Satu hantaman berhasil mendarat di pipinya. Membuat wajahnya berpaling dan terhuyung beberapa langkah ke belakang."Katakan di mana istriku, Widi! Kamu bersekongkol dengan Bapak untuk memisahkan kami kan, huh?"Kucengkeram kembali kerah kemejanya, lalu memukul lagi beberapa kali sambil terus menanyakan keberadaan Nurma. Dokter Widi tak tinggal diam. Giliran aku yang terjengkang ketika dia balas memukul dan mendaratkan tendangannya di perut."Kamu benar-benar sudah kelewatan! Aku dari tadi sudah coba sabar, ya! Pergi kamu dari rumahku sekarang juga!" hardiknya dengan tatapan tajam dan telunjuk mengarah ke pintu.Aku tersenyum sinis, lalu kembali menatapnya tajam. "Aku enggak akan pergi sebelum kamu katakan di mana istri dan anakku!"Aku menoleh ke belakang saat mendengar langkah kaki orang. Para tetangga mulai berdatangan karena mendengar keributan kami.
"Untuk apa? Untuk menertawakanku yang terlihat bodoh?" ujarku seraya menatapnya dingin.Pria dengan luka lebam di wajahnya itu terkekeh pelan, lalu berjalan mendekat. Dia berdiri tepat di hadapanku dengan raut wajah tenangnya walau aku memasang raut wajah masam."Kamu berutang maaf padaku." Dia tersenyum tipis seraya menyentuh sudut bibirnya yang sedikit sobek.Aku mendecih, lalu menatapnya sinis. "Aku enggak akan minta maaf. Pukulan itu pantas kamu dapatkan karena sudah berani mencintai istri orang."Dokter Widi tertawa kecil tanpa mempedulikan luka di bibirnya, lalu menatapku lagi."Mencintai seseorang itu wajar karena itu hak setiap manusia. Tapi menjadi enggak wajar kalau kita nekat merebutnya dari orang lain."Kami saling bersitatap tegang karena perkataannya berhasil memantik emosi lagi. Namun, dahiku sontak mengernyit ketika melihatnya justru tertawa kecil seraya menggeleng."Kamu tenang saja. Jangan diambil serius kata-kataku barusan.""Ck, enggak lucu!" Aku menepis tangannya
Aku menangis tanpa suara sampai dada terasa sesak. Tak pernah aku secengeng ini apalagi menunjukkannya di hadapan orang lain."Kamu enggak tahu, gimana sakit dan terlukanya hati seorang ayah melihat putri kesayangan terus menerus disakiti pria yang dicintainya. Kamu enggak tahu, gimana memilukannya tangisan Pak Dedi di depanku. Aku bahkan ikut merasakan sakit hatinya saat melihat beliau menangis sesenggukan.""Mungkin beliau terlihat garang dan kuat di hadapanmu atau orang lain. Tapi di belakang ... beliau rapuh. Rapuh saat melihat putri satu-satunya selalu bersedih karena ulah suaminya. Nurmalah kelemahan Pak Dedi. Kamu enggak hanya menghancurkan hati Nurma, tapi hati satu keluarga. Kepercayaan yang sudah mereka berikan malah kamu anggap lelucon."
