Waktu terasa berjalan cepat. Kini, usia bayi kami sudah hampir satu bulan. Dulu aku senang karena setiap pulang kerja, ada senyum dan pelukan hangat Nurma yang menyambutku. Senyum yang mampu menghilangkan penat dan lelah. Kini, tak hanya senyum dan pelukan dia, semangatku untuk segera tiba di rumah semakin meningkat sejak kehadiran Alan —putra kecil kami.
Aku selalu tak sabar ingin menggendong dan menciumi pipi chubbynya. Kehadiran Alan berhasil membuatku semakin yakin tentang perasaanku untuk Nurma yang selama ini masih abu-abu.
Entah sejak kapan pastinya. Kini, setiap hari aku dilanda rindu melihat senyum dan wajah Nurma saat aku sedang bekerja. Hal itu membuat sikapku terhadap Lidya berubah drastis. Semakin tak acuh walau dia masih membutuhkan teman curhat.
Bukan tidak ingin menolong atau memberi dukungan. Hanya saja, aku tidak mau hal itu merusak keharmonisan rumah tanggaku lagi. Sudah cukup aku di
"Hapenya di sini. Lah, orangnya di mana? Apa lagi pergi keluar sama Ibu, ya?" gumamku seraya meletakkan ponselku dan ponsel Nurma di meja. "Benar. Palingan lagi pergi sama Ibu. Mending aku mandi dulu, deh. Biar pas dia pulang udah wangi."Usai membersihkan diri, tak lupa kusemprotkan parfum hadiah dari Nurma dulu. Kutatap bayangan diri sendiri melalui cermin sambil tersenyum."Enggak kalah ganteng, kok, sama si dokter tukang caper itu," gumamku seraya menyugar rambut tebal ini.Apa dia berpikir kalau Nurma akan jatuh hati karena kebaikan dan wajah blasterannya itu? Dasar tukang mimpi. Dia mungkin bisa berpura-pura baik dan peduli, lalu berhasil merebut hati Bapak, tapi tidak dengan hati Nurma.Nurma milikku dan akan selamanya begitu. Tidak mungkin pria itu sanggup bersaing karena Nurma cinta setengah mati padaku. Buktinya, apa pun kesalahan yang kulakukan pasti selalu dimaafkan.Namun, itu dulu. Sekarang, aku tidak akan mengulangi kebodohan itu lagi. Ketulusan cinta dan pengabdiannya
Mama dan Papa sudah duduk menunggu di kursi teras saat aku tiba di rumah. Dengan napas sedikit ngos-ngosan, kuhampiri mereka yang menatap khawatir."Gimana? Sudah ada info, Di?""Kata Pak Joko, tadi siang dia sempat lihat mereka pergi dijemput mobil hitam, Ma," jawabku seraya membuka kunci, lalu masuk diikuti keduanya."Mobil hitam? Siapa yang jemput? Terus, mereka mau ke mana?" cecar Mama yang sedikit membuatku kesal."Kalau tahu, mana mungkin juga aku nyariin mereka, Ma.""Iya, ya. Terus gimana, dong?" tanya Mama khawatir."Tenang dulu. Siapa tahu mereka lagi ada perlu atau pulang ke kampung. Tapi lupa ngabarin. Sudah coba telepon bapaknya belum?" kata Papa.Aku menggeleng."Sekarang kamu telepon. Barangkali saja memang bapaknya yang jemput Nurma karena rindu."Aku mengangguk, lalu
Ada saja yang menghambat perjalananku. Bukan hanya ban mobil yang bocor dua kali. Bahkan mesin mobilnya pun tahu-tahu mendadak mati. Terpaksa aku menelepon mobil derek dan membawanya ke bengkel. Cukup memakan biaya besar juga menyita waktu. Untung saja, aku baru gajian.Sekitar pukul tujuh pagi, aku baru tiba. Kuparkirkan mobil di lahan kebun kosong yang letaknya tak jauh dari rumah Nurma. Langkah ini sempat terhenti sejenak di depan pagar saat melihat lampu terasnya menyala.Hatiku berbisik bahwa mereka tak ada, tapi aku dengan cepat menggeleng dan mencoba tetap berpikir positif. Mungkin saja mereka masih tidur karena lelah."Assalamu'alaikum!" Kuketuk pintunya, lalu mengintip ke dalam rumah melalui jendela. Sayangnya gorden yang tertutup rapat menghalangi pandangan."Dek? Ini mas, Dek. Buka pintunya!" Lagi. Kuketuk pintu ini dengan sedikit lebih keras daripada tadi."Ibu! Bapak! Assalamu'alaikum!" seruku, tapi tak ada sahutan sama sekali.Bagaimana ini? Jika benar mereka tak ada, ak
Satu hantaman berhasil mendarat di pipinya. Membuat wajahnya berpaling dan terhuyung beberapa langkah ke belakang."Katakan di mana istriku, Widi! Kamu bersekongkol dengan Bapak untuk memisahkan kami kan, huh?"Kucengkeram kembali kerah kemejanya, lalu memukul lagi beberapa kali sambil terus menanyakan keberadaan Nurma. Dokter Widi tak tinggal diam. Giliran aku yang terjengkang ketika dia balas memukul dan mendaratkan tendangannya di perut."Kamu benar-benar sudah kelewatan! Aku dari tadi sudah coba sabar, ya! Pergi kamu dari rumahku sekarang juga!" hardiknya dengan tatapan tajam dan telunjuk mengarah ke pintu.Aku tersenyum sinis, lalu kembali menatapnya tajam. "Aku enggak akan pergi sebelum kamu katakan di mana istri dan anakku!"Aku menoleh ke belakang saat mendengar langkah kaki orang. Para tetangga mulai berdatangan karena mendengar keributan kami.
