Menyadari ada kemarahan di sana, Aldi tak lagi bertanya apa pun. Dia memilih diam dengan maksud tak ingin membuat mertuanya semakin marah.Beberapa menit setelah kedatangan Aldi, kedua orangtuanya juga menyusul ke rumah sakit. Mereka tak kalah kaget dan khawatir, juga bertanya tentang penyebab Nurma harus di-caesar. Hanya saja, hasilnya tetap sama. Tak ada yang memberikan jawaban. Sikap kedua orangtua Nurma sangat dingin dan terus diam seribu bahasa.Kabar baik tentang selamatnya sang bayi membuat mereka semua serempak mengucap syukur. Hanya saja, kabar lain yang diberitahukan dokter justru membuat mereka syok. Tak ayal, raung tangis dari ibunya Nurma dan mama mertuanya pun tak bisa ditahan lagi mendengar kabar tersebut.Sementara, Aldi merasa kedua tungkai kakinya mendadak terasa lemas. Dia mundur perlahan seraya berpegangan ke dinding agar tidak jatuh. Dia senang atas kelahiran bayinya, tapi juga sedih dan
Mendengar suaraku, Dokter Widi yang sedang mengobrol dengan dokter yang menangani Nurma pun menoleh. Dia tersenyum ramah. Sementara, Dokter yang menangani Nurma pergi setelah berpamitan padanya."Suaminya Nurma?" tanyanya dengan senyum.Sok asik! Benar-benar menyebalkan!"Iya," jawabku dingin."Saya Widi." Pria itu mengulurkan tangan. "Saya sudah cukup kenal dekat dengan keluarga Nurma."Siapa juga yang tanya? Sok akrab!"Saya ....""Enggak perlu dijelasin lagi. Aku sudah tahu itu semua!" tukasku ketus seraya menutup pintu ruangan Nurma."Oh, ya?" Dokter Widi masih tersenyum ramah. "Saya sudah mendengar tentangmu juga. Tapi kita belum pernah bertemu langsung." Tangan Dokter Widi masih tetap terulur, tapi aku tak berniat menyambutnya sama sekali.Dengan senyuman canggung, pria bermata coklat itu kembali menarik tangan saat menyadari aku tak menyambut baik, dan malah melipat kedua tangan di dada seraya bersandar di pintu."Mau apa Anda ke sini?" tanyaku menatapnya curiga. Sengaja kuteka
Bukan kebahagiaan sempurna yang kuberikan, justru beberapa waktu lalu hati ini sempat kembali goyah setelah pertemuanku dengan Lidya. Aku terpaksa kembali berbohong pada Nurma tentang kami yang sering membuat janji dan bertemu diam-diam. Bukan untuk mengenang masa lalu, tapi untuk mendengarkan curhatannya yang sedang sedih karena tengah bermasalah dengan Adrian.Saat itu, kuakui perasaan ini kembali terbagi karena seringnya kami menghabiskan waktu berdua. Hanya saja, aku kembali tertampar pada kenyataan setelah melihat Nurma menangis diam-diam.Suatu malam, mata ini terbuka karena rasa haus yang mendera. Tanpa sengaja, aku melihat Nurma sedang menangis di atas sajadahnya. Kuputuskan untuk tetap berpura-pura tidur. Hingga akhirnya, hati ini seperti diremas-remas saat mendengar dia mendoakan segala kebaikan untukku, bukan untuk dirinya.Barulah aku tahu bahwa sebenarnya Nurma sudah sadar tentang hati ini yang
