orangtuanya juga menyusul ke rumah sakit. Mereka tak kalah kaget dan khawatir, juga bertanya tentang penyebab Nurma harus di-caesar. Hanya saja, hasilnya tetap sama. Tak ada yang memberikan jawaban. Sikap kedua orangtua Nurma sangat dingin dan terus diam seribu bahasa.Kabar baik tentang selamatnya sang bayi membuat mereka semua serempak mengucap syukur. Hanya saja, kabar lain yang diberitahukan dokter justru membuat mereka syok. Tak ayal, raung tangis dari ibunya Nurma dan mama mertuanya pun tak bisa ditahan lagi mendengar kabar tersebut.Sementara, Aldi merasa kedua tungkai kakinya mendadak terasa lemas. Dia mundur perlahan seraya berpegangan ke dinding agar tidak jatuh. Dia senang atas kelahiran bayinya, tapi juga sedih dan
Mendengar suaraku, Dokter Widi yang sedang mengobrol dengan dokter yang menangani Nurma pun menoleh. Dia tersenyum ramah. Sementara, Dokter yang menangani Nurma pergi setelah berpamitan padanya."Suaminya Nurma?" tanyanya dengan senyum.Sok asik! Benar-benar menyebalkan!"Iya," jawabku dingin."Saya Widi." Pria itu mengulurkan tangan. "Saya sudah cukup kenal dekat dengan keluarga Nurma."Siapa juga yang tanya? Sok akrab!"Saya ....""Enggak perlu dijelasin lagi. Aku sudah tahu itu semua!" tukasku ketus seraya menutup pintu ruangan Nurma."Oh, ya?" Dokter Widi masih tersenyum ramah. "Saya sudah mendengar tentangmu juga. Tapi kita belum pernah bertemu langsung." Tangan Dokter Widi masih tetap terulur, tapi aku tak berniat menyambutnya sama sekali.Dengan senyuman canggung, pria bermata coklat itu kembali menarik tangan saat menyadari aku tak menyambut baik, dan malah melipat kedua tangan di dada seraya bersandar di pintu."Mau apa Anda ke sini?" tanyaku menatapnya curiga. Sengaja kuteka
Bukan kebahagiaan sempurna yang kuberikan, justru beberapa waktu lalu hati ini sempat kembali goyah setelah pertemuanku dengan Lidya. Aku terpaksa kembali berbohong pada Nurma tentang kami yang sering membuat janji dan bertemu diam-diam. Bukan untuk mengenang masa lalu, tapi untuk mendengarkan curhatannya yang sedang sedih karena tengah bermasalah dengan Adrian.Saat itu, kuakui perasaan ini kembali terbagi karena seringnya kami menghabiskan waktu berdua. Hanya saja, aku kembali tertampar pada kenyataan setelah melihat Nurma menangis diam-diam.Suatu malam, mata ini terbuka karena rasa haus yang mendera. Tanpa sengaja, aku melihat Nurma sedang menangis di atas sajadahnya. Kuputuskan untuk tetap berpura-pura tidur. Hingga akhirnya, hati ini seperti diremas-remas saat mendengar dia mendoakan segala kebaikan untukku, bukan untuk dirinya.Barulah aku tahu bahwa sebenarnya Nurma sudah sadar tentang hati ini yang