"Untuk apa? Untuk menertawakanku yang terlihat bodoh?" ujarku seraya menatapnya dingin.Pria dengan luka lebam di wajahnya itu terkekeh pelan, lalu berjalan mendekat. Dia berdiri tepat di hadapanku dengan raut wajah tenangnya walau aku memasang raut wajah masam."Kamu berutang maaf padaku." Dia tersenyum tipis seraya menyentuh sudut bibirnya yang sedikit sobek.Aku mendecih, lalu menatapnya sinis. "Aku enggak akan minta maaf. Pukulan itu pantas kamu dapatkan karena sudah berani mencintai istri orang."Dokter Widi tertawa kecil tanpa mempedulikan luka di bibirnya, lalu menatapku lagi."Mencintai seseorang itu wajar karena itu hak setiap manusia. Tapi menjadi enggak wajar kalau kita nekat merebutnya dari orang lain."Kami saling bersitatap tegang karena perkataannya berhasil memantik emosi lagi. Namun, dahiku sontak mengernyit ketika melihatnya justru tertawa kecil seraya menggeleng."Kamu tenang saja. Jangan diambil serius kata-kataku barusan.""Ck, enggak lucu!" Aku menepis tangannya
Aku menangis tanpa suara sampai dada terasa sesak. Tak pernah aku secengeng ini apalagi menunjukkannya di hadapan orang lain."Kamu enggak tahu, gimana sakit dan terlukanya hati seorang ayah melihat putri kesayangan terus menerus disakiti pria yang dicintainya. Kamu enggak tahu, gimana memilukannya tangisan Pak Dedi di depanku. Aku bahkan ikut merasakan sakit hatinya saat melihat beliau menangis sesenggukan.""Mungkin beliau terlihat garang dan kuat di hadapanmu atau orang lain. Tapi di belakang ... beliau rapuh. Rapuh saat melihat putri satu-satunya selalu bersedih karena ulah suaminya. Nurmalah kelemahan Pak Dedi. Kamu enggak hanya menghancurkan hati Nurma, tapi hati satu keluarga. Kepercayaan yang sudah mereka berikan malah kamu anggap lelucon."
Sepulangnya dari desa, aku tak keluar kamar sama sekali walau Papa Mama berganti-gantian memanggil. Aku belum siap menjelaskan pokok utama masalah ini yang menyebabkan Nurma dan orangtuanya pergi entah ke mana.Jika Papa tahu, sudah pasti aku akan habis dimarahinya. Dulu mungkin Papa masih bisa sabar dan tenang. Akan tetapi, masalah kali ini berbeda karena kebodohanku menyebabkan nyawa anak dan istri dalam bahaya.Nomor baru Bapak yang diberikan Dokter Widi pun malah ikut tidak aktif ketika kembali coba kuhubungi.Kenapa jadi serumit ini? Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku memberikan alasan lain pada Mama Papa?Kuhabiskan waktu siang dengan duduk termenung memandangi fotoku bersama Nurma dan bayi kami. Membuat air mata tak terasa kembali menetes dan jatuh di atas foto yang sedang kupegang. Rasanya ternyata seperih dan sesakit ini.Ketika hati mulai terpatri namanya, Nurma malah pergi mencampakkanku. Ketika cinta ini mulai tumbuh subur, pun hati selalu berbunga-bunga hanya dengan m
"Dua-duanya," sahutnya masih dengen kekehan kecil. "Gimana istrimu? Ada?"Kuhela napas panjang, lalu menggeleng. "Dia enggak ada di sana. Aku juga bingung harus cari ke mana lagi. Enggak ada petunjuk. Tetangga di sana itu, tahunya bapak mertua pergi main ke sini.""Memangnya kalian lagi ada masalah apa? Perasaan aku lihat kamu senang-senang aja.Malahan kayak orang gila kalau di kerjaan senyum-senyum sendiri sambil lihatin fotonya. Berantem?"Aku membisu."Eum, udah pasti ada sesuatu kalau diam begini. Enggak mungkin Nurma sampai dibawa pergi orangtuanya kalau enggak ada masalah serius. Cerita aja, Di! Siapa tahu aku bisa bantu.""Thanks, Ran. Tapi biar aku selesaikan masalah ini sendiri.""Okelah, enggak masalah. Aku bantu doa aja sem