"Bicara soal apa?" tanyaku penasaran."Tolong panggilin," pintanya lagi."Ya udah. Mas panggil Bapak dan Ibu dulu kalau gitu," kataku seraya mengusap pipi bayi yang masih meminum ASI itu dengan punggung telunjuk."Makasih, ya, Mas. Maaf nyuruh-nyuruh.""Apa, sih, Dek? Orang cuma panggilin Bapak doang. Kenapa harus minta maaf segala?" Aku tertawa kecil seraya bangkit berdiri. "Bentar, ya. Kayaknya Bapak tadi pergi ke kantin sama Ibu."Nurma mengangguk dan tersenyum tipis.Aku pun sama. Senyum ini mengembang melihat wajahnya semakin hari semakin terlihat lebih cerah. Tak seperti saat dia masih berada di antara hidup dan mati. Pucat, dan itu membuatku takut. Takut mata itu tertutup selamanya.Aku berjalan cepat menuju kantin untuk mencari keberadaan Ibu dan Bapak. Namun, belum terlalu jauh kaki ini melangkah, sosok keduanya sudah lebih dulu muncul. Bapak dan Ibu mendekat padaku dengan membawa satu kantong plastik putih."Baru aja aku mau cari Bapak sama Ibu," kataku saat melihat keduanya
Semakin hari kondisi Nurma semakin membaik dan akhirnya dokter pun memperbolehkan dia pulang. Syukuran kecil-kecilan sudah dipersiapkan oleh Mama dan Papa untuk menyambut kepulangan sang menantu dan cucu.Pengajian pun diadakan setelah isya. Tak ayal, kami dan beberapa tamu pengajian sama-sama menyeka air mata haru. Bersyukur karena akhirnya Nurma masih diberikan umur panjang.Nurma memang dikenal sebagai pribadi yang baik dan ramah oleh para tetangga di sini. Meskipun, dia termasuk warga yang jarang ikut berkumpul untuk menggosip bersama ibu-ibu. Nurma baru akan berkumpul jika ada undangan untuk menghadiri acara yang diselenggaan RT saja."Mas Aldi."Aku yang baru selesai menyalami para tetangga pun menoleh. Pak RT tersenyum ramah seraya menepuk pundak ini."Saya ikut senang Nurma bisa kembali ke tengah-tengah kita.""Iya, Pak. Terima kasih bany
"Persiapan buat apa, Dek?"Bapak mendelik tajam mendengar pertanyaanku.Aku berpaling. Lebih enak memandang Nurma yang selalu menyungguhkan senyum manisnya."Buat syukuran hari ulang tahunku, Mas.""Ulang tahunmu?" Aku terdiam sejenak berpikir. "Oh, iya. Sebentar lagi 'kan kamu ulang tahun, ya." Aku menepuk jidat.Aku memang belum pernah sekalipun merayakan ulang tahun Nurma atau memberi hadiah spesial. Bahkan selalu lupa tanggal kelahirannya. Jauh berbeda dengan Nurma. Setiap kali aku bertambah usia, dia pasti memberikan kejutan di tengah malam. Meskipun begitu, dia tak pernah protes atau marah."Maaf, ya, Dek. Mas lupa.""Memangnya apa yang pernah kamu ingat tentang Nurma? Enggak ada!" tukas Bapak."Pak," tegur Nurma lembut.Aku hanya berdehem pelan dengan perasaan tak enak. Bagaimanapun juga, aku tak bisa marah atau membantah karena yang dikatakannya itu benar. Aku terlalu sibuk dengan masa lalu. Hingga membuatku abai dengan kehadiran wanita yang setia dan sabar mendampingi."Ya su
Waktu terasa berjalan cepat. Kini, usia bayi kami sudah hampir satu bulan. Dulu aku senang karena setiap pulang kerja, ada senyum dan pelukan hangat Nurma yang menyambutku. Senyum yang mampu menghilangkan penat dan lelah. Kini, tak hanya senyum dan pelukan dia, semangatku untuk segera tiba di rumah semakin meningkat sejak kehadiran Alan —putra kecil kami.Aku selalu tak sabar ingin menggendong dan menciumi pipi chubbynya. Kehadiran Alan berhasil membuatku semakin yakin tentang perasaanku untuk Nurma yang selama ini masih abu-abu.Entah sejak kapan pastinya. Kini, setiap hari aku dilanda rindu melihat senyum dan wajah Nurma saat aku sedang bekerja. Hal itu membuat sikapku terhadap Lidya berubah drastis. Semakin tak acuh walau dia masih membutuhkan teman curhat.Bukan tidak ingin menolong atau memberi dukungan. Hanya saja, aku tidak mau hal itu merusak keharmonisan rumah tanggaku lagi. Sudah cukup aku di