Sepulangnya dari desa, aku tak keluar kamar sama sekali walau Papa Mama berganti-gantian memanggil. Aku belum siap menjelaskan pokok utama masalah ini yang menyebabkan Nurma dan orangtuanya pergi entah ke mana.Jika Papa tahu, sudah pasti aku akan habis dimarahinya. Dulu mungkin Papa masih bisa sabar dan tenang. Akan tetapi, masalah kali ini berbeda karena kebodohanku menyebabkan nyawa anak dan istri dalam bahaya.Nomor baru Bapak yang diberikan Dokter Widi pun malah ikut tidak aktif ketika kembali coba kuhubungi.Kenapa jadi serumit ini? Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku memberikan alasan lain pada Mama Papa?Kuhabiskan waktu siang dengan duduk termenung memandangi fotoku bersama Nurma dan bayi kami. Membuat air mata tak terasa kembali menetes dan jatuh di atas foto yang sedang kupegang. Rasanya ternyata seperih dan sesakit ini.Ketika hati mulai terpatri namanya, Nurma malah pergi mencampakkanku. Ketika cinta ini mulai tumbuh subur, pun hati selalu berbunga-bunga hanya dengan m
"Dua-duanya," sahutnya masih dengen kekehan kecil. "Gimana istrimu? Ada?"Kuhela napas panjang, lalu menggeleng. "Dia enggak ada di sana. Aku juga bingung harus cari ke mana lagi. Enggak ada petunjuk. Tetangga di sana itu, tahunya bapak mertua pergi main ke sini.""Memangnya kalian lagi ada masalah apa? Perasaan aku lihat kamu senang-senang aja.Malahan kayak orang gila kalau di kerjaan senyum-senyum sendiri sambil lihatin fotonya. Berantem?"Aku membisu."Eum, udah pasti ada sesuatu kalau diam begini. Enggak mungkin Nurma sampai dibawa pergi orangtuanya kalau enggak ada masalah serius. Cerita aja, Di! Siapa tahu aku bisa bantu.""Thanks, Ran. Tapi biar aku selesaikan masalah ini sendiri.""Okelah, enggak masalah. Aku bantu doa aja sem
Aku terlonjak kaget ketika meja digebrak dengan kencang."Papa ... jangan ngagetin gitu, dong." Mama yang tak kalah terkejutnya denganku menatap Papa sambil mengusap dada."Kamu jangan menguji kesabaran Papa! Dari tadi mamamu sudah tanya berkali-kali, tapi kamu cuma diam! Kenapa? Mendadak bisu?" sergah Papa."Pah, tenang dulu, Pah. Jangan marah-marah begitu, ah." Mama menarik lengan Papa yang berdiri agar kembali duduk."Anakmu ini kayak bukan laki-laki saja! Kalau memang kamu punya salah, bilang terus terang! Biar kita cari jalan keluarnya sama-sama! Jangan cuma diam dan jadi pengecut!""Iya, Pah. Aku salah. Akulah yang bertanggung jawab atas kepergian Nurma dan orangtuanya," jawabku dengan menatap sendu Papa, lalu menunduk lagi karena tak tahan dengan tatapan tajamnya."Nurma ...." Aku menjeda ucapan. Mengepalkan tangan kuat saat hati ini kembali terasa seperti diremas-remas seiring mata yang mulai terasa menghangat. "Nurma pergi karena marah dan kecewa padaku, Pah.""Memangnya kamu
Papa malah tertawa mendengar penuturanku tersebut."Kamu dengar apa kata anakmu barusan, Ma? Karena ada Bapak dan ibunya, dia jadi bisa santai dan tenang." Papa kembali tertawa. Tawa yang jelas-jelas terdengar dipaksakan."Harusnya kamu pakai nalarmu, Di." Kali ini Mama ikut menceramahiku. "Biarpun Nurma ada orangtuanya, tapi kamu suaminya. Kamu yang wajib bertanggung jawab penuh atas dia! Kalau kamu niat bantuin si Lidya itu, kamu enggak perlu repot-repot antar dia ke rumah sakit. Cukup panggilin taksi. Di rumah sakit pasti banyak yang mau nolongin, kok. Pendek sekali jalan pikiranmu itu! Emangnya si Lidya itu enggak punya hape? Dia 'kan bisa telepon keluarga atau orangtuanya," cecar Mama panjang lebar."Aku enggak kepikira
Waktu demi waktu kulalui dengan kehampaan. Sudah lebih satu bulan aku memeluk sepi di rumah ini. Tak ada obrolan, canda tawa apalagi tangisan bayi. Sunyi. Hidupku bagai tak berarti lagi. Tak ada semangat. Semua seolah ikut terenggut sejak kepergian Nurma dengan membawa serta bayi kami.Kepergiannya benar-benar berpengaruh besar. Aku sampai tidak bisa fokus dengan pekerjaan hingga seringkali dipanggil atasan karena salah membuat laporan. Bahkan aku sempat dituduh menggelapkan uang karena jumlah laporan yang jauh berbeda. Syukurlah, itu hanya karena keteledoran saja dalam bekerja hingga bisa terbukti dengan jelas diri ini tak bersalah.Mengenai tebakan Papa saat memarahiku dulu, hal itu benar-benar terjadi. Surat panggilan persidangan cerai benar-benar datang ke rumah. Seminggu yang lalu, dengan semangatnya aku hadir di sana. Berharap bisa bertemu Nurma dan bayi kami. Membujuknya untuk ikut pulang dan membatalkan gugatan.Sayangnya, semua tak sesuai harapan. Ternyata Nurma diwakilkan pe