"Hapenya di sini. Lah, orangnya di mana? Apa lagi pergi keluar sama Ibu, ya?" gumamku seraya meletakkan ponselku dan ponsel Nurma di meja. "Benar. Palingan lagi pergi sama Ibu. Mending aku mandi dulu, deh. Biar pas dia pulang udah wangi."Usai membersihkan diri, tak lupa kusemprotkan parfum hadiah dari Nurma dulu. Kutatap bayangan diri sendiri melalui cermin sambil tersenyum."Enggak kalah ganteng, kok, sama si dokter tukang caper itu," gumamku seraya menyugar rambut tebal ini.Apa dia berpikir kalau Nurma akan jatuh hati karena kebaikan dan wajah blasterannya itu? Dasar tukang mimpi. Dia mungkin bisa berpura-pura baik dan peduli, lalu berhasil merebut hati Bapak, tapi tidak dengan hati Nurma.Nurma milikku dan akan selamanya begitu. Tidak mungkin pria itu sanggup bersaing karena Nurma cinta setengah mati padaku. Buktinya, apa pun kesalahan yang kulakukan pasti selalu dimaafkan.Namun, itu dulu. Sekarang, aku tidak akan mengulangi kebodohan itu lagi. Ketulusan cinta dan pengabdiannya
Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang."Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli."Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang."Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu.""Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.🌺🌺🌺Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Eungh." Aku bergumam pelan, menggeliat malas saat merasakan sentuhan lembut beberapa kali di pipi.Tanpa mengindahkan sentuhan itu, aku malah semakin merapatkan selimut dan memeluk guling erat. Cukup lama menghabiskan waktu bersama Mas Widi tadi, membuat mata ini enggan untuk terbuka.Namun, lagi-lagi tidurku terganggu dan bergidik geli ketika merasakan tiupan di dekat telinga."Bangun, Sayang," bisiknya lembut.Aku berbalik, mengucek mata yang masih terasa lengket dan mendapati Mas Widi sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum. Senyum manis dengan kedua tangannya memegang kue ulang tahun berukuran kecil tanpa lilin."Mas ...." Aku beranjak bangun, lalu duduk bersandar kepala ranjang."Memilikimu adalah hal terbaik yang enggak akan rela mas tukar dengan apa pun. Terima kasih sudah menjadi duniaku, Istriku Sayang. Selamat ulang tahun."
"Rumah ini 'kan kosong. Kok, rapi dan bersih, Mas?" tanyaku seraya duduk di tepi ranjang. Sementara, Mas Widi tengah berbaring miring sembari menepuk-nepuk pantat Alan yang sempat terbangun dari tidurnya."Kan, seminggu sekali ada yang bersihin, Sayang. Aku udah bayar orang untuk merawat rumah ini. Kalau enggak begitu, nanti lama-lama rumahnya bisa hancur dan rusak.""Ooh." Aku mengangguk paham."Kamu kalau mau buat sesuatu bisa langsung ke dapur, Sayang. Mas udah minta tolong sama yang merawat rumah ini supaya siapin kebutuhan dari dua hari yang lalu.""Iyakah?"
"Papa, janais.""Apa katanya, Nur?" tanya Mama."Papa jangan nangis katanya, Ma," jelasku."Enggak. Papa ... papa enggak nangis, kok." Mas Aldi tersenyum, tapi air matanya masih belum bisa berhenti menetes di pipi."Alan sayang Papa?" tanya Mama seraya mengusap kepalanya."Cayang," jawabnya dengan riang. "Papa uwa," imbuhnya sembari mengangkat jari-jari mungilnya, lalu menatap Mas Widi yang berdiri di samping Mas Aldi."Iya, papa Alan ada dua," kataku seraya
"Masuklah," ucap Mama pelan.Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Mas Aldi dengan hati-hati. Melihatnya duduk termenung di dekat jendela membuat tubuh ini meremang. Aku sungguh tak tega hingga harus berhenti melangkah lagi saat air mata ini tak mampu ditahan."Ma," panggil Mas Aldi. "Aku lupa simpan foto Alan di mana. Bisa Mama bantu aku cariin fotonya?"Ya Allah ....Aku membekap mulut, lalu kembali melangkah dengan Mas Widi yang merangkul bahu ini. Seolah paham, Alan pun hanya diam saja ketika kuisyaratkan agar tidak bersuara."Ma," panggilnya lagi.Aku mengangguk. Memberi isyarat pada Mas Widi agar mendekatkan Alan padanya."Ma, foto Al ...." Mas Aldi seketika membeku saat tangan mungil Alan menyentuh pipinya yang sudah ditumbuhi jambang. Begitu pun ketika Alan sudah didudukkan di pangkuan. Mas Aldi masih terpaku, tapi matanya berembun."Papa?" panggil Alan dengan suara khas anak kecil.Air mata Mas Aldi seketika bercucuran dengan tangannya yang bergerak perlahan menyusuri tubu
Aku kembali terisak di pelukan Mas Widi ketika pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Aku ... aku berdosa, Mas," lirihku dengan hati yang berdenyut nyeri. "Aku berdosa karena sudah berburuk sangka sama Mas Aldi. Aku ... aku ....""Ssstt." Mas Widi mengusap kepalaku dan mengeratkan dekapannya. "Kamu enggak sepenuhnya salah. Kalau saja Aldi jujur, kamu atau siapa pun juga pasti enggak akan berpikir negatif.""Aku harus tanya Mama. Aku mau tahu kenapa Mas Aldi bisa seperti itu," lirihku seraya mengurai pelukan.Mas Widi mengusap lembut air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Kita akan tanyakan
Mama sehat, kan?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Alhamdulillah mama sehat," jawabnya seraya menyeka air mata. "Maaf mama sama Papa enggak bisa datang ke pernikahan kalian," sesalnya seraya menatapku dan Mas Widi bergantian."Enggak apa-apa, Ma. Doa Mama dan Papa juga udah cukup."Mama tersenyum, lalu beralih menatap Alan di pangkuan Mas Widi."Alan ... cucu Nenek." Air matanya kembali menetes."Aaah." Alan merengek dan langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Mas Widi ketika Mama hendak menggendong
"Cari siapa?" tanyanya sedikit ketus."Maaf, kami mencari Aldi. Dia tinggal di sini," jawab Mas Widi."Aldi? Aldi siapa?" Wanita itu malah terlihat bingung mendengar nama itu disebutkan.Kami saling melempar pandang, lalu kembali menatap wanita berkulit sawo matang itu."Mas Aldi yang punya rumah ini, Mbak," kataku."Pemilik rumah ini? Enak saja kalau bicara. Rumah ini punya suamiku!" sergahnya tidak terima."Boleh kami bicara dengan suaminya, Mbak?" tanya Mas Widi tenang."Sebentar," sahutnya ketus. "Mas! Mas Fikri!" Wanita itu berteriak kencang dan tak lama kemudian, muncul pria paruh baya dengan perutnya yang sedikit buncit."Ada apa, sih, Ma, teriak-teriak segala?""Nih, ada yang mau ketemu. Katanya mereka ini nyariin Aldi pemilik rumah ini. Lha, kan ini rumah milik Mas Fikri.""Aldi?" Pria bernama Fikri itu terlihat berpikir sejenak, lalu kembali menatap kami. "Oh, Aldi pemilik rumah ini sebelum kami, ya?"Pemilik sebelumnya?"Maksudnya?" tanyaku bingung."Iya. Rumah ini sudah sa
"Hari ini ke klinik atau masih gantiin teman Mas di rumah sakit?" tanyaku seraya menyendokkan nasi ke piringnya."Enggak dua-duanya," sahutnya, lalu meneguk sedikit air putih."Kok?""Iya, hari ini mas libur. Mas ambil cuti tiga hari ke depan.""Terus, yang tugas di klinik?" tanyaku seraya menarik satu kursi di sampingnya, lalu duduk."Ada teman yang gantiin jaga.""Ooh." Aku mengangguk paham, lalu menyendokkan nasi ke piring